Di sebuah kota kecil, di belahan dunia lain. Seorang pria berumur dua puluh tujuh tahun, tampak berjalan masuk ke sebuah kantor berukuran kecil. Suara sol tak terlalu menggema ketika menapaki lantai, beberapa orang yang berpapasan tampak membungkuk memberi hormat.
“Bagaimana perkembangannya?” tanya pria berpakaian formal itu kepada pria yang mengikuti langkahnya.
“Semuanya sudah diurus dengan baik, tinggal mengeluarkan surat izin pembangunan saja,” jawab pria yang ternyata adalah asisten pribadinya.
Pria itu masuk ke salah satu ruangan, lantas disambut oleh pria lain di sana.
“Senang sekali bertemu dengan And, Pak Archie.” Pria tua bertubuh gempal itu langsung berdiri begitu melihat siapa yang datang.
Archie Sayaka, putra kedua dari keluarga Sayaka, adik dari Alexander Sayaka. Pria blesteran Jepang-Prancis itu tampak memiliki wajah manis dengan kulit putih bersih. Meski wajahnya tampak seperti orang China, tapi pada kenyataannya Archie memiliki rambut berwarna kecoklatan seperti ibunya yang berkewarganegaraan Prancis.
“Saya juga senang bertemu dengan Anda, Tuan.” Berbeda dengan Alex yang memiliki wajah dingin dan kaku, Archie lebih suka tersenyum dan terlihat lebih ramah.
“Silakan duduk!” Pria itu mempersilakan Archie duduk di sofa yang terdapat di ruangan itu.
“Bagaimana perkembangan berkas yang kami ajukan?” tanya Archie to the point karena tak bisa berlama di sana.
“Semua sudah beres, perusahaan Anda sudah bisa melakukan pembangunan sesuai dengan jadwal yang Anda inginkan,” jawab pria itu. “Kami berterima kasih karena Anda mendirikan pabrik di kota kecil ini, dengan begini para pengangguran akan mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan mereka,” imbuh pria itu.
Archie tersenyum manis, kemudian menganggukkan kepala pelan.
“Anda mengizinkan pabrik kami berdiri, itu sudah sangat menguntungkan bagi kami. Sudah sepatutnya kami pun memberikan keuntungan untuk kalian, terutama warga sekitar,” balas Archie tanpa menghilangkan senyum.
Pria itu adalah walikota dari kota kecil di negara itu. Kota kecil yang tidak terjamah oleh bantuan pemerintah, kota kecil yang mencoba membangun perekonomian mereka tanpa campur tangan pemerintah dari kota besar. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh perusahaan keluarga Archie, membuka tanah lantas membangun pabrik perakitan senjata dengan dalih ingin ikut mensejahterakan warga di sana. Bukankah pembangunan pabrik di kota kecil itu sangat brilian.
“Anda selain muda dan pintar, ternyata Anda sangat baik juga ramah. Tak menyangka jika perusahaan besar Anda akan tertarik membangun pabrik di sini,” ujar pria itu penuh kebanggaan pada Archie, tak hentinya berterima kasih karena Archie memilih kota mereka daripada kota besar yang mudah diakses. Kota terpencil itu tak memiliki akses jalan yang mudah, hingga walikota itu berharap dengan adanya pabrik milik Archie, maka pria dari keluarga Sayaka itu akan memperbaiki perekonomian serta akses jalan mereka ke kota besar menjadi lebih baik.
“Anda terlalu memuji. Saya di sini hanya sedang melakuka simbiosis. Saya untung, Anda dan warga sekitar juga, bukankah seharusnya begitu,” ucap Archie dengan senyum manis, meski tiap kata yang terlontar terdengar begitu tegas dan lugas.
Walikota itu tertawa, sungguh semakin memandang Archie adalah pria yan luar biasa. Mereka pun membahas hal lain, Archie sendiri menanggapi dengan ramah demi mendapatkan hati walikota di sana.
Setelah perbincangan lama, Archie pun pamit undur diri. Dia dan asistennya keluar dari ruangan itu dan berjalan untuk keluar dari gedung yang berukuran tak terlalu besar itu.
“Saya tak menyangka jika dua kali pertemuan Anda dengan walikota, langsung membuat pria tua itu setuju. Sedangkan Anda tahu jika tim kita telah membujuk walikota itu selama berbulan-bulan tapi ditolak mentah-mentah karena berbagai alasan,” ucap asisten Archie bernama Hubert.
“Sikap dan sopan santun itu diperlukan, rendah diri dan menghormati orang lain adalah kunci. Jika kamu ingin mendapat sebuah keuntungan, maka berikan dulu keuntungan pada orang lain. Saat mereka merasa jika kamu sangat menguntungkan bagi mereka, saat itu pula mereka akan menarikmu ke dalam dunianya tanpa kamu minta,” ujar Archie santai, berjalan dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana.
Hubert merasa terkagum-kagum dengan bosnya itu. Bisa diakui jika negosiasi yang dilakukan Archie selalu berhasil. Archie adalah kunci untuk membuka semua kesempatan bisnis, sedangkan Alex adalah eksekutor untuk bisnis itu sendiri. Keduanya bekerjasama dengan baik, tanpa ada perselisihan jabatan atau status, karena Archie sendiri sangat menghormati kakaknya.
“Ingat untuk memberitahu pada tim kita, agar sopan dan menghargai warga di sini. Jangan sampai ada yang arogan dan membuat masalah, hingga rencana pembangunan kita kembali terhambat!” Archie memberitahu Hubert untuk memperingatkan tim mereka, karena Archie tahu jika pekerja dari kota terkadang memiliki sifat semena-mena dan seenaknya sendiri.
“Saya paham,” balas Hubert.
Saat Archie baru saja akan masuk ke mobil yang terparkir di pinggir jalan, tiba-tiba dia mendengar suara gadis berteriak begitu keras.
“Awas! Kudanya lari tak terkendali!” teriak seorang gadis berada di atas kuda yang sedang berlari kencang.
Archie memandang ke arah suara, hingga melihat seorang gadis berambut hitam sedikit ikal tampak panik ingin menghentikan kuda yang ditunggangi.
“Pak, awas!” Hubert berusaha melindungi Archie karena tak ingin bosnya itu tertabrak kuda liar itu.
Namun, bukannya menghindar, Archie malah pasang badan di jalan, membuat Hubert panik akan hal itu.
“Pak!” teriak Hubert, hendak mendekat tapi Archie langsung mengangkat tangan, mengisyaratkan agar Hubert diam di sana.
“Tuan minggir!” teriak gadis itu karena Archie menghalangi jalan, takut jika sampai tertabrak kuda.
Archie melepas jasnya, lantas melempar ke arah Hubert. Pria itu terlihat begitu siap, tatapannya mengukur tinggi dan besar badan kuda itu.
“Oh tidak!” Gadis itu semakin panik karena kuda semakin dekat dengan Archie. Sedangkan dia tidak bisa mengendalikan kuda itu, apalagi membuat hewan itu berhenti.
Hubert memejamkan mata, tak berani melihat jika Archie sampai terpental karena ditabrak kuda.
Rambut berwarna hitam pekat panjang itu tergerai indah, diterpa angin yang membuat rambut itu melambai ke belakang. Tubuh rampingnya berbalut kemeja berwarna cokelat dengan bagian bawah yang masuk ke celana berbahan jeans berwarna biru muda.“No! No! No!” pekik gadis itu saat moncong kuda hampir mencium kepala Archie.Namun, siapa sangka jika tujuan utama Archie bukanlah menghentikan kuda itu, tapi menurunkan gadis yang ada di atasnya. Saat kuda itu hampir sampai di tempatnya berdiri, Archie sedikit minggir lantas kedua tangan dengan sigap meraih tangan gadis yang menunggangi kuda itu. Dia lantas menarik dan membawa gadis itu ke dalam pelukan.Kuda itu masih terus berlari dengan cepat, meninggalkan sang pemilik yang sudah tak berada di atas punggung.Sedangkan gadis itu sangat terkejut dengan yang dilakukan Archie, dia dan Archie jatuh ke tanah dengan posisi adik Alex itu berada di bawah.Hubert yang tadi memejamkan mata, lantas sedikit mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Sampai
Di kota tempat Alex tinggal. Alex terlihat duduk dengan gelas berisi minuman di tangan. Dia lantas memejamkan mata seolah sedang mengingat sesuatu.“Cukup minumnya! Kamu sudah mabuk berat!” Alex tampak mengambil paksa gelas kristal dari tangan seseorang.“Lex! Biarkan sekali ini saja aku mabuk!” Suara pemuda yang kini bersama Alex terdengar begitu berat, kelopak matanya hampir tertutup, wajahnya memerah karena pengaruh dari alkohol yang masuk ke tubuh.Alex menggelengkan kepala, meletakkan gelas yang dipegang ke meja, lantas bersiap memapah pemuda mabuk itu pergi dari sana.“Kita pulang sekarang, aku akan mengantarmu,” ucap Alex merangkulkan satu tangan pemuda mabuk itu melingkar di lehernya.Namun, pemuda itu menolak ajakan Alex. Dia kembali menarik tangan dari leher Alex dan duduk di tempatnya semula.Alex terkejut dengan penolakan pemuda itu, menatap tajam dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan pemuda itu.“Lex, tolong … biarkan … biarkan aku sekali saja menjadi p
Selena masih tertidur pulas di kamar besarnya, di kasur yang berukuran king size nan empuk. Gadis itu tidur dengan posisi tengkurap di tepian ranjang, sedangkan satu tangan tampak menggantung ke lantai. Matahari yang meninggi, tak mengganggu tidur lelap gadis manja itu, meski sinarnya terasa menyengat di wajah manisnya dan langsung menyorot ke kelopak mata. Efek alkohol yang menguasai tubuh, membuat Selena benar-benar tak sadar sudah tidur berapa lama.“Selena, apa kamu tidak mau bangun untuk sekedar makan atau yang lainnya.” Suara lembut keibuan itu terdengar begitu nyaman di telinga. Evelia mencoba membangunkan Selena yang tak kunjung bangun meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Selena tak bergerak, tampaknya dia memang sedang benar-benar menikmati mimpi indahnya, hingga tak mendengar jika sang ibu membangunkan.Evelia menghela napas kasar, putrinya itu memang selalu begini jika pulang dalam kondisi mabuk. Dia lantas berjalan ke arah jendela kaca yang membentang bagai d
Alex berangkat ke perusahaan seperti biasanya. Langkah kakinya yang begitu ringan tapi mantap, derap sol sepatu di lantai menciptakan suara yang menggema di koridor menuju ruangannya berada. Seorang pria lain berjalan di sebelahnya, pria itu adalah Aries—asisten serta tangan kanan kepercayaan Alex.“Bacakan jadwalku hari ini!” perintah Alex dengan suara pelan tapi tegas.“Siang ini Anda ada rapat dengan pihak Maxel Group, lalu dilanjut ….” Aries membacakan rentetan jadwal yang harus dikerjakan oleh Alex.Alex mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk kecil untuk membalas sapaan staf yang memberinya hormat. Meski Alex adalah pemimpin tertinggi di sana dan terkenal kaku, keras, juga dingin, tapi dia selalu ingat akan nasihat Claira—sang ibu. Wanita paruh baya itu selalu berpesan agar tetap menghormati orang-orang disekitar, meski pria itu bersikap dingin.“Oh ya, Apa sudah ada kabar dari Hubert?”
Di sebuah kamar hotel berukuran besar dan terkesan mewah, dua manusia berlawanan jenis tampak sedang mengarungi bahtera penuh gairah untuk mencapai kenikmatan dunia. Namun, pria yang ada di atas tubuh wanita bertubuh polos nan seksi itu, tampak tak berkonstrasi dan lebih terlihat tak menikmati sama sekali percintaan panas itu.Alex mencoba melepas penat dengan mengajak bercinta seorang model ternama, berharap pikirannya bisa sedikit rileks dan tenang, setelah seharian merasa tertekan dan banyak sekali masalah yang dipikirkan. Namun, pada kenyataannya gairah itu memudar, seiring kata demi kata Sean yang terus terngiang di kepala.“Lex, apa kamu baik-baik saja? Apa ingin ganti posisi?” tanya wanita yang bersama Alex.“Sial!” Alex mencengkeram sprei seolah sedang meluapkan sesuatu.Alex memilih mengeluarkan miliknya, lantas bangkit dari posisi dan turun dari ranjang. Wanita yang tak sekali pernah melayani Alex, keheranan dengan sikap
Di tempat Archie berada saat ini sedang siang hari. Pria itu duduk di depan bar kecil di kota yang akan mereka jadikan sebagai tempat pembangunan pabrik. Mata pria itu menelisik dan mengawasi setiap pejalan kaki yang berlalu lalang, orang-orang di sana memang lebih suka berjalan kaki, naik sepeda, atau menunggang hewan seperti kuda dan sapi. Sungguh kota kecil yang jauh dari polusi kendaraan, serta masih terjaga ke alamiannya. Pabrik yang akan didirikan Archie tidak akan memproduksi bahan kimia atau sejenisnya, lebih tepatnya hanya untuk perakitan dan gudang senjata tersembunyi, sebab itulah akhirnya Archie bisa membujuk wali kota di sana.“Sampai kapan Anda akan duduk di sini berjam-jam?” tanya Hubert yang tak habis pikir dengan Archie. Bosnya itu sudah duduk di sana hampir dua jam, tak berniat beranjak berdiri dan terus mengamati sekitar. “Apa Anda mencurigai sesuatu?” tanya Hubert lagi karena tak mendapat jawaban dari Archie.Archie menoleh H
Sesaat sebelumnya. Selena pergi menjemput Rosie dari rumah temannya itu, tentu saja tujuannya untuk mengamuk dan memberi pelajaran pada sahabat dari masa kecilnya itu.“Ya maaf, kamu tahu sendiri Alex bagaimana. Mana bisa aku melawan.” Rosie mencoba membela diri ketika Selena terus mencecarnya.“Ya, nggak seperti itu juga, Rosie. Kamu ‘kan bisa kirim pesan agar aku tidak jadi turun.” Selena tetap tidak terima jika kemarin dirinya harus diseret pulang oleh Alex.“Hei! Mana bisa! Mata Alex saja sudah seperti mata elang yang siap menerkam, salah gerakan sedikit dalam jariku atau ucapanku, bisa-bisa dia mengadukanku ke Daddy. Oh no! Aku tidak mau!” Baginya, Rosie memang lebih memilih menuruti ucapan Alex lantas bertengkar dengan Selena, daripada kelakuannya diadukan ke sang ayah—Daniello. Ayahnya seorang pemilik klub malam, tapi Rosie selalu sembunyi-sembunyi pergi ke klub malam lain untuk bersenang-senang, karena sang
Alex yang baru saja selesai mandi karena gagal bercinta sebab memikirkan Selena, melihat ponsel berdering dan membuatnya mengerutkan dahi ketika melihat nama yang terpampang di sana.“Ada apa?” tanyanya dengan suara malas ketika ponsel menempel di telinga.“Alex, aku dan Selena dikejar pengendara bermotor. Mereka membawa senjata!” Suara Rosie terdengar begitu panik.Alex langsung membulatkan bola mata, hingga menyambar kunci mobil yang berada di atas nakas.“Di mana posisi kalian? Siapa yang menyetir?” tanya Alex dengan suara berteriak keras.“Selena, dia yang mengemudi,” jawab Rosie dari seberang panggilan.“Sial!” umpat Alex, bagaimana bisa gadis itu di tengah malam berkeliaran di jalanan. “Nyalakan pengeras suaranya, aku ingin bicara dengannya!” perintah Alex.Di dalam mobil, Rosie menatap Selena yang sedang fokus menyetir untuk menghindar dari pengendara motor