Tiba-tiba Alda teringat sesuatu. "Oh iya, ada satu lagi kabar bahagia, Kak," ujarnya tiba-tiba. Ardian mengernyit. "Kabar bahagia apa?" Tanyanya penasaran. Alda tersenyum misterius. "Coba tebak."Ardian menggaruk dagunya sesaat. Ia terlihat berpikir keras. "Kamu hamil lagi?!" PLAK!! "Itu si kembar baru 2 bulan. Nggak usah ngada-ngada!" Ardian terkekeh. Laki-laki itu mengusap-usap pelan bahunya yang sempat digampar sang istri. "Bercanda sayang, sensitif amat." "Maaf." Alda lalu ikut mengusap-usap pelan bahu Ardian bekas gamparannya tadi. "Jadi, apa berita bahagianya? Kamu beli tas baru?" Alda menggeleng. "Coba tebak lagi." "Em, kamu baru beli sepatu?" tebak Ardian lagi yang dibalas gelengan dari Alda. "Jadi, apa dong berita bahagianya?" Laki-laki itu sudah menyerah untuk menebak-nebak. "Kak Meira mau nikah!" ujar Alda heboh sendiri. "Oh ya, kapan itu?" tanya Ardian ikut penasaran. "Bulan depan. Calon suaminya ganteng tau, mirip artis Korea!" Wanita itu berubah a
Malam itu, suasana rumah terasa hangat meski lampu temaram menyelimuti ruang kerja mereka. Ezzel dan Eliza sudah tertidur lelap di dalam baby box masing-masing. Napas mereka teratur. Sesekali terdengar desahan halus bayi yang tidur. Tinggallah Alda dan Ardian yang masih terjaga, masing-masing tenggelam dalam urusan yang belum selesai. Alda menunduk di atas meja, matanya fokus pada beberapa sketsa gaun pernikahan yang tertata rapi di depannya. Sementara Ardian sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka. Ia masih sibuk menyelesaikan beberapa pekerjaan penting yang sempat tertunda. Sesekali ia meneguk kopi hangat dari cangkirnya sebelum mengetik lagi. “Bagaimana sama butik, lancar?” tanya laki-laki itu setelah menutup laptopnya. Alda menoleh sebentar, matanya masih menyapu sketsa di depan. Ia menghela napas panjang, seolah menyingkirkan sebagian kepenatan yang menumpuk di kepalanya. “Ada sedikit masalah,” ujarnya sambil menunduk meneliti hasil sketsanya. Ardian mengernyit, mengam
Di pagi yang hangat itu, suara tangisan bayi memenuhi kamar Ardian dan Alda. Alda dan bayi kembar mereka sudah sehat sehingga diperbolehkan pulang ke rumah. “Anak ganteng papa kenapa nangis, hm?” Ardian menghampiri box bayi dan mengangkat Ezzel ke pelukannya. Ia mengusap lembut pipi sang putra. “Ezzel lapar, ya?” tanyanya seraya menimang-nimang bayi itu. Namun, belum sempat Ezzel tenang, Eliza ikutan menangis. "Sayang, Eliza sama Ezzel nangis, nih. Kamu masih lama nggak?" teriaknya pada Alda yang masih berada di dalam kamar mandi. Tangisan kedua bayi itu menggema memenuhi ruangan yang semula tenang. Ardian panik. Ia berusaha menenangkan keduanya namun akhirnya kewalahan. "Anak cantik papa, udah dong nangisnya. Papa nggak berani gendong kalian berdua sekaligus," ujarnya seraya menepuk-nepuk paha Eliza pelan. Bayi perempuan itu masih berada di dalam box bayi. Naasnya, semakin ditenangkan, semakin kencang pula kedua bayi itu menangis. "Kalian lapar, ya? Bentar ya sayang, ma
Dua jam yang lalu bayi kembar laki-laki dan perempuan telah terlahir ke dunia. Seperti hasil pemeriksaan, Ardian dan Alda benar-benar dikaruniai anak kembar. Sama seperti orang tuanya, keduanya tampan dan juga cantik. Nama mereka, Eliza Ayleen Elfaero dan Ezzel Avleen Elfaero. Sudahlah, nama pemberian Ardian terlalu panjang. Memang dasar bapak-bapak konglomerat. Kasih nama anak panjangnya sudah seperti jalan tol. Mana ribet lagi. “Lucu banget sih ponakannya aunty.” Meira heboh sendiri. Ia menggendong bayi laki-laki tersebut dan menoel-noel dagunya dengan gemas. “Ciee, kamu hidungnya mirip aunty Netta.” Netta tersenyum. Tangannya mencubit hidung Eliza dengan gemas. “Heh, situ nggak usah ngada-ngada ya! Dimana-mana, anak itu mirip mama sama papanya bukannya mirip nenek lampir kayak kamu!!” Meira langsung ngegas membuat Ezzel yang berada di gendongannya menggeliat pelan. “Sirik aja lo, orang dia ponakan kandung gue kok!” Netta ikutan ngegas. Jadi, seperti inilah rutinitas
Siang itu ruang rapat markas Black Eagle dipenuhi cahaya dari lampu gantung yang memantul di meja kayu panjang. Di hadapan tim, Meira berdiri dengan ekspresi tenang. Gadis itu lalu membuka rapat dengan tegas. "Karena semua sudah ada, saya akan membacakan hasil penyelidikan kita selama ini." Semua kepala mengangguk. Meira lalu menghamparkan kertas besar yang ia pegang ke atas meja. Kertas itu penuh dengan coretan, garis merah, dan simbol yang menghubungkan banyak nama. Di atasnya ia menulis judul tebal dengan spidol hitam. “PUZZLES”. “Kalau kita lihat, pelaku di balik kasus Alda dan Ardian ternyata ada banyak orang.” Ia menelusuri garis-garis di kertas itu dengan telunjuknya. “Percobaan pembunuhan sebanyak dua kali, pengiriman ular dua kali, penembakan kaca jendela apartemen, dan berbagai teror lain yang bisa mengancam nyawa itu semua ulah Queen.” Ia berhenti sejenak, memberi ruang bagi tim untuk mencerna. “Sedangkan yang menculik dan menjebak Alda, menyebarkan fitnah dan merusak
Malam itu, halaman belakang rumah keluarga Adiwijaya dipenuhi cahaya lampu gantung yang berjejer rapi. Aroma daging yang dipanggang menambah hangat suasana. Erfan berdiri di depan panggangan dengan celemek bertuliskan Chef Erfan, sementara Erlin sibuk mondar-mandir membagikan piring ke semua orang. Semua pelayan di rumah itu diliburkan sementara. Malam ini bukan hanya sekedar kumpul-kumpul untuk keluarga inti saja, melainkan Erlin juga mengundang keluarga besannya dan juga sahabat anak-anaknya. “Satenya udah mau matang nih!” seru Erfan sambil mengipasi arang dengan penuh semangat. Ardian dan Alda baru tiba. Mereka berjalan beriringan. Ardian yang terlihat sangat protektif tak pernah lepas menggenggam tangan Alda. Begitu melihat mereka, Erlin langsung bersorak. "Pasangan paling romantis abad ini memasuki ruangan!" Semuanya kompak tertawa. Tak jauh beda dengan ketiga sahabat Alda, Meira dan juga Netta yang sudah duduk manis di atas tikar yang mereka hamparkan. Tak lama Ella d