“Yess! Yuhuu!!” sorakku girang. “Aku menang lagi. Aku menang lagi.” Aku menyusun kembali bidak demi bidak ke posisi mereka semula. “Kakek mau bidak warna apa sekarang? Hitam atau putih lagi?” “Aku tidak mau main lagi,” tolak Kakek dengan kesal. Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke arahnya. “Kamu bilang kamu tidak pernah main catur. Lalu bagaimana kamu bisa menang mudah begitu?” katanya penuh protes. Aku menoleh ke arah Melvin yang menatap aku tidak percaya, kemudian ke arah Ben yang menutup mulut dengan tangannya. Kelihatannya dia berusaha untuk menyembunyikan senyumnya, karena matanya terlihat bersinar bahagia. Aku kembali menoleh ke arah Kakek yang cemberut. Mirip seperti ekspresi wajah Melvin saat kalah berulang kali darinya. “Kakek lihat sendiri aku bergerak sembarangan saja. Aku tidak tahu kalau semua langkah itu akan memojokkan posisi raja.” Aku mengangkat kedua bahuku dengan lugu. “Bagaimana kalau kita coba sekali lagi? Siapa tahu kali ini Kakek yang menang.” “Tidak. Aku s
Ben terlihat sedang berpikir. Aku mengingat tanggal hari ini. Hari Senin, tanggal Sepuluh Agustus. Tidak ada yang istimewa dengan tanggal itu. Oh. Sepertinya aku ingat pernah melihat angka itu di suatu tempat atau dokumen. Tetapi di mana? “Dia tidak ingat sama sekali.” Kakek menggelengkan kepalanya, lalu menoleh ke arah Danu. Pria itu mengangguk dan mengatakan sesuatu kepada seseorang lewat ponselnya. Kami menoleh ke arah gerbang mendengar bunyi mesin kendaraan berat memasuki pekarangan. Sebuah truk derek masuk dengan sebuah mobil ada di bagian belakangnya. Ada pita berwarna merah menghiasi mobil tersebut. Aku menganga melihatnya. “Mobil merek kesukaan kamu. Ini keluaran terbaru dengan tingkat keamanan dan kenyamanan yang jauh lebih baik dari mobil yang sekarang kamu miliki,” kata Kakek dengan bangga. “Selamat ulang tahun, Ben. Semoga kamu suka dengan hadiahmu.” Ah, iya! Itu dia! Aku melihat tanggal hari ini pada keterangan foto bayi Ben. Tetapi aku tidak terlalu memerhatikannya da
Aku terbukti mencuri uang perusahaan? Uang yang mana? Yang Puput berikan kepadaku hanyalah transaksi dalam bentuk pindaian atau foto. Dia belum pernah memberikan sejumlah uang kepadaku untuk dibelanjakan atau ditransfer ke divisi yang membutuhkan. Bahkan orang-orang dari divisi lain pun belum pernah meminta sejumlah uang kepadaku untuk aku teruskan ke supervisor mereka. Bila sebuah laporan sampai ke meja manajer SDM, maka ini adalah tuduhan yang serius. Ada bukti yang memberatkan aku sehingga mereka berani memanggil aku dengan cara memalukan ini. Kami sedang makan siang, mengapa mereka tidak memanggil aku saat aku masih berada di bilik atau nanti ketika aku sudah kembali ke bilikku. Ada aplikasi yang kami gunakan untuk berkomunikasi. Mengapa dia harus datang ke sini sekarang? Bukan hanya rekan-rekan kerjaku dan Elan yang mendengar tuduhannya itu, tetapi juga orang lain yang berada di meja di dekat kami. Dhini dan Jerome melihat aku dengan tatapan tidak percaya. Mereka hanya bisa pasr
~Benedict~ Kakek sudah lama tidak memikirkan aku, bicara denganku, apalagi sampai menjemput aku langsung untuk berkunjung ke vilanya, tempat istirahat favoritnya. Kenneth dan Eloisa sekalipun tidak akan mendapatkan kehormatan itu. Semua ini terjadi pasti karena Delima. Hal yang paling mengejutkan adalah Kakek mengingat hari ulang tahun yang bahkan aku lupakan. Aku masih mencari tahu apa artinya aku hidup dan lahir di tengah-tengah keluargaku dengan tubuh seperti ini. Jadi, aku tidak pernah mau mengingat tanggal kelahiranku. Hari lahirku adalah hari sial. Bukan hanya mengingat, Kakek juga memberikan sebuah hadiah yang aku dambakan. Keadaan mobil yang saat ini aku pakai masih bagus, jadi aku belum bisa memutuskan akan membeli mobil baru atau bertahan dengan yang lama. Tetapi Kakek menjadikan mobil itu sebagai hadiah ulang tahun. Semua itu terjadi karena Delima. Kakek tidak akan melihat atau mengingat aku, kalau bukan karena dia. Aku tahu dia akan menolak hadiah besar, jadi aku memesa
Orang tua Delima, Pangestu, dan Mikha berdiri di depan kami dengan topi berbentuk kerucut di kepala mereka. Mama memegang kue ulang tahun dengan lilin-lilin kecil menyala di atasnya. Mereka menyanyikan lagu ulang tahun dengan lirik yang diubah agar aku meniup lilin tersebut. Mereka bersorak senang ketika semua lilin telah padam. Delima menggandeng tanganku mendekati meja makan, lalu mempersilakan aku untuk duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja itu. Dia menerima tablet Pangestu dan mengarahkan layarnya kepadaku. Ada wajah Kakek di sana. “Sekali lagi, selamat ulang tahun untukmu. Maaf, aku tidak bisa hadir di sana. Tetapi semoga kamu menyukai kue yang aku kirim. Bukan kue kecil yang disiapkan oleh ibu mertuamu. Aku tidak tahu di mana mereka meletakkannya.” Keluarga Delima tertawa mendengar candaan Kakek. Setelah hubungan panggilan video itu diakhiri, Pangestu meletakkan sebuah kue besar berbentuk persegi panjang di depanku. Aku tertawa melihat Kakek memilih mobil yang dia h
Jantungku yang malang. Aku sudah berbaring di tempat tidurku entah berapa lama, tetapi dia masih berdebar dengan kencang. Aku juga belum bisa melupakan rasa bibir lembut itu di bibirku. Otakku sepertinya sudah rusak, karena seluruh inderaku tidak bisa berfungsi dengan baik. Rambut halus di tanganku saja terasa berdiri setiap kali aku mengingat sentuhannya. Malam hampir berganti pagi dan aku masih belum bisa memejamkan mata tanpa terbayang ciuman intensnya. Benarkah itu hal normal yang dilakukan oleh suami istri? Lalu bagaimana mereka semua bisa berumur panjang ketika mereka tidak bisa tidur usai melakukannya? Bagaimana lagi dengan jantung mereka bisa tidak sakit harus berdebar secepat ini setiap hari? Lelah melawan diri sendiri, aku memutuskan untuk mencari informasi mengenai apa yang terjadi padaku. Aku mengambil tabletku yang ada di tas ransel, lalu menyalakannya. Sama sekali tidak ada informasi tentang dampak buruk dari berciuman yang ada hubungannya dengan jantung. Justru bercium
~Delima~ Aku tidak tahu berapa lama lagi waktu yang aku miliki untuk membalas kebaikan Ben. Dia tidak hanya membantu aku dengan utangku, tetapi dia juga membantu orang tuaku merenovasi rumah mereka. Mama tidak berhenti bercerita mengenai hal-hal baru yang ada di rumahnya setiap kali aku atau dia menelepon. Bakti bahkan tidak pernah melakukan sesuatu untuk mereka. Memberinya sebuah acara kejutan pada hari ulang tahunnya hanyalah sebuah hadiah kecil. Jadi, aku ingin memberi dia sesuatu yang besar. Aku tahu bahwa yang aku lakukan ini sangat berisiko. Yang aku berikan kepadanya bisa saja menghancurkan diriku sendiri. Tetapi hanya ini yang bisa aku berikan. Dia tidak butuh barang atau uang, karena dia sudah memiliki segalanya. Suatu hari nanti dia akan menemukan wanita yang mencintai dia dan juga dia cintai. Aku mau dia tahu harus melakukan apa agar wanita itu mau terus berada di sisinya. Selama menikah dengan Bakti, aku mempelajari satu hal yang penting. Kata cinta saja tidak cukup, mel
Jerome melakukan yang terbaik yang dia bisa untuk mencegah siapa pun masuk ke bilikku dan merusak bukti yang ada. Aku dan Dhini berdiri di luar bilikku di sisinya untuk membantu dia menghalangi rekan-rekan kami yang ingin melihat uang tersebut. Begitu petugas keamanan datang, kami bertiga bergeser dan membiarkan mereka melakukan tugas mereka. Para karyawan berteriak agar aku ditangkap yang segera mendapatkan amarah dari Helen. Dia meminta mereka untuk kembali ke bilik masing-masing dan mulai bekerja. “Kalau kalian tidak segera kembali ke bilik kalian, kecuali Delima, kalian akan dipecat detik ini juga!” ancam Helen. “Hal ini termasuk untuk kalian juga, Dhini, Jerome. Kembali ke bilik kalian dan mulai bekerja.” Aku mendorong kedua rekanku untuk menuruti perintah manajer kami. Aku hanya bisa memeluk tubuhku sendiri melihat uang sebanyak itu diletakkan di dalam laciku. Petugas mengoleskan sesuatu di sekitar laci itu dan mengumpulkan semua sidik jari yang bisa mereka temukan. Uang itu m