"Apa kamu beneran bakal nikah perempuan muda itu, Sakti?" tanya Agnes yang begitu menerima undangan pernikahan dari Sakti. Kentara sekali kalau begitu berat hati dengan fakta bahwa Sakti yang akan bersanding dengan orang lain.Sementara Sakti menganggukan kepalanya dan begitu ringannya menyunggingkan senyuman lebar di wajahnya."Tentu saja, aku memang akan menikahi dia.""Baiklah selamat. Tapi, aku gak akan datang," tandasnya tanpa tedeng aling-aling. Lantas kemudian ia pun melenggang pergi dari ruangan Sakti tanpa pamit sama sekali. Sementara Sakti yang mendapat seperti itu pun hanya diam dan kembali fokus pada pekerjaannya, memilih tak memperdulikannya. Sebab tumpukan berkas di hadapannya butuh diselesaikan sesegera mungkin agar ia bisa terbebas dari pekerjaannya untuk beberapa hari dan menyelesaikam prosesi pernikahan sesuai rencana yang sudah disusunnya.Suara nyaring dari ponselnya yang berdering pun seketika membuat Sakti berhenti dari kegiatannya, untuk sekadar menemukan nama C
"Apa ini cucu bapak? Aduh anak bageur. sini-" ucapan Engkus terhenti saat Citra justru melangkah mundur menghindarinya yang hendak mendekati Ginata."Bapak pulang aja," usir Citra dengan nada tenangnya.Pak Engkus pun berdeham. Merasa kikuk karena sikap basa basinya justru ditolak mentah-mentah oleh Citra."Kamu teh Neng, bapak mau cium cucu aja gak boleh," gerutunya sebal. Sebelum kemudian menyunggingkan senyuman lebar pada Sakti. "Bapak bakal dianterin pulang pake mobil mewah yang kemarin kan? Terus janji uang tambahannya yang 20 juta itu bakal dipenuhi sekarang kan?"Citra memejamkan matanya rapat-rapat mendengar ucapan ayahnya sendiri kepada Sakti. Dia merasa malu sendiri atas sikap ayahnya. Padahal Citra ingin benar-benar menganggap kalau hubungan keluarganya dengan kedua orang tua yang sudah membuangnya itu bisa terputus, tapi ternyata hubungan darah yang tak bisa hilang kecuali sang ayah sudah tiada itu, membuatnya tetap harus menemui sang ayah untuk jadi wali nikahnya.Sepert
"Nyebelin!" Pekiknya kesal seraya melempar sandalnya ke sembarang arah, tak peduli sekalipun tanah kering berceceran di atas lantai rumahnya yang bersih.Vina.Perempuan 29 tahun itu melangkah masuk ke dalam ke dalam rumah dengan kaki yang dihentak-hentak keras, dan terus menggerutu dengan kalimat kasar dalam bahasa sunda, tanpa peduli kondisinya yang sedang hamil muda dengan perut yang kini mulai terlihat membuncit itu."Kenapa, marah-marah begitu? Gak baik atuh, nanti didrnger bayi di dalam perut gimana," tegur Badra.Sedangkan Vina justru berkacak pinggang dan melayangkan tatapan kesalnya itu lada sang suami. "Initeh salah kamu, Kang!" sentaknya tiba-tiba."Kok jadi salah akang? Akang salah apa, sampe kamu marah-marah?""Kalo aja waktu itu akang gak biarin Citra tetep ada di kota lain bahkan negara ini, mungkin kita bisa hidup tenang. Seharusnya waktu itu akang buat si Citra pergi jadi TKW di Arab Saudi aja, biar dia ngehasilin duit buat akang dan kita bisa hidup tenang," ujarnya
"Semua orang menatap saya," cicit Citra seraya mencengkram ujung jas Sakti kuat-kuat, ketika dirinya dilanda oleh perasaan risau yang luar biasa.Lorong dari area kerja karyawan menuju ruang kerja Sakti terasa sempit dan sesak bagi Citra karena tatapan penuh penuh penilaian yang dilayangkan semua pasang mata ke arahnya. Jantungnya bahkan berderbar kencang dan tangannya mulai gemetar hebat.Namun, Sakti yang menyadari hal itu pun seketika meraih tangan Citra yang gemetar itu dan menggenggamnya erat. Lantas ia pun melayangkan tatapan teduhnya pada Citra dengan begitu tulus."Itu karena kamu terlihat cantik dan bersinar memakai dress berwarna emerald, makanya mata semua orang tak bisa berpaling dari kamu. Seolah kamu adalah pusat pandangan mereka," ucap Sakti memuji sekaligus menenangkan Citra.Dan untuk beberapa saat kalimat menenang itu pun membiat Citra benar-benar bisa sedikit merasa rileks, walau wajahnya memanas dan berubah jadi merah padam karena menahan rasa malu setelah dipuji s
Sesaat setelah hatinya merasa lega, Citra pun berjalan menuju dinding pembatas dan melihat pemandangan kota dari atas gedung ini. Ia menyeka air matanya dan beberapa kali berdeham untuk menetralkan suaranya."Baju bagus nan mahal, rumah mewah, mobil, tidur di kasur yang empuk dan makan makanan enak... kamu teh memang harusnya bahagia. Gak perlu berharap lagi ke Kang Badra. Harus inget kalo kamu gak pernah diharapkan siapapun termasuk dia," gumam Citra lirih. Berbicara pada dirinya sendiri.Untuk sejenak ia pun memejamkan matanya, sebelum kemudian mengambil langkah mundur dan berbalik untuk segera kembali ke turun ke ruangan Sakti, tapi. Di momen itu, ia harus mengurungkan niatnya ketika melihat Agnes, sekretaris Sakti itu berjalan menghampirinya."Aku pikir tak ada orang," ujarnya dengan bahasa yang tidak se formal biasanya. Ditambah, dengan nada suara yang terdengar ketus. Agnes bahkan secara terang-terangan menunjukan ekspresi tak sukanya pada Citra, sehingga membuat Citra merasa b
"Kamu tadi gak ke toilet, ya?" tanya Sakti yang perlahan membuka matanya lalu dengan hati-hati bangun dari pembaringannya."S-Saya ke toilet.""Tadi Gina bangun dan menangis, jadi aku menyusulmu. Tapi, di toilet perempuan tak ada orang sama sekali. Kamu pergi ke toilet di gedung sebelah?" tukas Sakti penuh sindiran tajam.Citra yang sudah tertangkap basah pun tentu saja sudah tidak bisa mengelak lagi. Dengan berat hati ia pun mengaku-"Saya pergi ke atap cuma karena penasaran gimana pemandangan kota kalo dari gedung tinggi.""Lagi-lagi kamu bohong.""Saya memang pergi ke atap," kilahnya."Tapi bukan untuk melihat pemandangan, kan?"Citra diam."Apa ceritaku soal Badra membuat perasaanmu terusik, Citra? Apa seharusnya aku gak pernah menceritakan tentang laki-laki itu?"Seketika, Citra pun langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bukan begitu, Andhika. Maaf karena saya meninggalkan Gina cukup lama sampai membuatnya menangis, anda pasti sangat kerepotan menenangkannya. Maafkan saya."
Agnes membeku di ambang pintu ruangan Sakti dengan setumpuk berkas yang dipeluknya. Desir perih di sudut hatinya, membuat Agnes merasakan nyeri yang tak bisa ia jabarkan lagi.Di sana, ia melihat bagaimana Sakti tengah berpelukan dengan perempuan muda yang kini sudah resmi jadi istrinya itu. Padahal Agnes pikir, kemesraan yang tanpak di publik juga pernikahan Sakti itu palsu. Agnes pikir itu hanyalah salah satu trik yang lagi-lagi digunakan Sakti untuk bisa mengalihkan perhatian dan perasaan cintanya pada Tiana. Namun, apa yang dilihatnya kali ini benar-benar mematahkan tuduhannya."O-Oh... maaf, pak Sakti. Saya lupa ngetuk pintu," ujar Agnes gugup.Seketika, pelukan Sakti lada Citra pun terurai. Citra menjauhkan dirinya dari Sakti dan memilih duduk di samping Ginata untuk mengawasi bayi itu, sedangkan Sakti justru sibuk membetulkan setelan kerjanya yang sedikit berantakan."Ada apa?" tanya Sakti tenang. Lantas kemudian ia pun bangkit berdiri dan melangkah pergi menuju meja kerjanya.
Sore menjelang malam itu, Sakti pulang ke rumah. Ia membawa beberapa bingkisan yang kemudian ia ulurkan pada Citra, setelah pria itu mendaratkan kecupan lembutnya pada kening Citra."Ini apa?" tanya Citra.Namun, Sakti tak langsung menjawab. Ia justru lebih dulu merentangkan tangannya lebar-lebar, sehingga membuat Citra diam kebingungan di tempatnya.Sakti yang melihat kebingungan di wajah Citra pun seketika berdecak sebal. "Aku minta pelukan, Citra. Bukankah kita sudah sepakat untuk hal ini?"Citra mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum kemudian melangkah memeluk Sakti erat-erat tanpa berbicara sepatah kata pun. Hanya pelukan singkat, sehingga Citra pun bergegar menjauhkan dirinya dari Sakti untuk sekadar menenangkan debar jantungnya yang masih saja belum terbiasa dengan interaksi begitu intens seperti ini."Y-Yang anda berikan ini isinya apa?" ujar Citra kembali mengulangi pertanyaannya."Soto ayam. Aku belum makan malam. Coba tolong kamu pindahkan ke piring dulu ya. Aku mau ma