Citra harus menjalani hidup sengsara dalam pernikahannya dengan Badra, ketika pria itu dengan teganya mengkhianati Citra dan meninggalkannya sendirian ditahan di rumah sakit karena tak bisa membayar biaya pengobatan. Beruntungnya, Sakti Andhikara, si pria kaya raya yang tak pernah dikenal oleh Citra itu pun hadir. Ia bersedia membayar seluruh biaya pengobatan Citra, walau dengan syarat bahwa Citra harus bersedia jadi istri sekaligus jadi ibu susu dari bayinya yang lahir tanpa seorang ibu.
Lihat lebih banyakPLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Citra yang saat itu baru saja kembali dari kebun. Sambil mengusap pipinya yang perih, ia menolehkan wajahnya untuk sekadar menemukan Badra, sang suami, yang menatapnya dengan murka."Bodoh! Aku kan sudah pernah bilang, sebelum kerja tuh masak dulu biar aku bisa makan!" bentak Badra dengan keras. Ucapan dari pria yang berumur 10 tahun lebih tua darinya itu membuatnya meringis.Citra mengingat ketika sang ayah memintanya untuk bersedia dijodohkan pada pria itu dengan alasan agar hidupnya bahagia, namun satu tahun terakhir justru terasa seperti neraka baginya."Tapi aku udah masak, Kang. Lauk sama nasinya aku simpan di bawah tudung saji," jawab Citra, mencoba tetap sabar sembari menahan sakit di pipinya."Itu cuma tumis bayem, yang bener aja aku dikasih makan sayur doang. Emangnya suami kamu ini kambing?! Lagian, hasil kerja kamu masa gak cukup buat beli makanan enak, apa duitnya kamu abisin buat melacur bareng si mandor, ha?!"Tuduhan dari sang suami membuat Citra merasa marah. Bisa-bisanya Badra menuduhnya melakukan perbuatan menyimpang, apalagi ketika Citra sedang mengandung bayi dalam perutnya."Uang hasil kerja kemarin kan habis semuanya untuk Akang belikan rokok. Jadi gak ada buat beli makanan, dan di dapur cuma ada bayam yang bisa dimasak. Tapi itu tetap enak dimakan kok, Kang.”"Sia doang yang ngerasa enak makan lauk begituan. Aing mah enggak!" Melihat istrinya yang menjauh darinya, amarah Badra semakin membuncah. Tak mampu menahan emosi, pria itu memukul kepala Citra dengan kerasnya hingga membuat sang istri jatuh tersungkur."Mana duit kamu? Mendingan aku ngerokok daripada makan sampah buatan kamu itu!"Tanpa rasa iba, Badra mengambil semua upah harian Citra yang baru dia peroleh dari memetik tomat, dan membawa uang itu pergi begitu saja, tak mempedulikan teriakan dari istrinya sendiri."Akaaang! Uangnya jangan diambil, kita makan sama apa kalo gak ada uangnya!" teriak Citra dengan begitu putus asa.***Dengan lemas, Citra berjalan masuk ke dapur sempitnya yang temaram untuk mengambil sepiring nasi dan tumis bayam yang baru saja menjadi sumber perdebatannya dengan sang suami.Wanita itu terduduk di atas tikar sambil mulai melahap makanannya. Tiba-tiba, air mata keluar begitu saja dari manik hitamnya."Aku sudah mengorbankan banyak hal dalam pernikahan ini, Kang… Aku juga gak pernah mengeluh apapun, meskipun Kamu gak pernah memperlakukan aku sesuai dengan janjimu dulu. Sebenarnya kenapa Tuhan membuat hidupku sengsara seperti ini?" Citra menyeka kasar air matanya, sembari terus terisak-isak pilu.Bahunya merosot. Tubuhnya gemetar hebat karena tangisnya yang pecah. Sakit... jelas sangat sakit. Bukan sakit di di pipi ataupun kepala yang tadi dipukul oleh Badra, bukan itu. Tapi yang sakit adalah hatinya, dan yang terluka adalah jiwanya. Berulang kali Citra menumbuk dadanya kasar, berusaha menghilangkan rasa sakit di dadanya yang kian membuatnya merasa sesak sampai terasa mencekiknya.Cukup lama, Citra menangis pilu seperti itu. Membiarkan tangisnya menggema memenuhi seisi rumah bedeng yang sempit itu. Sampai kemudian tangis itu berhenti dan berubah menjadi erangan kesakitan, saat perutnya terasa bergejolak."Nak... ada apa? Maaf ibu nangisnya terlalu keras ya? Maaf...." Citra bergumam dengan suara parau yang tertahan, sembari terus mengusap perut buncitnya yang masih terus bergejolak hebat, untuk sekadar menenangkannya.Sudah 9 bulan usia kandungannya. Citra tahu kalau ia akan melahirkan di bulan ini, tapi tak menyangka kalau akan secepat ini. Saat itu, yang ada dalam pikiran hanya ada dua pilihan, pergi ke rumah sakit dengan jarak tempuh 1 jam tanpa punya biaya persalinan, atau pergi ke sumur di belakang rumah yang jaraknya hanya 5 langkah untuk bisa mengakhiri semuanya.Dalam keputusasaan ini, bagi Citra, pergi ke rumah sakit ataupun terjun ke dalam sumur... sama sama akan mati. Anaknya tak akan pernah lahir.Besar keinginannya untuk melompat ke dalam sumur agar kehidupannya yang runyam ini bisa berakhir lebih awal. Citra tidak ingin bayinya merasakan penderitaan yang dia rasakan.Di tengah-tengah pergulatan batin itu, Citra terhenyak luar biasa saat merasakan sesuatu yang mengalir keluar dari sela-sela kakinya, sampai aliran itu terasa menuju ke ujung kakinya, baru Citra mulai panik.Darah.Cairan merah pekat itu mulai menggenang di area kakinya, membuat Citra diliputi rasa takut luar biasa. Saat itu, yang ada dalam pikirannya adalah keluar dari rumah dan meminta tolong pada orang-orang, tapi rasa sakit yang mengerikan di perut dan area kewatiaannya, membuat Citra tak bisa berdiri sama sekali. Sehingga, yang ia lakukan saat itu hanyalah merangkak dan berusaha menggapai pintu dengan begitu putus asa.“To.. Tolong!”Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen