Seorang gadis yang baru turun dari lamborghini veneno roadster mengundang beberapa pasang mata untuk terang-terangan menatapnya. Dengan gaya anggun melepas kaca mata, ia berjalan bak seorang model. Tujuannya adalah Perusahaan Citramaya Media. "Saya ingin membuat janji temu dengan bapak Dirgantara Ridwan Alessio. Kalau dia bertanya, bilang kalau Almeira Aishrabella yang ingin bertemu." "Maaf, Mbak. Tapi, beliau ada---" "Usahakan agar saya bisa bertemu dengannya!" titah Meira tegas. Tak lupa menyodorkan amplop ke arah wanita bermata sipit tersebut. "Baik, silakan menunggu di sana." Wanita itu mengarahkan Meira untuk menuju sebuah sofa besar khusus untuk menjamu tamu. "Saya tunggu," katanya sembari duduk dengan anggun. Butuh setidaknya 30 menit untuk Meira menunggu. Rasa kesal itu ia tahan mati-matian. Andai dirinya tidak ada keperluan dengan sosok yang tengah ditunggunya, tentu ia tidak akan mau buang-buang waktu menunggu seperti ini. "Setelah hampir tiga tahun, kamu baru menampa
"Gimana kabar kalian?" Begitu selalu sambutan Erlin tiap kali Ardian dan Alda berkunjung. "Baik selalu kok, Bun." Alda melemparkan senyuman usai menyalami tangan sang ibu mertua. Tak jauh beda dengan yang dilakukan Ardian. "Lama baru ke sini," sindir wanita itu terutama pada Ardian. Lalu ditanggapi pemuda itu dengan memutar bola mata. "Namanya juga lagi sibuk urus resto, Bun. Kayak nggak tau orang udah berumah tangga aja." Erlin memutar bola mata. "Mana nih kabar baiknya? Bunda sama ayah udah nunggu lama tau!" Ardian yang sudah paham ke mana arah pembahasan tanpa perlu dijelaskan langsung menyahut. "Masih proses. Tunggu sekitar dua tahun lagi." "Lama banget!" Erlin mencibir. Namun tak urung menarik tangan menantunya untuk duduk di sisinya. "Kamu bahagia nggak sama anak bunda yang nyebelin itu?" tanyanya sengaja menyindir Ardian. "Itu mah nggak usah ditanya lagi." Bukan Alda yang menjawab. Tapi Ardian. "Bunda bukan tanya sama kamu, ya!" Alda terkekeh pelan. "Bahagia
“Sesuai dugaan, kasus ini memang ada hubungannya sama Arthatama Company.” Meira melepas kaca mata hitamnya dengan anggun. Tersenyum smirk saat berhasil mengambil vidio yang menangkap persekongkolan antara direktur Arthatama Company dengan Citramaya Media. Sudah seminggu ini gadis itu mengawasi gerak-gerik direktur Arthatama Company dan mengikutinya kemana-mana. Karena harus menangani dua kasus sekaligus, Meira membagi 20 anggota Black Eagle ke dalam dua tim. Ia sendiri memimpin tim yang fokus menyelidiki kasus Alda, sementara Irwan, tangan kanannya, memimpin tim yang bertugas membantu Netta mencari keberadaan Clarissa yang diyakini masih hidup. “Andra dan Vian, tugas kalian selama seminggu ke depan awasi si botak itu. Cari tahu apa ini semua juga ada hubungannya sama Mr. X dan segera laporkan hasil penyelidikan kalian ke saya!” titah Meira tegas. “Siap, Bu Bos!” Seru keduanya kompak. “Delgan dan Gery, tugas kalian bantu Evan memantau rumah Ardian dan Alda. Ingat, jangan sa
“Eh, kalian pasang CCTV ya di sini?” “Itu bukan kami yang pasang,” gumam Ardian. Wajahnya menegang, sorot matanya berubah waspada. Meira buru-buru menutupi wajahnya. "Sial! Ada yang sedang mengawasi kita!" Gadis itu meraih ponselnya dengan cepat. Ia tampak sedang menghubungi seseorang. “Irwan, ada yang sedang memata-matai rumah Ardian dan Alda. Suruh anak-anak jaga di sekitar sini. Lokasinya nanti saya share. Satu lagi, CCTV yang mereka pasang bisa aja menangkap wajah saya. Bereskan itu. Jangan sampai rekamannya jatuh ke tangan mereka!” titahnya melalui panggilan telepon. “Siap, Bu Bos!” balas Irwan dari seberang. “Saya tunggu kabar baiknya.” Lalu Meira mematikan sambungan telepon.Ia kembali menatap Ardian dan Alda. “Aku curiga CCTV ini bukan cuma satu seperti yang kita lihat sekarang.” Suasana taman saat itu mulai mendung. “Kalian coba cek di seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Takutnya mereka udah pasang CCTV di banyak tempat.” Maka sesuai arahan Meira, Ardian dan
“Hm, masalah Mr. X, ya?” Meira mengusap dagunya tanda berpikir keras. Usai mendapatkan keterangan-keterangan dari Alda dan permintaan tolong gadis itu, ia akhirnya bersedia membantu. “Ini memang sedikit rumit sih. Karena aku yakin banget. Dia ini nggak sendirian.” Meira menggeledah tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah flash disk. “Sebenarnya, sebelum kamu minta tolong, aku beberapa waktu ini sudah menyelidiki kasus ini secara diam-diam. Dari CCTV kampus kamu, aku dapat rekaman ini.” Setelah file tersebut dibuka, muncullah satu rekaman yang memperlihatkan sosok perempuan yang sedang berada di sekitaran kampus tepat saat teror pesawat kertas menyasar Alda. Seperti biasanya, ia setia menggunakan masker dan topi. “Meski Netta memang berpotensi melakukan semua teror ini, tapi aku yakin yang di rekaman itu bukan Netta.” Satu pernyataan dari Meira yang membuat Ardian dan Alda kompak menatapnya. “Seyakin itu?” Suara Ardian yang baru memecah keheningan membuat Alda dan Meira kompak
“Kamu kenal sama orang yang kemarin bius kamu?” tanya Ardian pelan, seolah takut mengusik pagi yang nyaris tenang. Di hadapannya, Alda tengah menyantap sarapan sambil sesekali meniup uap dari cangkir tehnya.Gadis itu tak langsung menjawab. Diamnya panjang, seperti menarik ingatan dari dasar trauma. Baru setelah beberapa menit, ia angkat suara, “Cowok yang sekap aku di hotel waktu itu,” ucapnya, diiringi helaan napas panjang yang terasa berat.“Kamu masih ingat muka orang yang nyekap kamu?”Alda menggeleng pelan. “Mereka semua pakai masker sama topi. Tapi... aku yakin banget, meskipun yang kemarin datang ke sini juga pakai masker dan topi, dari postur tubuhnya nggak salah lagi. Dia salah satu dari mereka.”Kalimat itu membuat Ardian langsung menegakkan punggung. Wajahnya tegang.“Semalam aku cek rekaman CCTV depan rumah. Dan di situ juga kelihatan ada perempuan kayak lagi ngawasin rumah kita.” Ia menyerahkan ponsel ke Alda. Layar itu memperlihatkan potongan video yang ia maksud.“Kamu