Sejujurnya Rara tidak peduli dengan masa lalu Kevin, tapi membuat pria itu kesal bahkan sampai menatapnya tajam rasanya seru juga. Tante Mihika akhirnya yang menceritakan singkat masa lalu Kevin dan tidak heran juga, karena laki-laki memang begitu.
Bermodalkan wajah tampan dan nama besar keluarga, tidak mungkin seorang pria tidak berulah. Menurut Rara, wajar saja Kevin hanya berganti-ganti pacar bukan berganti wanita tiap malam. Yang menyebalkan adalah sifat angkuhnya.
“Turun!” titah Kevin setelah mobil menepi dan berhenti.
Akhirnya pertemuan itu berakhir dan saat ini mereka sedang dalam perjalanan kembali ke kantor. Rara menatap ke luar jendela memastikan kalau saat ini belum tiba di kantor. Lalu untuk apa Kevin memintanya turun. Apalagi dari sini ke kantor masih lumayan jauh.
“Kenapa saya harus turun di sini, Pak?”
“Turun ya turun. Memang kamu mau ikut sampai mana?”
“Pak Kevin tahu sendiri motor saya di kantor,” ujar Rara mulai kesal dengan pria itu. Bagaimana tidak kesal, tadi dia paksa untuk ikut. Lalu bersandiwara dan sekarang dia diminta turun di jalan dan jarak ke kantor masih jauh.
“Nggak ada urusan dengan saya, cepat turun!”
Rara berdecak, lalu melepas seatbelt dan keluar dari mobil. Baru berjalan satu langkah, mobil itu sudah melaju dan bergabung dengan kendaraan lain di jalanan. Kedua tangan gadis itu mengepal dan mulut bergumam mengumpat untuk Kevin. Lihat saja kalau sampai bertemu lagi dan pria itu mengajak kerjasama terkait sandiwara tadi, dia berjanji tidak akan mau.
Sampai kantor tepatnya di lantai di mana ruang kerjanya berada, Slamet sudah menunggu Rara. Dari wajahnya sudah bisa terbaca kalau pria itu ada perlu atau ada sesuatu yang ingin disampaikan. Karena masih merasakan emosi pada Kevin dan tidak ingin Slamet menjadi tempat sasaran kemarahan, akhirnya Rara memilih ke toilet.
“Loh, Mbak. Mau ke mana?”
“Toilet,” jawab Rara. “Mau ikut?”
“Astaga Mbak, yang bener aja.”
Keluar dari toilet, rasanya lebih segar setelah mencuci muka. Berharap tidak ada lagi kesialan berikutnya yang harus Rara rasakan.
“Mbak,” panggil Slamet.
“Eh, masih ada. Aku pikir sudah kembali ke …”
“Ck. Pak Robert hubungi saya, katanya Mbak Rara nggak bisa dihubungi. Tadi jadi ikut rapat ‘kan?”
Rara pun membuka clutch dan mengeluarkan ponsel. Saat rapat dia mensilent ponsel dan ternyata ada beberapa panggilan dari Pak Robert dan pesan yang menanyakan hasil rapat.
“Bilang aja, misi sukses,” jawabnya kemudian berlalu menuju meja kerja.
***
Jam kerja sudah berakhir satu jam lalu dan Rara masih asyik di depan layar komputer dengan tangan kiri menumpu wajahnya. Sebenarnya bukan sedang sibuk kerja, tapi menonton drama korea favorit. Berharap kisah yang dia tonton bisa tertular padanya.
Kisah gadis sederhana yang tidak sengaja bertemu dengan pria kaya idaman setiap wanita. Perlahan konflik perkenalan menjadi rasa cinta, bahkan mereka menjadi pasangan bucin. Sang gadis pun akhirnya menikmati hidup penuh kemewahan dan cinta dari si pria.
“Kapan Tuhan kasih aku jodoh kayak gitu? Tuhan, secepatnya dong. Duda juga nggak apa, asal kaya raya dan bisa bantu keuanganku.”
Rara menghela nafas masih menyimak jalannya cerita. Suasana ruangan tempatnya bekerja sudah mulai sepi. Beberapa kubikel dan meja sudah kosong. Bahkan Slamet, lima menit yang lalu sudah pulang. Tinggal dua orang staf lagi yang masih menyelesaikan pekerjaan karena sudah dateline.
“Rara.”
“Hm.”
Entah siapa yang memanggil, gadis itu hanya berdehem tanpa menoleh. Paling office boy yang menawarkan minum atau menanyakan kapan pulang karena lampu dan mesin pendingin udara akan dimatikan. Mengganggu kesenangan orang saja.
“Rara.”
“Apaan sih, ganggu aja. Nanti AC, saya matikan sebelum pulang,” jawab Rara dengan jantung berdebar karena cerita yang sedang ditonton menunjukan adegan dewasa.
“Jadi begini gaya kerjamu!”
Brak.
Kepala Rara terantuk meja karena terkejut dengan kehadiran Kevin yang sudah berdiri di samping meja kerjanya. Tatapan wajahnya terlihat tidak ramah. Gadis itu panik karena Kevin menatap layar yang menampilan dua tokoh drama saling berpagut bibir. Segera dia tekan tombol off untuk layar komputer.
“Maaf pak,” ujarnya dan sudah beranjak dari kursi. “Jam kerja ‘kan sudah selesai pak, jadi nggak apa dong kalau saya nonton.”
“Oh saya nggak masalah, tapi jangan lakukan di kantor. Apalagi kamu pakai fasilitas kantor,” seru Kevin.
“Iya pak, tidak akan saya ulangi lagi.”
Rara melirik dua rekan kerjanya yang sudah bersiap pulang dan mengangguk pada Kevin. Mereka pasti merasa aneh karena ada Kevin menemuinya. Dijamin besok dia akan jadi bahan gibah di divisi keuangan karena kejadian ini.
“Sebutkan nomor kontak kamu!” titah Duda ganteng tapi ngeselin yang ada di hadapannya.
“Untuk apa Pak?”
“Apa saya perlu jelaskan kenapa saya menanyakan kontak bawahan saya?” tanya Kevin.
“Ya nggak sih,” gumam Rara kemudian menyebutkan sejumlah angka yang merupakan nomor kontaknya.
“Ternyata Mami menyukai kamu, tapi percuma karena kita hanya pura-pura. Besok aku akan sampaikan pada mereka kalau kita putus karena kamu selingkuh,” ujar Kevin dan rasanya Rara ingin menjerit kesal.
“Nggak ada alasan lain gitu? Nggak cocok atau beda pandangan hidup, jangan alasan selingkuh karena saya wanita setia pak.”
“Itu urusan saya mau pakai alasan apa. Kalau tidak suka, bayar,” ujar Kevin sambil mengulurkan telapak tangannya.
“Terserah Bapak, mau pakai alasan apa. Saya ngikut aja,” sahut Rara tidak ingin memperpanjang masalah. Apalagi masalah uang.
Kevin meninggalkan ruangan, Rara langsung duduk dan menarik nafas menahan kesal. Namun, ada gurat bahagia karena dia tidak perlu berbohong pada orangtua Kevin. Kalau mereka masih bersandiwara, artinya dia harus kembali berbohong pada orangtua Kevin.
Akhirnya Rara pulang. Sampai kosan, orangtuanya kembali mengirimkan pesan kebutuhan uang untuk perawatan Ayah. Gadis itu merasakan kepalanya langsung pusing tujuh keliling memikirkan dari mana bisa dapat uang secepatnya.
***
“Pagi Mbak Rara,” sapa Slamet.
“Pagi,” jawab Rara lemas.
Semalam dia sulit tidur setelah menghubungi Ibu di kampung. Baru saja terpejam sebentar, suara alarm kembali membuat tubuhnya terjaga. Entahlah dia bisa konsentrasi kerja atau tidak. Terdengar bisik-bisik rekan kerjanya.
“Ini apaan sih pagi-pagi sudah pada ngerumpi aja. Lebih baik klarifikasi langsung ke orangnya,” pekik Slamet.
Mendengar teriakan Slamet, Rara sampai berdiri untuk melihat ada keributan apa hingga Slamet yang kalem harus berteriak. Lebih membingungkan ketika beberapa pandangan mata kemudian melirik sinis sambil komat kamit kayak dukun baca mantra.
“Ada apa sih? Masih pagi udah ribut aja,” keluh Rara.
“Halah pake pura-pura pintar. Pantesan dipercaya sana sini, taunya ada main sama Bos,” seru Marni, staf keuangan yang sudah lama bekerja di sini tapi tidak ada perubahan jabatan karena menurut Pak Robert kerjanya kurang maksimal.
“Siapa yang ada main dengan Bos?” Rara bertanya karena belum tahu permasalahan mereka.
“Ya situlah, siapa lagi. Semalam sampai disamperin Pak Kevin.”
Rara pun ber oh ria. Jadi karena itu, mereka membicarakannya. Dia tidak mungkin menceritakan yang terjadi antara dirinya dan Kevin termasuk kesepakatan sandiwara konyol. Jadi Rara mengatakan kalau Kevin mencarinya karena hasil rapat kemarin siang. Ponselnya lowbat, jadi Kevin sampai harus menemui dirinya.
“Seriusan mbak, Pak Kevin semalam kemari temui mbak Rara?” tanya Slamet.
“Heem,” jawab Rara.
Paling tidak alibinya membuat suasana lebih kondusif. Semua kembali ke meja dan kubikel masing-masing. Baru saja akan mendudukan tubuhnya di kursi saat pesawat telepon di meja Slamet berdering, pria itu menjawab lalu menoleh ke arah Rara.
“Kenapa?”
“Mbak Sari bilang, kamu diminta ke ruangan Pak Kevin. Sekarang," jawab Slamet.
“Hahhh.”
Bukan hanya dirinya yang terkejut karena perintah untuk menemui Kevin, tapi rekan-rekan kembali menatap horor ke arahnya. Ada urusan apa seorang staf sampai harus menemui Direktur, Kevin benar-benar membuatnya dalam masalah.
“Mbak Rara ya?” tanya Sari -- sekretaris Kevin. “Masuk saja Mbak, sudah ditunggu Pak Kevin.” Rara tersenyum dan menganggukan kepalanya. Isi kepalanya bertanya-tanya apa yang membuat Kevin memanggil dirinya, bahkan rekan-rekan satu divisi pun sama herannya. Kalau urusan pekerjaan, seharusnya Kevin berurusan dengan Robert selaku manager bukan Rara yang hanya staf. Mengetuk pelan pintu yang menjulang di hadapannya, Rara sempat terpukau dengan interior ruang kerja Kevin. Sangat aesthetic. Sambil menekan handle pintu, tatapan Rara masih menatap heran sekeliling ruang kerja Kevin. Seakan lupa dengan tujuannya datang. “Mau sampai kapan berdiri disitu?” “Eh.” Ucapan Kevin menyadarkan lamunan gadis itu. “Ada apa Bapak memanggil saya?” “Duduk!” titah Kevin menunjuk ke arah sofa. Rara dan Kevin sudah duduk bersama, diakui oleh gadis itu Kevin memang sempurna. Tampan, kaya sudah pasti, jabatan dan keluarga yang oke. Hanya satu kekurangan pria itu … angkuh. Bagaimana tidak, Kevin duduk dengan
Rara menghela pelan masih menatap pasangan di hadapannya. Pasangan gila menurut versinya.“Hm, gimana ya.”Harun terkekeh, sambil melirik sinis.“Kamu terlalu naif Ra. Hari gini masih sok suci, yang ada kamu jadi perawan tua. Cantik juga percuma kalau tidak bisa memuaskan laki-laki," ungkap Harun masih menyudutkan Rara. “Jadi begini, aku sengaja datang kesini dan ada Kak Harun juga mbak yang cantik dan bisa memuaskan laki-laki seperti di maksud Kak Harun ya,” tutur Rara dan cukup memprovokasi. “Tentu saja aku sudah mendapatkan pengganti Kak Harun, lebih baik malah. Lebih dari segala hal.”“Hah, mana mungkin. Itu hanya khayalanmu saja.”“Aku serius Kak. Dia tampan, kaya, walaupun bicara masalah puas dan tidak puas tentu saja pria ini bisa mengajariku karena dia sudah berpengalaman dan kami akan segera menikah. Aku pastikan Kak Harun dan mbak yang katanya cantik ini akan kami undang. Jangan sampai tidak hadir ya. Bye Kak Harun,” ujar Rara lalu melambaikan tangannya dan meninggalkan pasa
Rara mengabaikan Kevin, padahal pria itu sedang menunggu dirinya mengirimkan lokasi dimana dia tinggal. Bukan tanpa alasan, tentu saja karena … terpaksa harus bertemu. Baik Kevin dan Rara sudah sepakat akan menjalani pernikahan kontrak, tapi siapa sangka kalau Vanya datang ke Jakarta dan sudah siap dengan hubungan yang lebih serius.Tidak mungkin Kevin mengatakan pada orang tuanya kalau dia hanya memanfaatkan Rara. Apalagi Maminya mengatakan ketidaksukaan dengan Vanya sebagai artis. Selain gaya hidup bebas dan busana yang dikenakan wanita itu selalu terbuka berkesan seperti wanita nakal.Kevin akan duduk bersama dengan Rara dan Vanya tentunya, untuk membicarakan masalah mereka kedepannya dan harus malam ini karena besok pagi Rara diundang untuk sarapan bersama di kediaman orangtua Kevin.“Shittt, ke mana dia,” gumam Kevin dengan emosi karena Rara belum juga mengirimkan lokasinya. Bahkan dihubungi tidak dijawab. Tentu saja tidak akan dijawab, karena ponsel Rara sudah dalam mode silent
Rara menyanggupi perjanjian yang diajukan Kevin semata-mata karena untuk orangtuanya. Keadaan ekonomi yang memaksanya patuh pada perjanjian yang memang berat sebelah. Apalagi hinaan dari Vanya untuknya dan sengaja memperlihatkan kemesraan bersama Kevin. Sungguh Rara sebenarnya muak, tapi dia hanya bisa pasrah. “Pak, sudah selesai ‘kan?” tanya Rara. “Besok pagi, kita akan bertemu Mami dan Papi. Jangan katakan yang aneh-aneh, ikuti saja apa yang aku katakan. Mereka akan mempercepat pernikahan kita.” “Apa?” “Ck, berlagak kaget. Pasti kamu senang ‘kan bisa menikah dengan Kevin. Jadi istri dan menantu keluarga orang terpandang.” Vanya memang bermulut pedas, mungkin karena sifat wanita itu atau mungkin juga karena cemburu. “Kamu sebaiknya istirahat, jangan sampai besok terlihat mengerikan,” titah Kevin mengakhiri perdebatan antara Vanya dan Rara. “Saya nggak mungkin pulang sekarang Pak, ini sudah lewat tengah malam. Bisa-bisa saya dianggap perempuan tidak baik lalu diusir. Susah cari
“Pak Kevin, ini gimana ceritanya. Kenapa kita menikah minggu depan?” tanya Rara lirih. Ada kesempatan untuk bicara berdua, segera Rara konfirmasi masalah yang disampaikan Arka.“Memang kenapa kalau diadakan minggu depan. Kamu tidak perlu persiapan yang gimana-gimana, toh semua ada yang mengurus dan kita menikah bukan atas dasar cinta jadi tidak usah membayangkan akan sebahagia apa rumah tangga kita nanti.”“Bukan begitu pak, saya ….”“Ah, iya. Kamu tidak usah khawatir masalah biaya pernikahan termasuk resepsi. Semua aku yang akan tanggung dan kamu tidak akan menduga berapa banyak biaya yang akan kami habiskan untuk sekedar resepsi pernikahan. Cukup menyiapkan diri sebagai calon mempelai wanita tapi jangan harap menjadi istri yang sebenarnya.”Rara mengepalkan kedua tangan, ucapan Kevin tadi cukup menghina dan merendahkan dirinya. Entah kehidupan apa yang akan terjadi setelah mereka menikah, meskipun hanya sementara. Kevin begitu angkuh, bahkan tidak ingin mendengarkan penjelasan dari
Rara dan Kevin sudah tiba di Juanda International Airport dan sudah hampir jam sembilan malam. Tidak mungkin Rara mengajak Kevin langsung ke rumah sakit menemui orang tuanya, atau ke rumah yang begitu sederhana dan membuat calon suami juga atasannya tidak nyaman.Tanpa menunggu keputusan Rara, Kevin mengajak gadis itu menuju hotel yang tidak jauh dari bandara. Ternyata Sari sudah mengatur baik tiket pesawat dan booking hotel selama Kevin berada di Surabaya. Sampai di hotel, dua kunci kamar sudah mereka terima dan langsung menuju kamar tersebut.“Besok pagi kita sepakati dulu informasi tentang hubungan kita, jangan sampai orang tua kamu curiga,” ujar Kevin ketika mereka berada di lift.“Baik, Pak.”Ternyata kamar Kevin dan Rara bersebelahan, Kevin langsung masuk ke kamarnya tanpa mengatakan apapun. Rara pikir pria itu akan mengajaknya makan malam, apalagi sejak tadi siang belum mengisi perutnya karena sibuk mempersiapkan perjalanan yang mendadak.“Huft.”Rara merebahkan diri di ranjang
“Iya bu, kami memang serius. Ibu dan Ayah harus restui kami,” pinta Rara pada Ibunya sambil merengek manja. Rara menatap Kevin dengan tersenyum, memperlihatkan bahwa keduanya sebagai pasangan yang saling mencintai dan bahagia.Demi kenyamanan ketika mengunjungi Ayah Rara, Kevin pun memindahkan pelayanan perawatan menjadi kelas VIP dengan semua biaya ditanggung olehnya. Tentu saja keluarga Rara merasa bersyukur dengan bantuan Kevin. Sedangkan Rara merasa semakin bersalah karena ada kebohongan di balik kebaikan Kevin. “Temani nak Kevin makan, ini sudah siang Ra,” ujar Ibu yang sedang menyuapi Ayah. “Iya Bu.” Kevin sudah berkenalan dengan Ayah Rara, tapi belum bisa bicara banyak hal termasuk menyampaikan rencana dan maksud menemui pria itu. Menunggu sampai keadaan lebih baik, mungkin besok. Pasangan itu pamit kembali ke hotel, Kevin menunjukkan kepeduliannya dengan memastikan pelayanan yang diterima oleh orangtua Rara adalah yang terbaik. “Sudah sana antar dulu Nak Kevin, nanti so
Ayah Rara sudah diperbolehkan pulang, tentu saja Rara tidak lagi menginap di hotel. Apalagi orangtua Kevin juga sudah tiba di Surabaya. Besok adalah melaksanakan akad nikah antara Kevin dan Rara. Sempat ada kasak kusuk dari kerabat Rara, karena pernikahan yang cukup mendadak.Mereka menduga Rara sudah hamil, apalagi gadis itu selama ini bekerja di Jakarta jauh dari pantauan orang tua. Rara tidak peduli akan hal itu, baginya lebih penting mempersiapkan jiwa dan raganya menjadi istri Kevin Baskara. Lebih tepatnya istri bayaran.“Ra, ibu boleh masuk.”“Iya Bu.”Ibu dan anak itu duduk di tepi ranjang yang sudah dihias. Meskipun sederhana, tapi menunjukan kalau kamar tersebut adalah kamar pengantin.“Besok tanggung jawab kami sebagai orang tua akan berpindah pada Nak Kevin. Patuhlah pada suami dan jaga kehormatan keluarga. Jadilah istri dan Ibu rumah tangga yang baik.”Rara mendengarkan nasehat Ibunya. Meskipun ada rasa tercubit karena pernikahan itu hanya akan berlangsung selama satu tahu