LOGINSuara dari luar rumah membuat langkah Aziz terhenti di ambang pintu. Ia menoleh ke belakang, berharap siapa pun di luar sana tidak membawa masalah baru ke keluarganya. Namun, ketika pintu dibuka, matanya langsung tertumbuk pada dua sosok yang membuat perasaannya campur aduk.Di depan pintu berdiri Sandra bersama seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah mertuanya dulu. Wajah mereka tampak lelah, tetapi ada sorot penyesalan yang jelas di mata keduanya. Sandra memeluk tas kecil di dadanya, sementara sang ibu menggenggam tongkat kayu yang membantunya berdiri tegak.“Assalamu’alaikum,” sapa Bu Lilis dengan suara pelan namun penuh arti.Bu Hasnah yang berdiri di belakang Aziz menjawab salam itu dengan cepat. Meski raut wajahnya sempat mengeras, ia berusaha tetap tenang. “Waalaikumussalam. Ada apa malam-malam begini?” tanyanya tegas namun sopan.“Kami... kami datang untuk meminta maaf,” ucap Sandra dengan suara ber
Aziz memasang wajah menyedihkan agar dia mendapatkan iba dari sang ibu, namun, wanita paruh baya itu tetap pada keputusannya.“Masa Ibu tega sama anak sendiri?” bujuk Aziz dengan wajah memelas.Bu Hasnah menggeleng lalu berkata, “Pulang ya, Ziz. Alena butuh istirahat sekarang.”Aziz terdiam, berusaha menahan rasa frustrasi yang semakin menumpuk di hati. Ia tahu bahwa bujukannya tidak akan mengubah keputusan ibunya. Dengan berat hati, ia berpamitan pulang, menyembunyikan rasa kecewa di balik senyum tipis yang dipaksakan. Begitulah yang ia lakukan selama tiga minggu berturut-turut. Setiap kali ia datang dengan harapan bisa menemani istrinya, setiap kali pula ia harus pergi dengan hati hampa.Di apartemen kantor, Aziz sering termenung memandangi foto pernikahannya dengan Alena. "Aku suaminya, tapi kenapa rasanya seperti tamu di rumah sendiri?" gumamnya dalam hati. Setiap malam ia menuliskan pesan-pesan dukungan untuk Alena di ponselnya, namun sering kali menghapusnya sebelum terkirim, ta
[Mas, enggak sanggup sayang.]Pesan singkat itu membuat Alena terdiam. Ia bisa merasakan kegelisahan Aziz dari kata-katanya. Butuh beberapa detik baginya untuk merespons.[Sabar ya, Mas.]Jawaban singkat itu disusul pesan lain dari Aziz.[Mas pengen peluk kamu.]Alena menarik napas panjang sebelum membalas.[Iya, lusa kan kita jumpa. Aku mau ke kampus buat ajuin judul skripsi.]Membaca balasan itu, Aziz merasa sedikit lebih lega. Ia bahkan membayangkan momen ketika akhirnya bisa melihat Alena lagi. Namun, rasa rindu yang sudah lama dipendam tidak mudah untuk diredakan.Hari yang dinantikan pun tiba. Aziz mengenakan kemeja biru, dipadukan dengan celana panjang hitam, mencoba terlihat lebih segar meski pikirannya kacau. Ia melaju ke rumah dengan harapan bisa mengantar istrinya ke kampus. Namun, sesampainya di sana, ia kembali menemui kekecewaan.Di ruang tamu yang bernuansa klasik, Bu Hasnah duduk dengan sikap tegas, matanya menatap Aziz dengan penuh kewibawaan.“Alena tidak akan pergi
Di ruangan rawat inap yang remang dengan cahaya sore yang mulai masuk melalui celah tirai, Aziz duduk dengan wajah penuh kekhawatiran di sisi ranjang Alena. Tangan besarnya menggenggam erat tangan istrinya yang masih terlihat lemah. Meskipun kondisi Alena mulai membaik, wajah pucatnya mengingatkan Aziz betapa ia telah lalai.Di sudut lain, Bu Hasnah menatap anaknya dengan pandangan tajam, seolah memberikan penghakiman tanpa kata-kata. Tidak jauh dari situ, Bu Ratih berdiri tenang, mengamati dinamika yang terjadi antara keluarga besarnya. Sasya dan Zizi duduk diam di sofa kecil, merasa canggung menyaksikan momen yang penuh ketegangan.“Aziz,” panggil Bu Hasnah akhirnya, memecah keheningan. Suaranya rendah, tetapi penuh wibawa. “Ibu sudah memikirkan ini baik-baik.”Aziz menoleh, alisnya mengernyit. “Apa maksud Ibu?” tanyanya dengan nada hati-hati.Bu Hasnah menghela napas panjang sebelum menjelaskan keputusannya. “U
“Maaf, Bu.”Aziz hanya pasrah, menundukkan kepalanya dengan perasaan penuh rasa bersalah. Ia tahu, semua yang terjadi adalah akibat dari keputusannya selama ini.Bu Hasnah menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang terus berkecamuk di dalam hatinya. Namun, kekecewaan tetap tergambar jelas di raut wajahnya. “Kalau Ibu enggak telepon Sasya, pasti kalian enggak cerita, kan?” ucapnya dengan nada tajam.“Bu...” Alena mencoba menegur dengan suara pelan, tak tega melihat suaminya diomeli habis-habisan. Sebagai menantu, Alena mengenal Bu Hasnah sebagai sosok yang lembut, bijaksana, dan jarang sekali menunjukkan kemarahan seperti ini.“Jangan dibela, Nak,” tegur Bu Hasnah, melirik Alena sejenak sebelum kembali menatap Aziz. “Aziz memang enggak pernah belajar dari kesalahan! Dari awal seharusnya dia enggak membiarkan Sandra tinggal di rumah kalian. Sandra itu benalu. Bahkan sebelum Rina meninggal, dia
Malam itu terasa begitu mencekam. Ambulans meluncur dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit, sirenenya memecah keheningan jalanan. Di dalam ambulans, Aziz duduk dengan wajah tegang, memegang erat tangan Alena yang terkulai lemah. Matanya berkaca-kaca, bibirnya terus bergetar melafalkan doa. Wajah Alena tampak pucat pasi, dengan keringat dingin mengalir di dahinya.“Sayang, tolong bertahan, ya. Aku di sini,” ucap Aziz dengan suara lirih, penuh penyesalan yang begitu dalam.Petugas medis terus memeriksa kondisi Alena. “Tekanan darahnya turun. Kita harus cepat,” ujar salah seorang petugas, menambah ketegangan di dalam ambulans.Sementara itu, di pojok ambulans, Zizi dan Sasya menangis terisak-isak. Zizi memegangi tangan kakaknya, sementara Sasya memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. “Papa, Kak Alena kenapa?” tanya Zizi dengan suara serak, tetapi Aziz tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa memejamkan matanya, menahan rasa bersalah yang begitu menusuk.Saat tiba di rumah sakit, Alena se







