Rambut berwarna hitam pekat panjang itu tergerai indah, diterpa angin yang membuat rambut itu melambai ke belakang. Tubuh rampingnya berbalut kemeja berwarna cokelat dengan bagian bawah yang masuk ke celana berbahan jeans berwarna biru muda.
“No! No! No!” pekik gadis itu saat moncong kuda hampir mencium kepala Archie.
Namun, siapa sangka jika tujuan utama Archie bukanlah menghentikan kuda itu, tapi menurunkan gadis yang ada di atasnya. Saat kuda itu hampir sampai di tempatnya berdiri, Archie sedikit minggir lantas kedua tangan dengan sigap meraih tangan gadis yang menunggangi kuda itu. Dia lantas menarik dan membawa gadis itu ke dalam pelukan.
Kuda itu masih terus berlari dengan cepat, meninggalkan sang pemilik yang sudah tak berada di atas punggung.
Sedangkan gadis itu sangat terkejut dengan yang dilakukan Archie, dia dan Archie jatuh ke tanah dengan posisi adik Alex itu berada di bawah.
Hubert yang tadi memejamkan mata, lantas sedikit mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Sampai asisten itu melihat bosnya berada di tanah dengan posisi tertindih gadis penunggang kuda tadi.
Gadis itu masih syok karena ditarik dari atas kuda yang sedang berlari, bahkan sampai tidak sadar jika berada di atas tubuh seorang pria. Tubuhnya menempel pada dada bidang Archie, hingga dia mencoba menggunakan kedua tangan untuk bertumpu pada tanah dan bangun.
Archie memejamkan mata sekilas saat punggung menghantam tanah, belum lagi ada beban tubuh seorang gadis di atasnya. Dia melirik gadis yang tampak syok karena ditarik paksa, wajah gadis itu masih tetrutup rambut hitam panjangnya.
Hingga gadis itu sedikit bangkit dan mengangkat kepala, membuat wajah mereka bertemu, bahkan ujung hidung tak sengaja bersentuhan. Archie bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu dari dekat, manis dengan bola mata berwarna cokelat muda yang memancar indah.
Gadis itu tampak terkejut dengan mulut menganga, sebelum kemudian buru-buru bangun dari atas tubuh Archie.
“Maaf,” ucap gadis itu cepat seraya bangkit dan kini sudah berdiri dengan benar.
“Tidak masalah.” Archie bangun dan Hubert membantu membersihkan belakang tubuh bosnya itu.
“Ah … Whalle lari ke mana?” Bukannya mencemaskan tubuh yang baru saja jatuh, gadis itu malah memikirkan kuda yang berlari entah kenapa.
Gadis itu merapikan rambut dengan tatapan ke arah kuda tadi pergi, seolah tak memedulikan Archie yang sudah menolongnya.
Archie memeperhatikan gadis itu, tingkah berani gadis itu mengingatkannya pada seseorang. Dia hendak membuka mulut untuk menanyakan kondisi gadis itu, tapi terhenti saat gadis itu juga menoleh ke arahnya dan siap bicara.
“Anda tidak apa-apa?” tanya gadis itu sopan, memindai dari atas hingga bawah tubuh Archie. Hingga gadis itu sadar jika Archie tidak berasal dari kota kecil itu.
“Nona, lain kali hati-hati. Anda hampir membahayakan Bos saya!” protes Hubert. Dia tentu saja takut karena jika sampai terjadi sesuatu pada Archie, maka Alex akan memakinya habis-habisan.
Gadis itu terkejut dengan mulut menganga, sudah bagus dia bertanya tentang keadaan pria itu, tapi malah terkena semburan dari pria satunya.
“Maaf, Tuan dari kota! Saya tidak meminta Bos kamu untuk menolong, bukankah saya sudah berteriak untuk minggir!” ketus gadis itu kesal.
Gadis itu mengerucutkan bibir, bahkan sesekali bibirnya komat-kamit karena kesal. Dia tak lagi memandang ke arah Archie, memilih memandang ke arah kudanya pergi.
Archie memicingkan mata ke arah Hubert, meminta asistennya itu untuk tak bicara.
“Maaf, jika asistenku bicara sedikit tak sopan,” ucap Archie dengan lembut.
Gadis itu menoleh Archie, tak menyangka jika pria itu bisa bicara sopan, sedangkan awalnya mengira jika pria itu akan sama sikapnya dengan pria satunya.
“Tidak masalah,” balas gadis itu seraya melirik Hubert yang memalingkan wajah.
“Apa Anda tidak apa-apa? Apa punggung Anda sakit?” tanya gadis itu mengulang pertanyaan, bagaimanapun Archie sudah membantunya lepas dari kuda, meski juga kehilangan secara bersamaan.
“Aku baik, kamu jangan cemas,” jawab Archie, suaranya begitu lembut hingga bisa membuat para gadis yang mendengar akan merasa terkesima.
“Baguslah jika Anda dalam kondisi baik.” Gadis itu mengangguk-angguk dengan rasa canggung. “Terima kasih karena sudah menolong,” ucap gadis itu lagi.
“Karena Anda tidak kenapa-napa, saya harus pergi untuk mencari Walle,” ucap gadis itu hendak berpamitan.
Archie mengerutkan dahi, siapa Walle?
“Whalle?” Guratan halus itu tercetak jelas di dahi Archie.
“Iya, Whalle. Kudaku yang tadi,” jawab gadis itu menjelaskan.
Archie membentuk huruf ‘o’ dengan bibir karena sudah paham. Gadis itu pun undur diri karena sudah memastikan kondisi pria yang menolongnya.
Namun, baru saja beberapa langkah berjalan, gadis itu terhenti saat mendengar Archie memanggil, membuatnya menoleh ke arah pria yang sudah menolongnya itu.
“Siapa namamu, Nona?” tanya Archie.
Gadis itu terlihat terkejut mendengar pertanyaan Archie, hingga rambut panjangnya tertepa angir dan menutupi sebagian wajah. Dia menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi pandangan, sebelum kemudian tersenyum tipis ke arah Archie.
“Kita baru saja bertemu sekali, Tuan. Sepertinya kurang baik jika bertanya nama. Namun, jika kita bisa bertemu yang kedua kali, saya akan memberitahu nama saya,” jawab gadis itu. Sedikit membungkukan badan, sebelum kemudian pergi meninggalkan Archie dan Hubert.
“Gadis lucu,” gumam Archie dalam hati.
Di kota tempat Alex tinggal. Alex terlihat duduk dengan gelas berisi minuman di tangan. Dia lantas memejamkan mata seolah sedang mengingat sesuatu.“Cukup minumnya! Kamu sudah mabuk berat!” Alex tampak mengambil paksa gelas kristal dari tangan seseorang.“Lex! Biarkan sekali ini saja aku mabuk!” Suara pemuda yang kini bersama Alex terdengar begitu berat, kelopak matanya hampir tertutup, wajahnya memerah karena pengaruh dari alkohol yang masuk ke tubuh.Alex menggelengkan kepala, meletakkan gelas yang dipegang ke meja, lantas bersiap memapah pemuda mabuk itu pergi dari sana.“Kita pulang sekarang, aku akan mengantarmu,” ucap Alex merangkulkan satu tangan pemuda mabuk itu melingkar di lehernya.Namun, pemuda itu menolak ajakan Alex. Dia kembali menarik tangan dari leher Alex dan duduk di tempatnya semula.Alex terkejut dengan penolakan pemuda itu, menatap tajam dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan pemuda itu.“Lex, tolong … biarkan … biarkan aku sekali saja menjadi p
Selena masih tertidur pulas di kamar besarnya, di kasur yang berukuran king size nan empuk. Gadis itu tidur dengan posisi tengkurap di tepian ranjang, sedangkan satu tangan tampak menggantung ke lantai. Matahari yang meninggi, tak mengganggu tidur lelap gadis manja itu, meski sinarnya terasa menyengat di wajah manisnya dan langsung menyorot ke kelopak mata. Efek alkohol yang menguasai tubuh, membuat Selena benar-benar tak sadar sudah tidur berapa lama.“Selena, apa kamu tidak mau bangun untuk sekedar makan atau yang lainnya.” Suara lembut keibuan itu terdengar begitu nyaman di telinga. Evelia mencoba membangunkan Selena yang tak kunjung bangun meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Selena tak bergerak, tampaknya dia memang sedang benar-benar menikmati mimpi indahnya, hingga tak mendengar jika sang ibu membangunkan.Evelia menghela napas kasar, putrinya itu memang selalu begini jika pulang dalam kondisi mabuk. Dia lantas berjalan ke arah jendela kaca yang membentang bagai d
Alex berangkat ke perusahaan seperti biasanya. Langkah kakinya yang begitu ringan tapi mantap, derap sol sepatu di lantai menciptakan suara yang menggema di koridor menuju ruangannya berada. Seorang pria lain berjalan di sebelahnya, pria itu adalah Aries—asisten serta tangan kanan kepercayaan Alex.“Bacakan jadwalku hari ini!” perintah Alex dengan suara pelan tapi tegas.“Siang ini Anda ada rapat dengan pihak Maxel Group, lalu dilanjut ….” Aries membacakan rentetan jadwal yang harus dikerjakan oleh Alex.Alex mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk kecil untuk membalas sapaan staf yang memberinya hormat. Meski Alex adalah pemimpin tertinggi di sana dan terkenal kaku, keras, juga dingin, tapi dia selalu ingat akan nasihat Claira—sang ibu. Wanita paruh baya itu selalu berpesan agar tetap menghormati orang-orang disekitar, meski pria itu bersikap dingin.“Oh ya, Apa sudah ada kabar dari Hubert?”
Di sebuah kamar hotel berukuran besar dan terkesan mewah, dua manusia berlawanan jenis tampak sedang mengarungi bahtera penuh gairah untuk mencapai kenikmatan dunia. Namun, pria yang ada di atas tubuh wanita bertubuh polos nan seksi itu, tampak tak berkonstrasi dan lebih terlihat tak menikmati sama sekali percintaan panas itu.Alex mencoba melepas penat dengan mengajak bercinta seorang model ternama, berharap pikirannya bisa sedikit rileks dan tenang, setelah seharian merasa tertekan dan banyak sekali masalah yang dipikirkan. Namun, pada kenyataannya gairah itu memudar, seiring kata demi kata Sean yang terus terngiang di kepala.“Lex, apa kamu baik-baik saja? Apa ingin ganti posisi?” tanya wanita yang bersama Alex.“Sial!” Alex mencengkeram sprei seolah sedang meluapkan sesuatu.Alex memilih mengeluarkan miliknya, lantas bangkit dari posisi dan turun dari ranjang. Wanita yang tak sekali pernah melayani Alex, keheranan dengan sikap
Di tempat Archie berada saat ini sedang siang hari. Pria itu duduk di depan bar kecil di kota yang akan mereka jadikan sebagai tempat pembangunan pabrik. Mata pria itu menelisik dan mengawasi setiap pejalan kaki yang berlalu lalang, orang-orang di sana memang lebih suka berjalan kaki, naik sepeda, atau menunggang hewan seperti kuda dan sapi. Sungguh kota kecil yang jauh dari polusi kendaraan, serta masih terjaga ke alamiannya. Pabrik yang akan didirikan Archie tidak akan memproduksi bahan kimia atau sejenisnya, lebih tepatnya hanya untuk perakitan dan gudang senjata tersembunyi, sebab itulah akhirnya Archie bisa membujuk wali kota di sana.“Sampai kapan Anda akan duduk di sini berjam-jam?” tanya Hubert yang tak habis pikir dengan Archie. Bosnya itu sudah duduk di sana hampir dua jam, tak berniat beranjak berdiri dan terus mengamati sekitar. “Apa Anda mencurigai sesuatu?” tanya Hubert lagi karena tak mendapat jawaban dari Archie.Archie menoleh H
Sesaat sebelumnya. Selena pergi menjemput Rosie dari rumah temannya itu, tentu saja tujuannya untuk mengamuk dan memberi pelajaran pada sahabat dari masa kecilnya itu.“Ya maaf, kamu tahu sendiri Alex bagaimana. Mana bisa aku melawan.” Rosie mencoba membela diri ketika Selena terus mencecarnya.“Ya, nggak seperti itu juga, Rosie. Kamu ‘kan bisa kirim pesan agar aku tidak jadi turun.” Selena tetap tidak terima jika kemarin dirinya harus diseret pulang oleh Alex.“Hei! Mana bisa! Mata Alex saja sudah seperti mata elang yang siap menerkam, salah gerakan sedikit dalam jariku atau ucapanku, bisa-bisa dia mengadukanku ke Daddy. Oh no! Aku tidak mau!” Baginya, Rosie memang lebih memilih menuruti ucapan Alex lantas bertengkar dengan Selena, daripada kelakuannya diadukan ke sang ayah—Daniello. Ayahnya seorang pemilik klub malam, tapi Rosie selalu sembunyi-sembunyi pergi ke klub malam lain untuk bersenang-senang, karena sang
Alex yang baru saja selesai mandi karena gagal bercinta sebab memikirkan Selena, melihat ponsel berdering dan membuatnya mengerutkan dahi ketika melihat nama yang terpampang di sana.“Ada apa?” tanyanya dengan suara malas ketika ponsel menempel di telinga.“Alex, aku dan Selena dikejar pengendara bermotor. Mereka membawa senjata!” Suara Rosie terdengar begitu panik.Alex langsung membulatkan bola mata, hingga menyambar kunci mobil yang berada di atas nakas.“Di mana posisi kalian? Siapa yang menyetir?” tanya Alex dengan suara berteriak keras.“Selena, dia yang mengemudi,” jawab Rosie dari seberang panggilan.“Sial!” umpat Alex, bagaimana bisa gadis itu di tengah malam berkeliaran di jalanan. “Nyalakan pengeras suaranya, aku ingin bicara dengannya!” perintah Alex.Di dalam mobil, Rosie menatap Selena yang sedang fokus menyetir untuk menghindar dari pengendara motor
Alex mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, tentu saja karena takut terjadi sesuatu kepada Selena jika sampai terlambat datang menyelamatkan gadis itu. Ponsel yang berada di dashboard berdering, Alex menjawab tapi menggunakan pengeras suara.“Halo.”“Kami melihat mobil Selena, ada satu motor yang mensejajarinya.” Suara bawahan Alex terdengar dari seberang mereka. “Kami belum bisa mengejarnya.”Alex semakin memacu mobilnya, kini tak tahu pasti di mana posisi Selena. Hingga bawahannya mengatakan jika mereka sampai di salah satu jalan perempatan dan kemungkinan Selena akan terjebak di lampu merah. Alex memperhatikan jalan, hingga sadar jika yang dilalui secara tak langsung mengarah ke Selena berkendara.“Dia menambah kecepatan!” Suara bawahan Alex terdengar panik.“Sial! Tetap di belakangnya!” Alex mengakhiri panggilan itu.Pria itu menginjak pedal rem begitu dalam, membuat mobil