Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
PLAK!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Citra yang saat itu baru saja kembali dari kebun. Sambil mengusap pipinya yang perih, ia menolehkan wajahnya untuk sekadar menemukan Badra, sang suami, yang menatapnya dengan murka."Bodoh! Aku kan sudah pernah bilang, sebelum kerja tuh masak dulu biar aku bisa makan!" bentak Badra dengan keras. Ucapan dari pria yang berumur 10 tahun lebih tua darinya itu membuatnya meringis.Citra mengingat ketika sang ayah memintanya untuk bersedia dijodohkan pada pria itu dengan alasan agar hidupnya bahagia, namun satu tahun terakhir justru terasa seperti neraka baginya. "Tapi aku udah masak, Kang. Lauk sama nasinya aku simpan di bawah tudung saji," jawab Citra, mencoba tetap sabar sembari menahan sakit di pipinya."Itu cuma tumis bayem, yang bener aja aku dikasih makan sayur doang. Emangnya suami kamu ini kambing?! Lagian, hasil kerja kamu masa gak cukup buat beli makanan enak, apa duitnya kamu abisin buat melacur bareng si mandor, ha?!" Tuduhan dari s
“Neng Citra?!” Suara seorang pria membangunkan wanita yang terkapar lemas di pintu masuk rumahnya. Citra tak bisa melihat jelas siapa yang menolongnya, namun dia tahu pria itu adalah satu-satunya yang bisa membawanya ke rumah persalinan terdekat. “Mang … Bantu saya, Mang … Selamatkan anak saya …”“Iya, Neng Citra. Ayo kita ke rumah sakit. Mari, amang bantu." Pria yang merupakan tetangga dekatnya itu menggopoh Citra dan membantunya untuk naik ke ojeknya. Si tetangga menatap Citra dengan iba, bertanya-tanya di mana Badra, suami Citra yang seharusnya menemani sang istri yang akan melahirkan.“Kang Badra udah dikasih tahu? Itu kamu teh pendarahan," kata tukang ojek yang kini sudah mengendarai motornya melewati jalan di tengah-tengah kebun teh untuk bisa segera mengantar Citra ke rumah sakit."Saya tidak tahu Kang Badra ada di mana, Mang. Kalau Amang ketemu dia nanti, tolong bilangin anaknya akan lahir hari ini. Sekalian minta kang Badra nyari pinjaman buat biaya lahiran, biar nanti saya
"Vina hamil anak akang. Dia butuh akang sekarang."Ucapan Badra seakan menancapkan paku ke dalam hatinya. Dia bukan hanya menghamili dirinya, tapi juga menghamili wanita lain. Bukan hanya itu, Badra justru bertingkah seakan bayi yang ada di dalam perut Citra saat ini bukanlah bayinya. "Terus aku gimana, Kang? Apa akang gak liat? Aku juga butuh akang.... Aku pendarahan, Kang. Anak kita harus segera lahir biar tetep bisa diselamatkan," sahut Citra yang kini mulai sangat putus asa. Tak terkesan dengan ucapan sang istri, Badra justru mengangkat bahunya ringan. "Aku gak peduli, Citra. Dari awal aku gak pernah mengharapkan anak dari kamu. Yang ada di perut kamu itu ya anak kamu, bukan anak aku dan bukan tanggung jawab aku lagi. Terserah dia mau mati sekalipun aku gak peduli. Sekarang, jangan banyak omong lagi. Cepet tanda tangan, Citra... aku harus segera nikah sama Vina mumpung perutnya belum keliatan gede."Sakit... hati Citra sangat sakit. Dunia terasa runtuh saat ini. Satu-satunya oran
Dengan wajah yang berurai air mata, Citra mulai berpikir keras dan menimbang-nimbang tawaran yang diutarakan oleh pria asing di hadapannya ini. Sampai kemudian, tanpa berpikir lebih jauh lagi, Citra pun benar-benar mengambil keputusan paling putus asa itu."Saya terima tawarannya. T-Tolong... bantu saya. Saya harus segera melahirkan anak saya. K-Kalo... b-bayi saya... meninggal... saya harus segera memakamkannya," pinta Citra dengan suara yang beberapa kali tersenggal karena dirinya yang tak kuasanya menahan gejolak rasa sedih yang kembali menyayat-nyayat hatinya, ketika fakta kematian janin di dalam perutnya benar-benar membuatnya hancur."Baiklah. Kalo gitu mulai detik ini kamu sudah jadi tanggung jawabku, seluruh biayamu di rumah sakit ini dan juga biaya pemakaman anakmu akan jadi tanggunganku," janjinya lalu kemudian melenggang keluar begitu saja dari ruangan itu.Sampai tak lama kemudian, beberapa perawat pun datang dan mulai mengurus Citra untuk segera menjalani operasi darurat.
Citra berjalan gontai memeluk jenazah bayinya sendiri menuju ke tanah pemakaman yang dibeli oleh Sakti."Luka operasimu masih basah. Kembali ke kursi rodamu," tegur Sakti sembari terus berjalan di belakang Citra dengan terus mendorong kursi roda dan menatap iba pada Citra.Sakti cukup tahu kalau bahu perempuan yang berjalan sembari menggendong sendiri jenazah putranya itu sangat tak baik-baik saja. Beban luka dan trauma yang diterima oleh Citra akan sangat besar. Luka akibat kehilangan orang tersayang akan terus menghantuinya dan membuatnya tak akan pernah sembuh.Bahu seorang ibu yang harus memakamkan darah dagingnya sendiri jauh lebih rapuh daripada yang terlihat.Namun Citra tak sekalipun mengindahkannya, Ia terus melangkahkan kakinya pergi, sembari terus memeluk erat jenazah putranya sendiri. Tak ada tangisan. Mata Citra kering, sekalipun ia merasa dunianya hancur lebur, tapi kali ini tak setetes pun ia bisa menangis.Di depan lubang pemakaman itu, Citra dengan berat hati memberika