Share

Bab 8

Penulis: Riyana Iyung
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-07 18:00:34

"Ehm, Pak Adrian, Anda ...."

Belum sempat Amanda meneruskan kalimatnya, Adrian sudah terlebih dahulu memotong.

"Aku akan menunggu kamu di sini," katanya singkat, suaranya terdengar dingin.

Manda hanya mengangguk kecil, merasa suasana di antara mereka begitu kaku. Tanpa bicara apa-apa lagi, ia membuka pintu, hendak beranjak turun.

"Tunggu dulu."

Manda kembali keposisinya, begitu juga dengan Deswita yang duduk dibangku belakang, ia terdiam dan melihat kearah Kakak iparnya.

"Biasakan jangan panggil aku Pak. Apalagi kalau di rumah mama."

"Jadi, saya harus panggil anda apa?" tanya Manda balik.

"Apa saja asal jangan Pak."

Manda berpikir, "Abang? Mas? Atau Aa?" ujarnya hati-hati, takut tidak berkenan dihati suaminya.

"Ayang bebs aja mbak. Lebih romantis, biasanya kalau anak remaja pacaran jaman sekarang manggilnya gitu.. Gimana? Bagus kan?" celetuk Deswita yang sontak mendapat tatapan tak suka dari Adrian melalui kaca mobil yang berada di tengah.

"Oh--nggak suka ya?" lanjut Adik kandung Amanda itu, begitu melihat wajah Ardian.

"Mas, aku panggil kamu mas aja ya. Boleh?"

"Heemm." Adrian hanya berdeham.

"Ya sudah, aku turun dulu ya mas."

Tak ada jawaban.

Amanda lalu turun, dan diikuti Deswita. Kedua gadis itu berjalan cepat menuju gedung rumah sakit. Di saat yang sama, dari kejauhan, seorang wanita paruh baya memperhatikan mereka dengan mata menyipit, seolah mencoba meyakinkan dirinya akan sesuatu.

"Itu ... Manda? Dan Wita?" gumam wanita itu pelan, sedikit tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Ia mengucek matanya, berharap pandangannya salah. Namun, tidak, itu benar-benar mereka.

Wanita itu, yang tidak lain adalah Herawati---Ibu kandung Amnada, buru-buru mempercepat langkah untuk mengejar keduanya. Namun, jarak di antara mereka terlalu jauh, dan langkah kaki Manda dan Deswita yang cepat membuatnya kehilangan jejak.

Setelah beberapa menit berjalan, Manda dan Deswita sampai di ruang ICU, di mana ayah mereka dirawat. Mereka berhenti tepat di depan pintu lalu menatap sekitar.

"Kok Mama nggak ada, ya?" Deswita berbisik, matanya mencari-cari sosok ibu mereka yang seharusnya berada di situ, menunggu sang Ayah.

Manda mengangguk, "Mungkin Mama lagi ke bawah beli minum atau makan."

Mereka berdua lalu duduk di bangku yang tersedia di lorong ICU, menunggu sang ibu atau petugas medis yang mungkin akan keluar dari ruang ICU dengan kabar terbaru mengenai papa mereka.

Deswita memandang kakaknya, menyelidik. "Gimana, Kak? Perasaan kamu sekarang udah jadi istri Adrian?"

Manda tersenyum tipis, namun sorot matanya tidak menunjukkan kebahagiaan.

"Biasa aja. Aku malah bingung, kikuk, canggung. Di rumah Adrian tadi, rasanya sangat asing, mbak nggak nyaman berada di sana."

Deswita menghela napas, lalu menatap kakaknya serius.

"Mbak, aku takut kalau ini berlangsung lama, keluarga kita atau orang-orang dekat bakal tahu soal pernikahan kontrakmu sama Adrian. Nggak gampang lho kak menyembunyikan hal kayak gini, apalagi kalau Mama tahu.”

Manda menggigit bibirnya, seolah tidak tahu harus memberi jawaban apa. Sebelum ia sempat merespon, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing dari arah belakang mereka.

“Sembunyikan? Apa yang kalian sembunyikan?”

Manda dan Deswita sontak menoleh. Herawati berdiri di sana dengan alis terangkat, jelas menunjukkan rasa penasarannya. Wajahnya memancarkan keingintahuan sekaligus sedikit kekhawatiran.

"Mama!" Deswita langsung menegakkan badannya, mencoba memasang senyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Ngagetin aja sih."

"Jawab! Apa yang kalian sembunyikan." tegasnya sekali lagi.

"Ehm, itu lho ma, bukan apa-apa," Deswita memutar otaknya cepat. "Tadi aku hanya cerita ke mbak manda, tentang teman baik aku yang ternyata udah menikah secara diam-diam. Tapi disembunyikan, ini pada kebongkar, Aku sama mbak Manda jadi kaget aja. Iya kan mbak?" lirik Deswita, kearah kakaknya.

"I---iya ma." wajah Manda terlihat panik.

"Oh ..." Herawati tersenyum kecil, tapi raut wajahnya masih menyiratkan rasa ingin tahu yang dalam. "Mama pikir kalian yang sembunyikan sesuatu."

"Enggak dong ma, mama mungkin kamu berani menyembunyikan sesuatu dari mama. Nggaklah."

"Wita benar ma, mana mungkin kami berani menyembunyikan sesuatu, mama kan serem. Hiii, " Manda bergidik, lalu nyengir kuda. ia mencoba mencairkan suasana dengan candaannya. Sedang Deswita mengimbangi, demi meyakinkan ibunya.

"Dasar kalian ya." Herawati hanya tersenyum kecil.

"Oh ya ma, Papa gimana?"

Wanita yang berusia 48 tahun itu menghela nafas lega, lalu duduk di samping putri pertamanya.

"Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar, sayang, hanya saja papa masih belum sadar. Kalian do'akan ya, agar papa cepat sehat lagi seperti dulu."

"Aamiin." ucap Manda dan Deswita berbarengan, terlihat senyum kebahagiaan diwajah keduanya.

"Lalu, mama mau nungguin disini sampai papa sadar?"

"Iya Manda. Kalian pulanglah, biar mama yang nungguin papa disini, nanti kalau misalnya papa sudah sadar dan dipindahkan ke ruang perawatan barulah kita gantian jaga."

"Mama yakin nggak mau ditemani?" Manda sekali lagi meyakinkan.

"Memang mbak mau nemenin?" Deswita sengaja menggoda sang Kakak, padahal ia tahu persis malam ini Marisa memerintah ia dan Adrian menginap di rumahnya.

"Ya---." Manda tak bisa meneruskan kalimatnya.

"Sudah, sudah, kalian pulanglah sana, sudah malam. Mendung juga, jangan sampai kalian kehujanan nanti."

"Baiklah ma. Mama baik-baik ya disini, jangan lupa hubungin kami kalau mama membutuhkan sesuatu atau ada apa-apa." pesan Manda.

"Iya sayang."

"Mama masih punya uang pegangan 'kan?"

"Masih Nak, yang dari kamu kemaren masih ada kok. Mama akan hemat-hemat, barangkali nanti kita butuh uang dadakan lagi untuk biaya pengobatan papamu."

"Jangan ma. Soal biaya pengobatan papa, mama nggak usah pikirin. Aku sudah siapkan kok. Uang yang mama pegang, mama boleh pakai untuk membeli apa saja yang mama mau. Makanan, minuman, vitamin bila perlu, sebab mama kan juga harus sehat agar bisa terus jagain Papa."

"Tapi Nda, kamu dapat uang banyak dari mana, Nak? Pengobatan papa, bayar hutang, itu sudah habis banyak lho, kamu nggak melakukan sesuatu yang melanggar agama 'kan?" tanya Herawati, menuntut jawaban.

Amanda tersenyum, "Tidak ma, pokoknya mama tolong percaya sama aku ya, aku tidak melakukan cara yang salah untuk mendapatkan uang kok. Oke ma."

"Mama tanya Wita kalau nggak percaya."

Herawati menoleh pada putri keduanya, "Memang iya Wit?"

"Iya ma, pokoknya mama tenang, in sya Allah mulai sekarang kita bisa hidup enak. Mbak Manda sudah jadi orang kaya sekarang."

Manda menoleh pada adiknya, matanya melotot, dengan sengaja ia lalu menginjak kaki Deswita dengan kuat. Gadis itu ingin berteriak kesakitan namun, ditahan agara tidak mencurigakan.

"Hidup enak? Orang kaya? Maksudnya?"

"Wita hanya bercanda kok ma. Beneran." kilah gadis yang usianya dibawah Manda 3 tahun itu.

"Tuh kan bercanda, mama seperti nggak kenal Deswita saja."

"Alhamdulillah kalau begitu, mama nggak mau kalau kamu melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang. Mama nggak mau pokoknya."

"Iya ma."

"Oh ya mama jadi ingat, tadi, mama melihat kalian berdua turun dari mobil, yang bagus dan mewah, mobilnya mengkilat, kalah bening dengan wajah mama. Memangnya itu mobil siapa?"

Manda dan Deswita kembali panik.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 37

    Adrian hampir tersedak teh yang baru saja diminumnya setelah mendengar pertanyaan ibunya. Sementara itu, Manda membeku di tempat, sendoknya berhenti mengaduk sup."Ehm ... Ma, maksud Mama soal anak itu---" Adrian mencoba tertawa kecil untuk mengurangi kecanggungan, tetapi jelas suaranya terdengar gugup. Ia melirik kearah Manda. "Iya, Adrian. Bukankah itu hal yang wajar ditanyakan oleh seorang ibu? Kalian sudah menikah, dan Mama ingin segera punya cucu, jadi nggak salah kan mama bertanya tentang itu?" jawab Mama Marisa dengan nada penuh harap.Manda langsung menunduk, wajahnya memerah. Ia tidak tahu harus berkata apa.Adrian buru-buru menjawab, "Oh, ehm ... Sebenarnya, kami tidak menunda kehamilan Manda kok Ma. Hanya saja, ya ... menunggu sedikasihnya saja."Mama Marisa menatap Adrian dengan kening berkerut. "Sedikasihnya? Jadi kalian belum mencoba dengan serius?"Adrian tergagap, mencari cara untuk mengalihkan perhatian. Ia

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 36

    "Jadi, kamu mau ikut bosmu keluar kota?" tanya Pak Surya, dengan nada suaranya yang tegas."Iya, Pa. Ini untuk meeting penting, dan aku harus menemani Pak Adrian." jawab Manda dengan hati-hati.Pak Surya menggeleng. "Kamu perempuan, Manda. Nggak pantas ikut-ikut bos keluar kota, Apalagi kalau hanya berdua saja."Manda membuka mulut untuk menjawab, tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Ia hampir menyerah ketika tiba-tiba Bu Herawati menyela."Pak, tunggu dulu. Jangan langsung menolak begitu," kata Bu Herawati sambil mendekati suaminya.Pak Surya menatap istrinya dengan bingung. "Kenapa? Menurutmu ini wajar?""Tentu saja, Pak. Ini kan sudah menjadi salah satu tugas sekertaris. Mendampingi bos meeting, bahkan kalau perlu ke luar kota. Lagipula, bos Manda itu baik sekali. Ingat nggak, waktu dia memperbolehkan Manda ambil cash bon untuk membayar hutang kita, oprasi papa. Untuk kita seharusnya kita mensupport Manda, pal

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 35

    Suasana dalam mobil terasa begitu sunyi. Hanya suara deru mesin dan roda yang bergesekan dengan jalan yang terdengar. Adrian duduk di balik kemudi, sesekali melirik ke arah Manda yang tetap memandang ke luar jendela dengan ekspresi dingin. Ia tahu, ia harus mengatakan sesuatu. Setelah mengumpulkan keberanian, Adrian akhirnya membuka mulut. "Manda, aku mau minta maaf." Tak ada reaksi dari Manda. Wanita itu tetap memandang ke luar jendela, seolah tak mendengar permintaan maaf Adrian. Adrian menghela napas. "Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengucapkan nama itu saat kita sedang bersama, tapi .... " Adrian menjeda kalimatnya, Ia menoleh kearah wanita disampingnya. Manda masih bergeming, tangannya terlipat di atas pangkuan. Ia terlihat begitu tenang, tapi Adrian tahu, di balik ketenangan itu, ada perasaan yang terluka. "Manda ..." Adrian memanggilnya lagi, mencoba menarik perhatian. Kali ini, Manda menggerakkan bahunya sedikit, tapi pandangannya masih terpaku pada pe

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 34

    Adrian langsung menjawab tanpa ragu, "Tentu saja bisa, Bu. Saya tidak keberatan sama sekali."Manda yang sedang berdiri di sampingnya menatap Adrian dengan mata membola. "Apa?" bisiknya kaget, tapi Adrian pura-pura tak mendengar."Nah kan, bagus kalau begitu!" kata Bu Herawati dengan wajah cerah. "Ayo masuk, Pak Adrian. Saya sudah siapkan makanan di meja makan."Manda tak bisa berbuat apa-apa selain mengalah. Ia mendesah pelan sambil menunduk. Dalam hati, ia mengutuk Adrian yang membuatnya tak bisa membantah ibunya. Dengan setengah hati, ia mengikuti langkah ibunya dan Adrian ke dalam rumah.Di ruang makan yang sederhana namun rapi, Bu Herawati memperkenalkan Adrian kepada suaminya. "Pa, ini bosnya Manda, Pak Adrian. Dia baik sekali sampai mau jemput Manda ke kantor."Pak Surya yang sedang memegang koran langsung meletakkannya di meja dan berdiri untuk menjabat tangan Adrian. "Wah, bosnya Manda ya? Senang sekali bisa bertemu. Saya Surya, papa Manda."Adrian tersenyum sopan sambil m

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 33

    Adrian mengetuk pintu pelan, menunggu dengan sabar sambil merapikan kerah jasnya. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Bu Herawati yang mengenakan daster bunga-bunga sederhana."Assalamu'alaikum," sapa Adrian dengan senyum sopan."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Herawati, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Oh, bapak ... bukannya bosnya Manda ya, yang malam itu juga datang kemari?"Adrian tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Bu. Saya Adrian. Kebetulan pagi ini saya datang untuk menjemput Manda. Apakah dia masih di rumah?""Oh, masih, Pak Adrian. Tunggu sebentar ya." Bu Herawati tersenyum lebar, merasa senang dengan kehadiran bos putrinya yang tampan itu. "Eh, tapi ... ada keperluan apa sampai menjemput ke rumah?" tanyanya ingin tahu. Adrian menjelaskan dengan tenang, "Ada sesuatu hal yang perlu saya bicarakan, sebelum meeting pagi ini, saya takut, waktunya tidak keburu, jadi saya pikir lebih baik kami ke ka

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 32

    "Aku ingin ... Aku ingin kamu," kata Adrian langsung, tanpa berputar-putar.Manda tercengang, wajahnya memerah seketika. "Apa? Apa maksudmu, Adrian?" tanyanya, suaranya bergetar."Aku tidak bisa memikirkan hal lain sejak tadi. Aku ingin kamu. Aku ingin menikmati tu buhmu, sekarang juga." pinta Adrian sedikit memdesah, nafasnya memburu, seiring dengan gairahnya yang sedang tinggi Manda terdiam, hatinya berdebar keras. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya menatap Adrian dengan mata yang membulat."Adrian, aku ..."Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Adrian sudah mendekat, mengecup bibirnya dengan lembut. Manda tidak sempat menolak atau memberi respons. Tubuhnya kaku sejenak, tetapi ia tidak mendorong Adrian untuk menjauh.Sentuhan itu terus berlangsung, Adrian manarik pinggang Manda, agar tubuh keduanya kian dekat. Dan Adrian tidak berhenti, Ia lantas membimbing tubuh istrinya perlahan ke arah ranjang. Denga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status