Share

Bab 2

Irene berkata, "Kalau kamu terus memukulnya, dia akan meninggal."

"Terus kenapa?" tanya Michael sambil menunduk dan menatap Irene yang berusaha untuk berdiri dengan tatapannya yang dingin.

Irene tercengang. Pada saat ini, dia baru melihat pria ini dengan jelas.

Wajah pria ini sangat indah. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, semua bagian wajahnya sangat bagus. Namun, pada saat ini, ekspresi di wajah ini datar.

Sepasang mata yang tertutup oleh rambutnya berbentuk tajam. Pada saat ini, bahkan tatapannya tampak hampa, seakan-akan nyawa manusia sama sekali tidak berarti baginya. Dia tidak memedulikan nyawa orang lain, begitu pula dengan nyawanya sendiri!

Irene menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Nggak ada gunanya kamu berbuat dosa demi orang seperti ini."

Pria itu menatap Irene tanpa berbicara. Sesaat kemudian, dia melepaskan pegangannya. Steven hanya merasa seperti mendapatkan kembali nyawanya. Tanpa memedulikan wajahnya yang berlumuran darah, dia bergegas naik ke mobilnya dengan wanita tadi dan melarikan diri.

Di dalam mobil, Steven meringis kesakitan sambil berkata, "Aku akan cari orang untuk membuat bocah ini menyesal!"

Sedangkan wanita yang sedari tadi hanya diam itu tiba-tiba memicingkan matanya. Dia mengingat kembali mengapa dia merasa bahwa pria itu tampak familier.

Dulu, saat dia menghadiri sebuah jamuan, dia pernah melihat pria itu dari kejauhan. Pria itu adalah ....

"Itu Michael Yunata. Pria itu Michael Yunata!" seru wanita itu.

"Michael Yunata? Orang terkaya di Kota Cena? Mustahil!" kata Steven dengan ekspresi terkejut.

"Tapi ... dia benar-benar mirip dengan Michael Yunata," kata wanita itu dengan takut-takut.

Kedua orang itu pun saling bertatapan dengan wajah yang sama-sama pucat ....

...

Irene menatap pria di hadapannya sambil berkata dengan ragu-ragu, "Emm .... Terima kasih untuk tadi."

Pria itu tidak membalas ucapan Irene. Dia hanya berjalan ke satu sisi dan duduk bersandar di dinding.

Apakah orang ini ... tidak pulang? Cuaca saat ini sangat dingin. Pada malam hari, suhunya juga akan turun. Jika pria ini duduk semalaman di tempat ini, mungkin saja dia tidak akan bertahan hidup hingga besok pagi!

Sambil memikirkan bahwa pria ini menolongnya tadi, Irene pun melangkah menghampiri pria itu.

"Kamu nggak pulang? Apakah kamu punya nomor telepon keluargamu? Aku bisa membantumu menelepon mereka supaya mereka datang menjemputmu," kata Irene sambil berdiri di hadapan pria itu.

Pria itu mengangkat kepalanya secara perlahan. Kedua matanya yang tampak kosong juga menatap ke arah Irene, tetapi dia tetap saja tidak menjawab pertanyaan Irene.

Irene tiba-tiba merasa suasana di sekitar hening.

Dalam sekejap, dia seakan-akan melihat dirinya sendiri saat dia baru saja dijatuhi hukuman penjara.

Pada saat itu, segalanya suram baginya. Meskipun dia masih hidup, dia juga hanya hidup tanpa harapan.

"Kalau kamu nggak tahu mau pergi ke mana, kamu bisa pergi denganku," kata Irene.

...

Irene sama sekali tidak menyangka bahwa dia berani membawa seorang pria asing pulang ke rumahnya secara impulsif.

Dia mungkin melakukannya karena pria ini menyelamatkannya atau karena pria ini membuatnya seakan-akan melihat dirinya yang dulu.

"Ini tempat tinggalku. Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa tidur di matras di lantai," kata Irene.

Melihat pria itu masih saja tidak bersuara, Irene pun mengeluarkan handuk dan sikat gigi baru, lalu menyodorkannya pada pria itu.

"Kamu bisa mandi dulu, tapi aku nggak punya baju yang cocok untukmu. Jadi, jangan sampai bajumu basah, ya."

Setelah pria itu memasuki kamar mandi, Irene pun mulai membentangkan matras, lalu mengeluarkan selimut cadangan untuk pria itu.

Kamar kontrakan ini tidak besar, luasnya sekitar 10 meter persegi, dengan satu ruangan kecil dan kamar mandi pribadi.

Saat pria itu keluar dari kamar mandi, dia tetap mengenakan pakaiannya yang tadi. Namun, rambutnya basah, jelas terlihat bahwa dia baru keramas.

Melihat rambut pria itu yang masih basah, Irene mengambil sebuah handuk sambil berkata, "Bungkukkan badanmu."

Pria itu hanya menatapnya lekat-lekat.

"Aku hanya mau membantumu mengeringkan rambutmu, nggak ada maksud lain," kata Irene. "Kalau rambutmu nggak dikeringkan dengan baik, kamu bisa masuk angin."

Pria itu masih saja menatap Irene lekat-lekat. Sesaat kemudian, dia bertanya, "Apakah kamu begitu memedulikanku?"

Suaranya dingin, tetapi sangat enak didengar.

"Ya." Tanpa menghindari tatapan pria itu, Irene berkata, "Karena aku sudah membawamu pulang, aku nggak mau kamu jatuh sakit."

Bulu mata pria itu agak bergetar, lalu dia membungkukkan badannya.

Irene menutupi kepala pria itu dengan handuk dan mulai mengeringkan rambut pria itu sambil bertanya, "Siapa namamu?"

Setelah terdiam sesaat, pria itu akhirnya menjawab, "Mike."

"Mike." Irene melafalkan nama ini dan merasa bahwa nama ini seharusnya adalah sebuah nama panggilan. "Namaku Irene Linardo. Di mana kamu tinggal? Keluargamu?" tanya Irene.

"Aku nggak punya keluarga," jawab pria itu.

Gerakan Irene sontak terhenti. Apakah pria ini sendirian sehingga dia berkeliaran di jalanan?

Sedangkan Irene, meskipun dia memiliki keluarga, dia seperti tidak memiliki keluarga. Satu-satunya perbedaan antara mereka mungkin adalah Irene masih memiliki tempat tinggal yang disewanya ini.

"Kalau begitu, sepertinya kita sangat mirip," kata Irene sambil tersenyum getir, lalu dia terus membantu pria itu menyeka rambutnya.

Saat rambut pria itu sudah lumayan kering, Irene meletakkan handuk itu, mengambil sisir dan membantu pria itu menyisir rambutnya.

Saat rambutnya disisir ke belakang dan memperlihatkan keningnya, Irene menyadari bahwa pria ini sebenarnya lebih tampan daripada yang dia kira pada awalnya.

Tampilan wajahnya yang indah memiliki kedalaman tiga dimensi yang jarang dimiliki oleh orang Timur, terutama kedua matanya. Pada saat ini, matanya yang menatap Irene tidak sekosong sebelumnya, tetapi tampak penasaran.

"Apakah kamu lapar? Aku bisa menyiapkan makanan untukmu," kata Irene. Hari ini, saat dia menyapu jalan, dia tidak melihat pria ini makan.

Irene mengambil mi dan telur, lalu memasak semangkuk mi yang sederhana untuk pria ini dengan kompor listriknya.

"Makanlah, tapi jangan terlalu cepat, nanti lidahmu terbakar," kata Irene.

Pria itu menundukkan kepalanya dan memakan mi itu dalam diam.

Irene menatap pria itu tanpa berbicara. Entah mengapa, kesepian yang dia rasakan setiap dia kembali ke kamar kontrakan ini seperti menghilang. Apakah karena dia tidak sendirian?

Setelah pria itu menghabiskan makanannya, Irene bersih-bersih sebentar, lalu berkata, "Aku tidur dengan lampu dinyalakan, semoga kamu berkenan, ya."

Sejak Irene dibebaskan dari penjara, dia memiliki kebiasaan untuk tidur dengan lampu menyala.

Pria itu mengiakan ucapannya.

Irene berbaring di atas ranjang, sedangkan pria itu berbaring di matras yang sudah Irene persiapkan di lantai.

Irene memejamkan matanya dan berusaha untuk tidur. Entah sejak kapan, dia mulai merasa ketakutan untuk terlelap.

Karena begitu dia tertidur, dia selalu memimpikan kejadian selama tiga tahun itu. Ingatan yang menyakitkan itu membuatnya susah terlelap ....

Bahkan, sering sekali dia mengira bahwa dia akan meninggal di tempat yang berbau apak itu.

Namun, anehnya, dia malah tidur hingga langit terang dan sama sekali tidak mimpi buruk seperti biasanya.

Irene menatap sosok yang berbaring di lantai di sisi ranjangnya itu dengan heran.

Apakah hal ini berhubungan dengan pria itu? Apakah dia bisa tidur lelap karena dia tidak sendirian di kamar ini, melainkan didampingi ... oleh orang lain?

Dia tidak bisa menahan diri dari bangkit dan membungkukkan badannya. Secara impulsif, dia menyentuh wajah pria itu dan merasakan kehangatan di tangannya.

Pria ini asli, bukan imajinasinya. Semalam, dia benar-benar membawa pulang seseorang ke kamar kontrakannya.

Saat dia tersadar, dia menyadari bahwa pria ini sudah bangun entah sejak kapan. Sepasang matanya yang indah juga sedang menatap lekat-lekat pada Irene.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status