Salma hanya terdiam saja. Ia merasa semakin malu dengan keadaannya di cafe itu. Sampai Fariz yang harus berkata lagi.
"Terus mau kamu apa? Di dalam ruangan yang hanya kita berdua, kamu menolak, di dalam tempat rame juga, mau kamu seperti apa! Apa ini yang kamu maksud?" tanya Fariz, menahan amarah, masih mencoba mengerem semuanya karena di tempat umum. "Nggak ada yang benar, Pak. Semua itu salah dan bukan mau saya," ucap Salma mulai lari dari area cafe. "Sal, tunggu!" Fariz tetap berusaha menahan. Salma telah ditunggu Freya di depan perusahaan. Namun, Salma nampak kesal dan menahan air mata. Fariz masih tetap mengejar. "Salma, kenapa sih? Kamu berantem sama CEO? Ah, nggak mungkin. Ini udah beres belum tentang lombanya itu? Kok malah mau menangis? Masalah apa?" Freya menepuk-nepuk wajah Salma, rempong dengan keadaan sahabatnya. "Salma! Kamu kenapa menangis? Haha …," Fariz tertawa keras. "Bilangin sahabat kamu, suruh berhenti menangisnya, saya mau marah," ungkap Fariz. "Hhhh, sok banget sih, udah dengar juga!" rajuk Salma. "Bagus, kamu tuh mempermalukan saya! Sadar nggak! Kenapa kamu pergi dengan berlari seperti itu? Kamu tahu apa yang mereka katakan! Dikiranya aku menyakiti kamu! Puas!" bentak Fariz penuh tekanan. "Maaf ya Bapak Fariz yang terhormat, saya kira Bapak tadi mengajak saya untuk bertemu dengan panitia yang mengurusi lomba, makanya bilang yang jelas dong," jawab Salma dengan ucapan santai. Fariz terdiam dan menatap sangar ke arah Salma. Bisa saja, sosok yang di depan Fariz itu merangkai kata. Freya yang biasanya rempong dan suka nyocokin Salma dengan CEO itu, kini malah tak berani berkutik. "Apa harus?" tanya Fariz sembari mengerutkan keningnya. "Ya iyalah, masalah pembicaraan perjodohan, pikir sendiri di mana salahnya, yang bukan kodratnya jangan dilakukan!" bentak balik Salma. "Hahaha … duduk dulu, aku jelaskan tentang itu." Fariz kembali tertawa jika perempuan itu mengatakan mengenai hal tersebut. Ia paham maksud Salma ialah gay. Freya yang baru mendengar itu pun tentu sangat heran. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan sahabatnya dan CEO? Berbagai pertanyaan terkejut termasuk gay itu juga terngiang salam diri Freya. "Baiklah, kita duduk dulu Frey," kata Salma. "Dengar ya, aku itu hanya bercanda, aku juga laki-laki normal yang mencintai wanita, bukan mencintai laki-laki, kenapa kamu tetap menanyakan tentang gay itu?" tanya Fariz. 'Oh ya? Hamdalah dan istighfar dong dengan pernyataan ini!' batinnya masih shock, tetapi jelas ini sangat membuatnya lega. "Alhamdulillaah kalau Bapak ini laki-lak normal. Astaghfirullahaladzim karena akibat Pak CEO bohong ya, muncul perjodohan kita!" timpal Salma dengan perlahan mengeluarkan napas. "Maksudnya bagaimana?" tanya bingung Fariz. Salma menceritakan kejadiannya yang curhat dengan mamanya mengenai Fariz dan orang tua Fariz yang juga mencari tahu di kantornya. Fariz kesal dengan hal tersebut. "Ya kan cuma bercanda, kamu itu yaaa! Masa gitu aja juga percaya! Hahahha .. kalau seperti ini kamu juga yang rugi! Nanti sore deh keluarga saya datang ke rumah kamu, saya jelasin semuanya," ungkap Fariz menahan emosi-emosi gemas. "Percuma atau ada keputusan lain ya?" "Hhh, lihat saja nanti. Tenang! Entar saya bantu, tapi jangan bikin rencana sendiri! Jangan bikin kesal seperti ini karena canda yang kamu anggap serius!" pinta Fariz. "Itu tuh salah Pak CEO, bercanda yang kelewatan, nggak kelihatan kalau lagi bercanda, ya udah Salma kembali ke sekolah," ucap Salma yang menunjukkan bahwa perempuan tidak mau salah. Tidak menunggu lama, ia langsung melangkahkan kakinya untuk ke sekolah. "Tunggu! Ada yang belum kamu bawa," kata Fariz. "Apa?" tanya Salma."Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus