Share

Bab 7

Penulis: Riyana Iyung
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-06 18:50:55

Acara ijab kabul Adrian dan Amanda telah selesai dilakukan. Para tamu undangan pun, telah meninggal tempat acara, menyisakan pengantin baru, juga keluarga pihak laki-laki.

Manda dan Deswita duduk berdampingan, keduanya telihat kikuk, berada di tengah-tengah orang kaya membuat mental mereka ngedrop seketika. Sesekali keduanya nampak berbisik, namun lebih banyak diam dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam erat. Sedangkan Adrian, duduk di sisi lainnya yang tak jauh dari istrinya. Ia terlihat asik memainkan benda pipih miliknya, seolah tak peduli pada wanita yang baru saja dinikahinya.

"Manda, masih disini, sayang." Marisa mengambil tempat duduk disamping menantunya. "Nggak pengen ganti baju aja, biar lebih santai."

"Ehm, nanti aja Tan."

"Lho, kok manggilnya tan, sih. Mulai sekarang biasakan manggil saya Mama. Oke."

Manda tersenyum, "Iya tan. Eh, Ma."

"Nah, begitu dong." Marisa menyandarkan tubuhnha. "Alhamdulillah ya, acaranya berjalan dengan lancar," ucapnya lembut, sambil menatap Amanda dan Adrian bergantian. "Andaikan orang tua Amanda bisa hadir, pasti kebahagiaan kalian akan terasa lebih lengkap. Iya, kan, Adrian?"

Nada suara Marisa terdengar setengah menyindir, seolah menyiratkan ketidakpuasannya terhadap kondisi yang ada.

Adrian tersenyum kecil, berusaha menghindari tatapan ibunya.

"Iya, Ma. Tapi yang penting acaranya berjalan lancar dan kami sudah sah secara agama," jawabnya, mencoba menenangkan suasana.

Amanda menundukkan kepalanya. Tangannya sibuk meremas jari jemari adiknya. Ada rasa campur aduk dalam hatinya, bingung harus merespons apa. Ia tak ingin berbohong, tapi, disisi lain ia diterikat pada kesepakatannya dan Adrian. B

Marisa lalu mengalihkan pandangannya kepada Amanda.

"Manda, Mama harap nanti di acara resepsi pernikahan kalian, ayah kandungmu bisa hadir. Itu penting, agar pernikahan ini lengkap di mata keluarga besar, juga kerabat serta tekan kerja kita."

Adrian mendadak menoleh dengan terkejut.

"Resepsi, Ma?" tanyanya, suaranya terdengar tak setuju. "Apa harus ada resepsi? Bukankah ijab kabul sederhana saja sudah cukup?"

Marisa menatapnya dengan serius.

"Kami ini giamana sih Adrian, ya nggak mungkin kita tidak mengadakan resepsi. Kamu pewaris harta kekayaan keluarga Maulana Malik Ibrahim, dan Mama pemilik sejumlah perusahaan besar berskala internasional. Tak mungkin kita melewatkan acara resepsi yang mewah dan layak, mengingat begitu banyak relasi serta rekan bisnis kita yang menantikan ini."

Adrian menghela napas. "Ma, kasihan ayah Amanda kalau harus hadir di acara besar seperti itu. Beliau kan sudah tidak muda lagi, kondisinya juga tidak sedang fit, nanti kalau ngedrop lagi gimana?" kilah Andrian, melirik kearah Amanda.

Marisa menatap putranya dengan penuh keyakinan.

"Oh, soal itu, bisa diatur nanti. Serahkan saja semuanya pada pihak event organizer yang terbaik, tinggal bilang kita maunya gimana? Mereka pasti bisa mencarikan solusi." jawab Marisa dengan enteng. "Mama sudah mengalah lho Adrian, ijab kabulnya sudah dilakukan dengan sederhana, Tapi untuk acara resepsi, mama nggak mau ngalah lagi, kalian harus menurut apa yang Mama inginkan."

"Ma, sebenarnya ijab kabul ini sudah cukup. Iya kan Manda? Lagipula …,” Adrian ragu-ragu, tak tahu bagaimana cara mengungkapkan bahwa pernikahan ini hanyalah sementara.

Tapi Marisa menggelengkan kepala dengan tegas.

"Tidak, Adrian. Ini adalah pernikahan putra kesayangan mama dan Alm. Papa, dan Mama ingin semuanya dilakukan secara layak. Titik."

Adrian mendesah panjang, tahu bahwa membantah lebih lanjut hanya akan memperkeruh suasana. Namun, dalam hati, ia bertekad untuk akan terus mencoba cara lain, agar acara resepsi itu batal atau setidaknya bisa ditunda.

Merasa suasana semakin tak nyaman, Deswita, adik Adrian, yang sejak tadi diam akhirnya ikut angkat bicara, ia merasa perlu menengahi perdebatan antara ibu dan Anak itu, sebelum akhirnya merembet kemana-mana.

"Tente Marisa, Kak Adrian, mbak, sepertinya aku harus pamit dulu ya. Aku harus kerumah sakit melihat kondisi papa."

Deswita berdiri dan tersenyum kepada Amanda, seolah sengaja menciptakan celah untuk mengalihkan pembicaraan yang mulai memanas.

"Kok buru-buru banget sih, Wita?" Marisa menatap Adik menantunya dengan sedikit terkejut.

"Iya tan, mau melihat kondisi Papa, soalnya operasinya kan dilakukan pagi tadi."

Marisa mengangguk, "Pasti belum diperbolehkan dijenguk juga ya?"

Deswita melirik kearah Adrian, bergantian kearah Kakaknya. "Ehm, sepertinya memang belum tan."

"Iya ma." Manda menanggapi cepat, "belum boleh dijenguk sampai kondisi pasien membaik. Biasanya sih gitu, jadi, mama nggak usah repot besuk papa ya." takut-takut Manda menjawab, ekor matanya menangkap Adrian yang terus memperhatikannya.

Marisa menghela nafas, "Baiklah, mama paham Andin. kalau begitu Adrian, kamu dan Manda antar Deswita ya. Sekalian, mintalah restu dari orang tua Manda, minimal ibunya."

Adrian dan Amanda saling pandang, namun, hanya sekejap saja. Detik berikutnya keduanya berusaha terlihat tenang, meski jauh dalam lubuk hati keduanya bingung, juga cemas.

"Adrian, Manda, kok malah ngelamun. Buruan ganti baju kalian, lalu antarkan Deswita."

"Baik, Ma," jawab Adrian akhirnya, mengikuti instruksi ibunya.

"Oh, dan satu hal lagi," tambah Marisa sebelum mereka sempat berdiri. "Setelah mengantar Deswita, kalian harus kembali ke sini malam ini ya. Mama sudah menyiapkan kamar pengantin buat kalian. Dan tidak ada alasan untuk menolak."

Amanda merasakan wajahnya memanas, dadanya berdebar kencang mendengar kata "kamar pengantin". Ia melirik Adrian yang tampak agak tegang.

"Tapi ma, bukankan sebaiknya kami menginap di apartemen aku saja malam ini, sepertinya lebih privasi saja kalau disana, Manda juga nggak canggung lagi. Iya kan sayang?"

"Iya ma. Kami menginap disana saja."

"Kalian nggak dengar apa kata Mama tadi? Mama tidak menerima alasan apapun. Ingat itu, mama tekankan sekali lagi pada kalian ya.

Jadi, mau tak mau, suka tak suka, malam ini, kalian harus menginap disini. Dan jika tidak," Marisa melirik kearah putranya, "Adrian, kamu mengerti 'kan?"

Adrian membuang nafasnya kasar, "Iya ma, aku mengerti."

"Bagus. Kalau begitu cepatlah. Mama tunggu kalian dijam makan malam ya."

Tak ada pilihan lain, Amanda dan Adrian pun bergegas mengganti pakaian mereka, untuk segera pergi ke rumah sakit.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 37

    Adrian hampir tersedak teh yang baru saja diminumnya setelah mendengar pertanyaan ibunya. Sementara itu, Manda membeku di tempat, sendoknya berhenti mengaduk sup."Ehm ... Ma, maksud Mama soal anak itu---" Adrian mencoba tertawa kecil untuk mengurangi kecanggungan, tetapi jelas suaranya terdengar gugup. Ia melirik kearah Manda. "Iya, Adrian. Bukankah itu hal yang wajar ditanyakan oleh seorang ibu? Kalian sudah menikah, dan Mama ingin segera punya cucu, jadi nggak salah kan mama bertanya tentang itu?" jawab Mama Marisa dengan nada penuh harap.Manda langsung menunduk, wajahnya memerah. Ia tidak tahu harus berkata apa.Adrian buru-buru menjawab, "Oh, ehm ... Sebenarnya, kami tidak menunda kehamilan Manda kok Ma. Hanya saja, ya ... menunggu sedikasihnya saja."Mama Marisa menatap Adrian dengan kening berkerut. "Sedikasihnya? Jadi kalian belum mencoba dengan serius?"Adrian tergagap, mencari cara untuk mengalihkan perhatian. Ia

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 36

    "Jadi, kamu mau ikut bosmu keluar kota?" tanya Pak Surya, dengan nada suaranya yang tegas."Iya, Pa. Ini untuk meeting penting, dan aku harus menemani Pak Adrian." jawab Manda dengan hati-hati.Pak Surya menggeleng. "Kamu perempuan, Manda. Nggak pantas ikut-ikut bos keluar kota, Apalagi kalau hanya berdua saja."Manda membuka mulut untuk menjawab, tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Ia hampir menyerah ketika tiba-tiba Bu Herawati menyela."Pak, tunggu dulu. Jangan langsung menolak begitu," kata Bu Herawati sambil mendekati suaminya.Pak Surya menatap istrinya dengan bingung. "Kenapa? Menurutmu ini wajar?""Tentu saja, Pak. Ini kan sudah menjadi salah satu tugas sekertaris. Mendampingi bos meeting, bahkan kalau perlu ke luar kota. Lagipula, bos Manda itu baik sekali. Ingat nggak, waktu dia memperbolehkan Manda ambil cash bon untuk membayar hutang kita, oprasi papa. Untuk kita seharusnya kita mensupport Manda, pal

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 35

    Suasana dalam mobil terasa begitu sunyi. Hanya suara deru mesin dan roda yang bergesekan dengan jalan yang terdengar. Adrian duduk di balik kemudi, sesekali melirik ke arah Manda yang tetap memandang ke luar jendela dengan ekspresi dingin. Ia tahu, ia harus mengatakan sesuatu. Setelah mengumpulkan keberanian, Adrian akhirnya membuka mulut. "Manda, aku mau minta maaf." Tak ada reaksi dari Manda. Wanita itu tetap memandang ke luar jendela, seolah tak mendengar permintaan maaf Adrian. Adrian menghela napas. "Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengucapkan nama itu saat kita sedang bersama, tapi .... " Adrian menjeda kalimatnya, Ia menoleh kearah wanita disampingnya. Manda masih bergeming, tangannya terlipat di atas pangkuan. Ia terlihat begitu tenang, tapi Adrian tahu, di balik ketenangan itu, ada perasaan yang terluka. "Manda ..." Adrian memanggilnya lagi, mencoba menarik perhatian. Kali ini, Manda menggerakkan bahunya sedikit, tapi pandangannya masih terpaku pada pe

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 34

    Adrian langsung menjawab tanpa ragu, "Tentu saja bisa, Bu. Saya tidak keberatan sama sekali."Manda yang sedang berdiri di sampingnya menatap Adrian dengan mata membola. "Apa?" bisiknya kaget, tapi Adrian pura-pura tak mendengar."Nah kan, bagus kalau begitu!" kata Bu Herawati dengan wajah cerah. "Ayo masuk, Pak Adrian. Saya sudah siapkan makanan di meja makan."Manda tak bisa berbuat apa-apa selain mengalah. Ia mendesah pelan sambil menunduk. Dalam hati, ia mengutuk Adrian yang membuatnya tak bisa membantah ibunya. Dengan setengah hati, ia mengikuti langkah ibunya dan Adrian ke dalam rumah.Di ruang makan yang sederhana namun rapi, Bu Herawati memperkenalkan Adrian kepada suaminya. "Pa, ini bosnya Manda, Pak Adrian. Dia baik sekali sampai mau jemput Manda ke kantor."Pak Surya yang sedang memegang koran langsung meletakkannya di meja dan berdiri untuk menjabat tangan Adrian. "Wah, bosnya Manda ya? Senang sekali bisa bertemu. Saya Surya, papa Manda."Adrian tersenyum sopan sambil m

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 33

    Adrian mengetuk pintu pelan, menunggu dengan sabar sambil merapikan kerah jasnya. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Bu Herawati yang mengenakan daster bunga-bunga sederhana."Assalamu'alaikum," sapa Adrian dengan senyum sopan."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Herawati, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Oh, bapak ... bukannya bosnya Manda ya, yang malam itu juga datang kemari?"Adrian tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Bu. Saya Adrian. Kebetulan pagi ini saya datang untuk menjemput Manda. Apakah dia masih di rumah?""Oh, masih, Pak Adrian. Tunggu sebentar ya." Bu Herawati tersenyum lebar, merasa senang dengan kehadiran bos putrinya yang tampan itu. "Eh, tapi ... ada keperluan apa sampai menjemput ke rumah?" tanyanya ingin tahu. Adrian menjelaskan dengan tenang, "Ada sesuatu hal yang perlu saya bicarakan, sebelum meeting pagi ini, saya takut, waktunya tidak keburu, jadi saya pikir lebih baik kami ke ka

  • Istri Bayaran Sang Pewaris   Bab 32

    "Aku ingin ... Aku ingin kamu," kata Adrian langsung, tanpa berputar-putar.Manda tercengang, wajahnya memerah seketika. "Apa? Apa maksudmu, Adrian?" tanyanya, suaranya bergetar."Aku tidak bisa memikirkan hal lain sejak tadi. Aku ingin kamu. Aku ingin menikmati tu buhmu, sekarang juga." pinta Adrian sedikit memdesah, nafasnya memburu, seiring dengan gairahnya yang sedang tinggi Manda terdiam, hatinya berdebar keras. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya menatap Adrian dengan mata yang membulat."Adrian, aku ..."Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Adrian sudah mendekat, mengecup bibirnya dengan lembut. Manda tidak sempat menolak atau memberi respons. Tubuhnya kaku sejenak, tetapi ia tidak mendorong Adrian untuk menjauh.Sentuhan itu terus berlangsung, Adrian manarik pinggang Manda, agar tubuh keduanya kian dekat. Dan Adrian tidak berhenti, Ia lantas membimbing tubuh istrinya perlahan ke arah ranjang. Denga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status