LOGINSelama tiga bulan menikah, Rinoa belum pernah bertemu langsung dengan papa tiri suaminya. Sayangnya pertemuan pertama mereka malah terjadi karena sebuah kesalahpahaman yang membuat Rinoa makin lama makin terjerumus dalam sentuhan penuh gairah dari papa tiri suaminya yang bernama Barra. Rinoa sadar kalau ini salah, tapi bagaimana caranya menghentikannya kalau terlanjur ketagihan dengan pria berumur yang dominan itu? follow IG author: ikaarmeini
View More"Aku yang jemput papa Barra?" Rinoa mengernyit saat tiba-tiba saja suaminya―Enzo, memberi perintah untuk menjemput papanya. Lebih tepatnya itu papa tirinya Enzo.
"Iya, dong! Kamu yang jemput, sekalian kamu memperkenalkan diri ke papa. Waktu kita nikah kan beliau berhalangan hadir." Enzo yang baru selesai mandi itu pun langsung bergegas menggunakan pakaian kerjanya.
Rinoa berpikir sejenak, bukan tidak mau, tapi rasanya sedikit canggung kalau pertemuan pertama malah sendirian. "Memangnya kamu nggak bisa sebentar aja mampirin ke hotel untuk jemput papa Barra?"
"Kamu nggak ingat kalau aku ini pemimpin perusahaan? Aku ada banyak jadwal meeting hari ini. Lagian cuma urusan menjemput, masa kamu nggak mau? Kamu juga nggak sibuk kan di rumah? Daripada kerjaan kamu scroll sosmed nggak jelas." Enzo jadi sedikit ketus.
"Iya, tapi―"
"Tapi apa lagi? Kamu keberatan untuk jemput Papa?" Tatapan Enzo tiba-tiba saja jadi tajam ke arah Rinoa.
Belakangan ini sikap Enzo jadi sedikit berubah, jadi lebih ketus dan cuek. Mungkin karena banyaknya tuntutan pekerjaan di perusahaan yang membuat Enzo jadi seperti ini di rumah. Cuma melihat dari tatapan matanya saja sudah membuat Rinoa takut.
Rinoa pun dengan terpaksa mengangguk. "I-iya, nanti aku yang jemput papa!"
"Bagus! Sekarang ambil dasiku!" perintah Enzo kemudian.
Dengan cepat Rinoa mengambilkan dasi milik Enzo, lalu hendak membantu untuk memasangkannya. Namun tiba-tiba saja tangan Rinoa ditangkis.
"Nggak perlu, aku bisa sendiri! Siapkan sarapan buatku!" perintah Enzo lagi.
"Sarapannya udah siap di meja," jawab Rinoa pelan.
"Siapa yang siapin? Mbak Pur lagi? Aku maunya kamu yang belajar siapin sarapan buat aku! Udah tiga bulan kita nikah, masa kamu nggak mau belajar bikin sarapan?" Lagi-lagi Enzo bersikap ketus ke Rinoa.
"A-aku yang tadi―"
"Ah, udah lah ... aku nggak pengen sarapan, udah telat!" Enzo selesai memakai dasi sendiri lalu bergegas keluar dari kamar tanpa pamitan.
Rinoa benar-benar bingung dengan sikap Enzo, bahkan tadi Rinoa belum selesai bicara tapi Enzo sudah pergi meninggalkannya. Memang Rinoa tidak bisa memasak, tapi sejak menikah dia sudah berusaha untuk belajar. Bahkan sarapan pagi juga sudah dia siapkan sendiri tanpa dibantu oleh asisten rumah tangga. Biarpun mungkin rasanya belum seratus persen seenak buatan si asisten rumah tangga, tapi setidaknya Rinoa sudah terus belajar dan berusaha.
Enzo benar-benar tidak menyentuh sarapan yang Rinoa buat, dan langsung pergi begitu saja ke kantor.
Tatapan Rinoa pun jadi sedih melihat sarapan yang dibuatnya pagi-pagi tadi. "Bikinnya udah effort, jangankan dicobain sama dia, disentuh aja enggak! Padahal dia terus-terusan minta aku belajar masak, giliran udah masak malah dicuekin."
Baru tiga bulan menikah, rasanya Rinoa Amira mulai melihat karakter asli suaminya, Enzo Dinata. Dulu saat pacaran, Enzo terlihat sangat sempurna dan benar-benar jadi calon suami idaman.
Ternyata setelah menikah, tidak seratus persen harapannya jadi kenyataan. Enzo sangat jarang punya waktu berduaan dan bermesraan dengan Rinoa, yang ada malah sekarang Rinoa hampir tidak pernah disentuh lagi. Jujur saja, Rinoa jadi merasa sangat kesepian.
Setelah Enzo pergi tanpa pamitan tadi, Rinoa pun akhirnya bersiap-siap untuk menjemput mertuanya lalu menuju ke hotel yang terletak di dekat bandara. Mertua Rinoa ini tadi malam baru sampai di Indonesia, masih ada beberapa urusan penting dengan klien, makanya memutuskan untuk menginap saja di hotel terdekat supaya tidak memakan waktu lama.
Begitu sampai di hotel tersebut, Rinoa pun segera menuju ke kamar mertuanya. Padahal sejak tadi Rinoa sudah mencoba menghubungi ponselnya, tapi tidak dijawab, mungkin sedang mandi atau bersiap-siap. Jadi ya, tidak ada salahnya untuk bertegur sapa dengan mertua, mungkin setelah ngobrol sebentar nanti mereka bisa langsung pulang ke rumah.
Beberapa kali Rinoa mengetuk pintu, pada akhirnya pintu kamar pun terbuka.
"Akhirnya kamu datang juga! Udah lama banget saya nungguin kamu," suara berat khas papa Barra yang biasa Rinoa dengar via telepon, kini terdengar langsung di hadapan Rinoa.
Laki-laki paruh baya itu terlihat hanya membalut bagian bawah tubuhnya dengan handuk. Tubuhnya pun masih sedikit basah, mungkin benar kalau baru selesai mandi. Makanya telepon dari Rinoa tidak dijawab.
Belum sempat Rinoa berkata-kata, tapi tangannya langsung ditarik oleh papa Barra untuk masuk ke dalam. Tubuh Rinoa pun langsung ditempelkan pada pintu yang baru saja ditutup oleh Barra tersebut.
"Bisa-bisanya kamu biarin saya nunggu lama seperti ini." Mata Barra terlihat fokus memperhatikan kedua mata Rinoa. Jarinya pun mengelus lembut bibir perempuan itu. "Jadi karena kamu nggak tepat waktu, kamu harus dapat hukumannya!" Barra menyeringai.
"Hu-hukuman?" Seketika Rinoa merasakan merinding bulu roma. Tidak menyangka kalau papa mertuanya akan menghukumnya karena Rinoa kelamaan menjemput. Jantungnya berdegup tak karuan, satu sisi juga panik.
Dalam hitungan detik, tiba-tiba saja Rinoa merasakan rasa hangat pada bibirnya. Ini jelas di luar nalar.
Kenapa mertuanya malah menciumnya? Rinoa mau berontak, tapi tidak bisa melawan tenaga Barra yang lebih kuat. Makin lama ciuman itu makin dalam, bahkan mau berontak lagi pun rasanya percuma. Malah yang ada Rinoa jadi menikmati ciuman yang sebenarnya terlarang tapi mulai bikin mabuk kepayang ini.
Rasa ciuman ini sangat berbeda dengan ciuman-ciuman yang Rinoa rasakan dengan suaminya. Bahkan Barra mampu membuat Rinoa mengeluarkan desahan halus saat di tengah ciuman yang mulai memanas ini.
Tidak, tidak ... ini salah! Sangat salah.
Rinoa tersadar, dia pun langsung mendorong tubuh Barra dengan sangat kuat.
Laki-laki itu tersungkur di lantai. Dia pun merintih dan meringis kesakitan.
"Jangan macam-macam, a-atau aku bakalan bilang ke Enzo kalau Papa perlakukan aku begini!" gertak Rinoa dengan bersuara keras dan mencoba mengingatkan semampunya. Tangan dan kaki Rinoa sudah gemetaran tak karuan.
Barra tertegun sejenak. Keningnya mengernyit. "Apa? Enzo?"
Ponsel milik Barra tiba-tiba saja berbunyi, laki-laki itu pun dengan perlahan bangkit dari posisinya di lantai kemudian meraih ponselnya. Begitu Barra melihat layar ponselnya, ternyata dari perempuan yang seharusnya menjadi tamunya.
Barra mencuri pandang ke arah Rinoa yang masih berada di posisi yang tadi. Ah, sial ... jangan bilang kalau Barra sudah salah orang.
Barra pun menjawab panggilan telepon tersebut.
"Halo, Om! Maaf aku nggak bisa datang, tiba-tiba aja dosenku bikin ujian mendadak. Aku ganti jadi besok atau nanti malam aja, gimana?" jelas perempuan yang menghubungi Barra tersebut.
Ternyata benar, memang salah orang. Sungguh rasanya sangat canggung dan sangat malu sampai ke ubun-ubun.
"O-oke, nggak masalah!" jawab Barra. Laki-laki itu pun dengan cepat menyudahi panggilan telepon tersebut.
Barra terlihat mengatur napasnya sejenak, mencoba memberanikan diri mendekat ke perempuan yang barusan jadi salah sasaran itu.
Tentu saja Rinoa jadi menjaga jarak aman, takut kalau tiba-tiba saja mertuanya jadi gila lagi seperti tadi.
"Ma-maaf, sepertinya saya salah orang. Sekali lagi saya minta maaf kalau sudah bikin kamu nggak nyaman. Ummm ... ja-jadi kamu ini―"
"Aku Rinoa, istri Enzo!" jawab Rinoa dengan cepat.
Rinoa bingung, kenapa Barra tak kunjung kembali mencarinya di balik rak buku? Dia pun menghela napas dengan kasar, lalu memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya."Pergi ke mana sih Papa? Kenapa lama?" Rinoa mondar mandir di ruang kerja Barra sambil menggigit jarinya. Mau keluar dari ruang kerja tersebut tapi takut ketahuan si asisten rumah tangga. Masalahnya harus berapa lama Rinoa menunggu dengan bersembunyi di sini? Haruskah Rinoa bersabar menunggu kedatangan Barra?Lama Rinoa kembali menunggu, sampai akhirnya dia pun memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Walaupun dengan mengendap-ngendap karena takut ketahuan.Mata Rinoa mengawas di sekitar, tak ada tanda-tanda si asisten rumah tangga di sana. Sepertinya sudah kembali ke kamarnya untuk nonton sinetron. Lantas ke mana perginya Barra?Kalau begini rasanya Rinoa seperti digantung saat sedang nafsu-nafsunya. Mungkin sebaiknya Rinoa kembali ke kamar, siapa tahu nanti Barra akan kembali muncul.Saat Rinoa hendak kemb
Kepanikan terjadi sejenak, Rinoa buru-buru merapatkan kedua kakinya dan langsung turun dari atas meja kerja Barra. Perempuan itu pun secara otomatis merapikan pakaiannya dengan cepat. "Mbak Pur, Pa," bisik Rinoa dengan ekspresinya yang sangat tegang. Kaki dan tangannya pun ikut gemetar."Mungkin lebih baik dibiarkan aja," jawab Barra dengan cuek. Ada rasa kesal yang muncul akibat suara asisten rumah tangga itu. Sungguh mengganggu momen nikmat berdua bersama Rinoa.Rinoa menggelengkan kepalanya. "Enggak, kalau dibiarin malah bikin Mbak Pur curiga, Pa.""Terus Papa harus bukain pintu dalam kondisi yang seperti ini?" Barra menunjuk miliknya di bawah sana yang baru saja dipasangkan pengaman. Bukan masalah rugi satu pengaman bercinta, tapi masalahnya birahi sudah terlanjur di puncak."Bisa dilepas dulu, kan? Atau mungkin Papa langsung tutup aja pakai celana." Rinoa nyengir tipis, takut kalau ide yang terpaksa ini membuat Barra kecewa.Maunya Barra tetap keras kepala, tapi ketukan pintu da
Barra lagi-lagi tak menjawab pertanyaan Rinoa, tapi caranya merespon adalah dengan tindakan langsung. Laki-laki itu membuka celah celana dalam Rinoa, lalu secara perlahan mendekatkan bibirnya pada bagian sensitif milik Rinoa tersebut. "Paaaaaahhh ...." Tubuh Rinoa gemetaran begitu rasa hangat dari bibir dan lidah Barra menyentuh bagian sensitifnya di bawah sana. Ah, sial ... rasanya geli tapi sungguh nikmat. Barra tidak hanya jago urusan ciuman bibir, tapi urusan membahagiakan titik sensitif milik Rinoa pun perlu diacungi jempol. Sungguh Rinoa sangat menyukai bagian ini, sensasi geli tapi nikmat itu membuat tubuh Rinoa merasakan hormon oksitosin yang meningkat. Sibuk Barra menikmati bagian bawah milik Rinoa dengan bibir dan lidahnya, sementara Rinoa berkali-kali melenguh dan mendesah. Sebisa mungkin desahan itu ditahan agar tidak terlalu keras, masalahnya kenikmatan ini adalah sesuatu yang sulit ditahan. Sesaat Rinoa tidak peduli, biar saja desahannya menggema di ruangan ini. Lagi
"Ma-maaf, Pa. Ma-maaf ka-kalau Papa berkali-kali nu-nungguin aku," ucap Rinoa dengan terbata-bata. Barra kembali menyisir rambut Rinoa dengan jari-jarinya. "Nggak masalah, Papa punya tingkat kesabaran yang cukup. Tapi ... belakangan ini kesabaran Papa sedikit diuji, sepertinya ada sesuatu yang membuat Papa jadi nggak sabaran lagi." Rinoa yang duduk menyamping di pangkuan Barra itu pun seketika menatap ke arah Barra. "Apa, Pa?" "Kamu ... kamu yang bikin Papa jadi nggak sabaran, Noa." Jari-jari Barra yang tadi menyusuri rambut Rinoa kini berpindah ke pipi Rinoa. Perlahan jari itu mengelus lembut pipi Rinoa, lalu berpindah ke bibir Rinoa. "Papa sengaja makan malam dalam porsi yang sedikit, karena makan malam utama Papa ada di sini." "Maksudnya?" tanya Rinoa dengan ekspresi bingung. Barra tersenyum tipis kepada Rinoa. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Barra lagi, hanya gerakan tangannya yang kini sudah berpindah ke bagian bawah tubuh Rinoa. Berawal dari mengelus pelan paha






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.