Share

Part 5 ~ Dalam Masalah

Sejujurnya Rara tidak peduli dengan masa lalu Kevin, tapi membuat pria itu kesal bahkan sampai menatapnya tajam rasanya seru juga. Tante Mihika akhirnya yang menceritakan singkat masa lalu Kevin dan tidak heran juga, karena laki-laki memang begitu.

Bermodalkan wajah tampan dan nama besar keluarga, tidak mungkin seorang pria tidak berulah. Menurut Rara, wajar saja Kevin hanya berganti-ganti pacar bukan berganti wanita tiap malam. Yang menyebalkan adalah sifat angkuhnya.

“Turun!” titah Kevin setelah mobil menepi dan berhenti.

Akhirnya pertemuan itu berakhir dan saat ini mereka sedang dalam perjalanan kembali ke kantor. Rara menatap ke luar jendela memastikan kalau saat ini belum tiba di kantor. Lalu untuk apa Kevin memintanya turun. Apalagi dari sini ke kantor masih lumayan jauh.

“Kenapa saya harus turun di sini, Pak?”

“Turun ya turun. Memang kamu mau ikut sampai mana?”

“Pak Kevin tahu sendiri motor saya di kantor,” ujar Rara mulai kesal dengan pria itu. Bagaimana tidak kesal, tadi dia paksa untuk ikut. Lalu bersandiwara dan sekarang dia diminta turun di jalan dan jarak ke kantor masih jauh.

“Nggak ada urusan dengan saya, cepat turun!”

Rara berdecak, lalu melepas seatbelt dan keluar dari mobil. Baru berjalan satu langkah, mobil itu sudah melaju dan bergabung dengan kendaraan lain di jalanan. Kedua tangan gadis itu mengepal dan mulut bergumam mengumpat untuk Kevin. Lihat saja kalau sampai bertemu lagi dan pria itu mengajak kerjasama terkait sandiwara tadi, dia berjanji tidak akan mau.

Sampai kantor tepatnya di lantai di mana ruang kerjanya berada, Slamet sudah menunggu Rara. Dari wajahnya sudah bisa terbaca kalau pria itu ada perlu atau ada sesuatu yang ingin disampaikan. Karena masih merasakan emosi pada Kevin dan tidak ingin Slamet menjadi tempat sasaran kemarahan, akhirnya Rara memilih ke toilet.

“Loh, Mbak. Mau ke mana?”

“Toilet,” jawab Rara. “Mau ikut?”

“Astaga Mbak, yang bener aja.”

Keluar dari toilet, rasanya lebih segar setelah mencuci muka. Berharap tidak ada lagi kesialan berikutnya yang harus Rara rasakan.

“Mbak,” panggil Slamet.

“Eh, masih ada. Aku pikir sudah kembali ke …”

“Ck. Pak Robert hubungi saya, katanya Mbak Rara nggak bisa dihubungi. Tadi jadi ikut rapat ‘kan?”

Rara pun membuka clutch dan mengeluarkan ponsel. Saat rapat dia mensilent ponsel dan ternyata ada beberapa panggilan dari Pak Robert dan pesan yang menanyakan hasil rapat.

“Bilang aja, misi sukses,” jawabnya kemudian berlalu menuju meja kerja.

***

Jam kerja sudah berakhir satu jam lalu dan Rara masih asyik di depan layar komputer dengan tangan kiri menumpu wajahnya. Sebenarnya bukan sedang sibuk kerja, tapi menonton drama korea favorit. Berharap kisah yang dia tonton bisa tertular padanya.

Kisah gadis sederhana yang tidak sengaja bertemu dengan pria kaya idaman setiap wanita. Perlahan konflik perkenalan menjadi rasa cinta, bahkan mereka menjadi pasangan bucin. Sang gadis pun akhirnya menikmati hidup penuh kemewahan dan cinta dari si pria.

“Kapan Tuhan kasih aku jodoh kayak gitu? Tuhan, secepatnya dong. Duda juga nggak apa, asal kaya raya dan bisa bantu keuanganku.”

Rara menghela nafas masih menyimak jalannya cerita. Suasana ruangan tempatnya bekerja sudah mulai sepi. Beberapa kubikel dan meja sudah kosong. Bahkan Slamet, lima menit yang lalu sudah pulang. Tinggal dua orang staf lagi yang masih menyelesaikan pekerjaan karena sudah dateline.

“Rara.”

“Hm.”

Entah siapa yang memanggil, gadis itu hanya berdehem tanpa menoleh. Paling office boy yang menawarkan minum atau menanyakan kapan pulang karena lampu dan mesin pendingin udara akan dimatikan. Mengganggu kesenangan orang saja.

“Rara.”

“Apaan sih, ganggu aja. Nanti AC, saya matikan sebelum pulang,” jawab Rara dengan jantung berdebar karena cerita yang sedang ditonton menunjukan adegan dewasa.

“Jadi begini gaya kerjamu!”

Brak.

Kepala Rara terantuk meja karena terkejut dengan kehadiran Kevin yang sudah berdiri di samping meja kerjanya. Tatapan wajahnya terlihat tidak ramah. Gadis itu panik karena Kevin menatap layar yang menampilan dua tokoh drama saling berpagut bibir. Segera dia tekan tombol off untuk layar komputer.

“Maaf pak,” ujarnya dan sudah beranjak dari kursi. “Jam kerja ‘kan sudah selesai pak, jadi nggak apa dong kalau saya nonton.”

“Oh saya nggak masalah, tapi jangan lakukan di kantor. Apalagi kamu pakai fasilitas kantor,” seru Kevin.

“Iya pak, tidak akan saya ulangi lagi.”

Rara melirik dua rekan kerjanya yang sudah bersiap pulang dan mengangguk pada Kevin. Mereka pasti merasa aneh karena ada Kevin menemuinya. Dijamin besok dia akan jadi bahan gibah di divisi keuangan karena kejadian ini.

“Sebutkan nomor kontak kamu!” titah Duda ganteng tapi ngeselin yang ada di hadapannya.

“Untuk apa Pak?”

“Apa saya perlu jelaskan kenapa saya menanyakan kontak bawahan saya?” tanya Kevin.

“Ya nggak sih,” gumam Rara kemudian menyebutkan sejumlah angka yang merupakan nomor kontaknya.

“Ternyata Mami menyukai kamu, tapi percuma karena kita hanya pura-pura. Besok aku akan sampaikan pada mereka kalau kita putus karena kamu selingkuh,” ujar Kevin dan rasanya Rara ingin menjerit kesal.

“Nggak ada alasan lain gitu? Nggak cocok atau beda pandangan hidup, jangan alasan selingkuh karena saya wanita setia pak.”

“Itu urusan saya mau pakai alasan apa. Kalau tidak suka, bayar,” ujar Kevin sambil mengulurkan telapak tangannya.

“Terserah Bapak, mau pakai alasan apa. Saya ngikut aja,” sahut Rara tidak ingin memperpanjang masalah. Apalagi masalah uang.

Kevin meninggalkan ruangan, Rara langsung duduk dan menarik nafas menahan kesal. Namun, ada gurat bahagia karena dia tidak perlu berbohong pada orangtua Kevin. Kalau mereka masih bersandiwara, artinya dia harus kembali berbohong pada orangtua Kevin.

Akhirnya Rara pulang. Sampai kosan, orangtuanya kembali mengirimkan pesan kebutuhan uang untuk perawatan Ayah. Gadis itu merasakan kepalanya langsung pusing tujuh keliling memikirkan dari mana bisa dapat uang secepatnya.

***

“Pagi Mbak Rara,” sapa Slamet.

“Pagi,” jawab Rara lemas.

Semalam dia sulit tidur setelah menghubungi Ibu di kampung. Baru saja terpejam sebentar, suara alarm kembali membuat tubuhnya terjaga. Entahlah dia bisa konsentrasi kerja atau tidak. Terdengar bisik-bisik rekan kerjanya.

“Ini apaan sih pagi-pagi sudah pada ngerumpi aja. Lebih baik klarifikasi langsung ke orangnya,” pekik Slamet.

Mendengar teriakan Slamet, Rara sampai berdiri untuk melihat ada keributan apa hingga Slamet yang kalem harus berteriak. Lebih membingungkan ketika beberapa pandangan mata kemudian melirik sinis sambil komat kamit kayak dukun baca mantra.

“Ada apa sih? Masih pagi udah ribut aja,” keluh Rara.

“Halah pake pura-pura pintar. Pantesan dipercaya sana sini, taunya ada main sama Bos,” seru Marni, staf keuangan yang sudah lama bekerja di sini tapi tidak ada perubahan jabatan karena menurut Pak Robert kerjanya kurang maksimal.

“Siapa yang ada main dengan Bos?” Rara bertanya karena belum tahu permasalahan mereka.

“Ya situlah, siapa lagi. Semalam sampai disamperin Pak Kevin.”

Rara pun ber oh ria. Jadi karena itu, mereka membicarakannya. Dia tidak mungkin menceritakan yang terjadi antara dirinya dan Kevin termasuk kesepakatan sandiwara konyol. Jadi Rara mengatakan kalau Kevin mencarinya karena hasil rapat kemarin siang. Ponselnya lowbat, jadi Kevin sampai harus menemui dirinya.

“Seriusan mbak, Pak Kevin semalam kemari temui mbak Rara?” tanya Slamet.

“Heem,” jawab Rara.

Paling tidak alibinya membuat suasana lebih kondusif.  Semua kembali ke meja dan kubikel masing-masing. Baru saja akan mendudukan tubuhnya di kursi saat pesawat telepon di meja Slamet berdering, pria itu menjawab lalu menoleh ke arah Rara.

“Kenapa?”

“Mbak Sari bilang, kamu diminta ke ruangan Pak Kevin. Sekarang," jawab Slamet. 

“Hahhh.”

Bukan hanya dirinya yang terkejut karena perintah untuk menemui Kevin, tapi rekan-rekan kembali menatap horor ke arahnya. Ada urusan apa seorang staf sampai harus menemui Direktur, Kevin benar-benar membuatnya dalam masalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status