Pagi hari, aku tidak suka dengan pagi hari, itu artinya aku harus bangun dari mimpiku. Aku kaget waktu bangun tidur, ini bukan kamarku. Aku shock banget lupa kalo aku udah pindah. Ya ampun.. aku langsung keluar kamar, dan menuju kamar mandi. Waktu keluar dari kamar mandi.
“Habis ngapain lu?” tanya Aiden yang sedang menikmati kopi hitamnnya.
“Mandi lah.”
“Ngapain mandi disini, di kamar lu kan ada kamar mandinya bego.”
"Ehh.. masak sih," batinku.
Aku diam aja dan langsung ke kamar. Dan ternyata benar, ada kamar mandinya. Wow ada bath up, closet duduk,trus washtafel juga, bagus juga kamar mandi ini. Nanti siang mau berendam lah.. semua keperluan sudah ada, wahhh.. seneng banget deh, aku gak pernah liat perlengkapan kamar mandi sebanyak ini..
"wait, ini kloset duduk, aku terbiasa jongkok. Aduh.. harus beradaptasi nih."
Bik Asih sudah di kamarku dengan membawa baju-bajuku dari kamar suamiku. Oh ya nama suamiku adalah Aiden William Abhivandya, panggilannya Aiden. Aku tidak terlalu mengenal dia, dan tidak ada keinginan buat mengenal dia.
Aku mau sholat dhuhur, dan aku lupa kalo ini bukan rumahku, dan hari ini aku baru bisa sholat, aku kelupaan tidak membawa mukena, karena aku lagi PMS kemarin. Jadi aku kebingungan mencari mukena, ternyata tidak ada mukena. Aku turun ke bawah mencari Bik Asih, dengan buru-buru karena keburu aku kentut dan wudhunya batal.
“Bik Asih...” panggiku. Aku mencarinya ke dapur, bukannya bertemu Bik Asih justru aku ketemu Aiden. Aku langsung ngeloyor nyariin Bik Asih ke pintu belakang, dan tidak ada. Ketika aku membalikkan badan terlihat Bik Asih menghampiriku.
“Iya Non,” jawab Bik Asih.
“Bik Asih ada mukena gak? Aku mau sholat, lupa gak bawa kemaren. Tante ternyata juga gak nyiapain.”
“Ada non, sebentar saya ambil di rumah belakang.”
“Iya, makasih ya Bik.”
Bik Asih langsung menuju rumah belakang. Aku langsung duduk keruang tengah, males aja melihat wajah Aiden. Padahal dia gak ngapa-ngapain juga, tapi dia cukup kasar dengan perempuan, terlihat waktu semalam dia mengusirku dengan paksa dari kamarnya. Aku melihat sekaliling rumah rasanya rumah ini terlalul besar buat aku, ada rasa was-was dalam diri aku yang datang entah dari mana. Tiba-tiba merinding aja... Bik Asih datang membawa mukena dan sajadah nya. Aku buru-buru ke kamar, langsung sholat.
Aku bukan wanita muslimah banget, tapi aku selalu menjalankan kewajibanku sebagai umat muslim, buat berhijab aja aku masih belum, masih mood-mood an aja, tapi aku berusaha memakai pakaian yang sopan. Setelah sholat aku melipat mukena dan sajadah milik Bik Asih, aku keluar ke lantai bawah memberikan mukena dan sajadahnya pada Bik Asih. Waktu mau turun aku berpas-pasan dengan Aiden, dia mau ke kamarnya. Dia tiba-tiba biacara sama aku.
“Kan lu punya mukena dari mahar kemaren,” ucap Aiden.
Eh.. iya ya. Aku kok lupa, tapi dimana ya?
“lupa lu, ada di ruang baca sebelahnya ruang tv.”
Aku langsung jalan menuju Bik Asih, tak kuhiraukan si Aiden, sesuai kesepakatan kita yang tak mengganggu satu sama lain. Bik Asih ada di dapur sedang mencuci gelas bekas kopinya Aiden tadi.
“Bik, ini mukenanya, makasih ya.”
“Iya Non, sama-sama.” Bik Asih menerima mukena dari tangan ku.
"Non mau makan?” tanya Bik Asih.
“Eh.. iya lupa tadi nggak makan.”
“Saya siapkan dulu ya non. Non tunggu dulu di meja makan.”
“iya Bik.”
Aku langsung duduk di meja makan. Ada beberapa buah di piring, tapi aku nggak minat pengennya nasi. Bik Asih mengeluarkan semua lauk pauk yang sudah dipanaskan.
Wow.. aku di layani seperti tuan putri saja. Padahal kalau di rumah orangtuaku aku harus mengambil makanan sendiri, kalau makanannya habis aku harus masak sendiri. Kalau lagi males, biasanya aku membeli mie ayam di deket rumah. Ternyata lauk-pauknya beraneka ragam. Aku memilih beberapa lauk dan sedikit nasi. Aku makan semua yang ada di piring. Bik Asih membuat kan aku jus. Jus jambu. Aku tidak suka dengan jus jambu sebenarnya, tapi karena sudah dibuatin ya mau gak mau harus aku minum.
“Emm mbak asih, kasih es batu ya jusnya,” pintaku pada Bik Asih. kalau dikasih es batu sepertinya mendingan.
“Iya Non.” Bik Asih memberi beberapa es batu ke dalam gelas jusnya, dan diberikan kepadaku.
“Makasih Bik,” ucapku meneria gelas jus dari tangan Bik Asih. Aku minum jus itu sampai habis. Wow ini banyak banget, tapi kalau tidak dihabisikan bakal mumbazir. Aku kekenyangan setelah meminum jus itu.
Aku membersihkan piring bekas makan dan gelasku, tapi Bik Asih tiba-tiba melarangku.
“Jangan Non, biar saya saja yang bersihin piring kotornya,” cegah Bik Asih.
“Tapi -”
“Gapapa Non, ini memang pekerjaan saya. Non langsung pergi saja,” usir Bik Asih.
“Nggak lah Bik, ini bekas makan ku biar aku aja yang cuciin, itu aja.. makanannya Bik Asih beresin. Biar aku cuci piringku,” perintahku.
“Tapi non-“
“Nggak papa Bik.” Aku langsung mencuci piring dan gelasku. Bik Asih memasukkan semua makanan dan buah-buahan ke dalam kulkas. Aku liat kulkasnya banyak banget snack.
“Itu snacknya siapa Bik?” tanyaku.
“Ini semuanya punya Non, kemaren ibuk meminta saya buat beliin semua keperluan Non termasuk snack ini,” jawab Bik Asih.
“Hooo.. banyak juga, makasih ya Bik.”
“Sama-sama Non, memang sudah tugas saya. Kalau Non perlu apa-apa bilang saja ke saya,” jawab Bik Asih.
"Oke-oke, tapi Bik. Aku rada nggak suka minum jus jambu, nanti jangan dibuatin lagi ya, mending itu jus jeruk aja. Kalo pengen jus jambu nanti aku bilang kok,” pintaku.
“Oh iya, maaf Non saya nggak tau.”
“Iya nggak papa Bik. Oh ya, aku juga gak bisa makan jamur. Jadi jamurnya buat mbak aja.” Tadi waktu makan ada kayak oseng-oseng jamur gitu, tapi aku gak ambil. Kalo makan jamur suka mencret.. padahal sebenernya enak. Tapi perutku menolaknya, dan suka berdemo jadi sakit perut dan mencret.
“Iya Non.”
“Aku mau ke ruang baca dulu ya Bik,” pamitku pada Bik Asih.
“Iya Non.”
Ketika sampai di ruang baca betapa terkagumnya aku melihat ruangan ini, sampai tidak sadar mulutku menganga lebar. Terasa surga dunia sewaktu aku melihat ruangan ini. Ruangan yang sudah lama aku impikan, kini sudah terpampang nyata di kehidupanku. Sebelumnya terasa hanya mimpi sekarang menjadi kenyataan. Ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sebuah bingkai foto yang berukuran tak terlalu besar. Aku mendekati foto itu, terlihat foto Aiden yang sedang memangku perempuan dipahanya. Aku memperhatikan foto wanita itu dengan seksama.
Dokter itu tertawa lembut, seolah ingin menenangkan kami. "Dea, hasil tes menunjukkan bahwa kamu hamil. Kamu berada dalam kondisi yang sangat baik, meskipun sempat mengalami mual dan kelelahan. Namun, jangan khawatir. Kondisi ini sangat normal, terutama jika ada perubahan fisik atau emosional."Aku terdiam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Hamil? Aku hamil? Pikiranku terasa berputar. Tidak ada yang pernah menyebutkan ini sebelumnya, dan tentu saja, aku tidak pernah memikirkan hal ini."Aiden." aku berbisik, suaraku gemetar. "Aku hamil?"Aiden menggenggam tanganku lebih erat. "Iya, Sayang. Kamu hamil. Ini berita yang luar biasa, kamu jangan cemas. Kita akan menghadapinya bersama-sama."Aku terdiam, merasakan campuran perasaan yang sangat dalam. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, namun di sisi lain, aku merasa cemas. Bagaimana kami akan menjalani semua ini? Apa arti semua ini untuk kami? Dan yang terpenting, apakah kami siap dengan segala perubah
Dengan langkah yang berat, Aiden menarikku pergi dari pinggir sungai yang seakan berusaha menahan kami. Aku bisa merasakan kekuatan Alam Pusaka yang menahan kami, seolah tempat ini tidak ingin kami pergi begitu saja. Suasana yang tadinya penuh keindahan kini terasa penuh dengan ancaman yang tak terduga. Namun aku percaya pada suamiku, dan aku tahu, ia tidak akan membiarkan aku terluka.Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di batas Alam Pusaka, tempat yang menjadi pemisah antara dua dunia. Keindahan yang dulu kurasakan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa lega yang datang saat kami kembali ke dunia manusia.Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku sedikit lebih baik. Rasa mual yang semula mengguncang perlahan mulai hilang, dan aku bisa merasakan kembali kekuatan dalam tubuhku. Aiden melepaskan pelukannya, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang masih ada di tubuhnya."Kita sudah kembali," katanya dengan suara yang lebih tenang, namun masih terdengar kelelahan. "Tapi aku r
Selama di Alam Pusaka. Aku bisa melihat keindahan yang tidak bisa kulihat selama di dunia manusia. Meskipun aku tidak bisa melihat Aiden secara jelas, setidaknya aku bisa melihatnya dalam bentuk bayangan. "Aku senang sekali melihatmu berlari dan menari seperti ini, Sayang. Ada perasaan sedih juga karena biasanya aku yang membantumu melakukan aktivitas sehari-hari. Di sini, kamu bisa melakukannya sendiri," ucap suamiku lembut, suaranya mengalir seperti aliran sungai yang jernih di depan kami, menenangkan sekaligus menghangatkan.Kami duduk di pinggir sungai yang indah, airnya yang jernih mengalir begitu tenang. Suasana ini begitu damai, dan aku merasa seolah dunia ini hanya milik kami berdua. Di sini, aku tidak merasa terbebani oleh keterbatasan penglihatanku. Alam Pusaka, dengan segala keajaibannya, memberiku kebebasan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku bisa merasakan udara yang lebih segar, aroma bunga yang jarang ditemukan di dunia manusia, dan setiap detik terasa begitu b
Pagi itu, di ruang tamu yang hangat, suasana terasa berbeda. Aiden, suamiku duduk di depan keluarga besarnya, seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang penting. Aku berada di sampingnya dengan tenang, meski tampak sedikit cemas. Keluarga sudah berkumpul, mendengar dengan penuh perhatian."Aiden, kamu tampaknya tidak seperti biasanya," kata Oma menyelidik situasi. "Ada apa? Kamu biasanya lebih ceria kalau bicara soal perusahaan."Aiden menarik napas dalam-dalam. "Aku dan Dea akan pergi berbulan madu," ucapnya dengan nada yang mantap, tetapi ada keraguan yang samar terbersit. Semalam kami sudah mengobrol, dan ia sempat mengungkapkan keresahan. Takut kalau tempat itu akan menstimulus traumaku. Namun, aku meyakinkannya. karena di sana aku bisa melihat pemandangan banyak hal karena diselimuti alam gaib. "Ke mana?" tanya Mama Rita, tertarik. "Ada tujuan spesial, Nak?""Alam Pusaka," jawab suamiku, membuat suasana hening seketika. Dea menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang datang
Malam itu, suasana ruang makan sudah penuh kehangatan. Aroma makanan khas keluarga memenuhi udara, membuat perutku yang tadinya gelisah kini mulai terasa lapar. Semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, berbincang dengan riang. Aku dan Aiden datang terakhir, menambahkan kursi di sisi meja untuk kami berdua. Mama Rita langsung tersenyum hangat melihat kami. “Akhirnya kalian datang. Kami sudah hampir mulai, loh.” Aiden membantu menarik kursiku dengan lembut, memastikan aku duduk dengan nyaman sebelum ia duduk di sebelahku. “Maaf, kami agak terlambat,” katanya dengan nada santai. “Dea tadi masih butuh waktu untuk bersiap.” Andre yang duduk di ujung meja, bercanda sambil tertawa kecil. “Ah, Aiden. Kamu makin romantis saja.” Semua orang di meja tertawa, kecuali aku yang hanya bisa tersenyum gugup. Rasanya sulit menyesuaikan diri dengan perhatian sebanyak ini. Namun, Aiden, yang sejak tadi menggenggam tanganku di bawah meja, memberiku rasa percaya diri. Setelah semua mak
Aku terdiam sejenak, merasakan pipiku mulai memanas mendengar ajakan Aiden. Suaranya begitu lembut dan menggoda, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.“Aiden,” panggilku pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupku. “Kamu tahu aku tidak terlalu suka dengan ide itu. Lagipula, aku belum terbiasa dengan semua ini.”Aiden tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. “Sayang, aku tidak memaksamu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Setelah semua yang kita lalui, aku merasa kita pantas menikmati momen yang tenang bersama.”Aku merasakan tangannya menggenggam jemariku dengan lembut, seakan memberikan kehangatan yang menenangkan. “Kita tidak harus buru-buru, Dea. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, sepenuhnya untukmu.”Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. “Kamu terlalu manis, Aiden. Kamu bisa gendong aku?”Aiden terdiam sejenak, lalu aku mendengar tawanya yang lembut dan penuh kehangatan. “Tentu saja, Sayang