Savanah sungguh tak menyangka jika reaksi Storm akan seperti itu. Dia sendiri pun sampai terlonjak kedua bahunya akibat hantaman tangan besar Storm ke meja.
Lalu Savanah cepat-cepat mengetik lagi di ponselnya:
[Itu hanya dugaanku saja. Bisa saja itu terjadi karena ketidaksengajaan.]
Storm membaca lalu mengernyit lebih tak suka lagi. “Tidak sengaja bagaimana? Kamar Moreno itu ada di lantai tiga! Sedangkan di dekat teras adalah kamar kosong yang tak terpakai!”
Suara Storm masih terdengar gusar.
Tapi kata-katanya membuat Savanah mematung.
Benarkah? Itu hanyalah kamar kosong? Jika iya, berarti ...
Savanah mengetik lagi: [Berarti Milka memang sengaja?]
“Menurutku begitu. Huh, sangat kurang ajar! Kau tenang saja, Savanah, aku akan membuat perhitungan dengannya!”
Savanah: [Tidak perlu, Storm. Biarkan saja.]
“Bagaimana bisa biarkan saja? Sekarang kau adalah istriku. Tidak akan aku biarkan siapa pun mempermainkanmu!”
Savanah terpana melihat keseriusan wajah Storm. Baru kali ini dia merasa dibela seperti ini.
Walaupun dia tidak mengerti apa sebenarnya rencana Storm dan bagaimana Storm yang pengangguran akan mampu membalas keluarga Dyazz, tapi mendengar ucapan Storm ini tak dapat dipungkiri hati Savanah menghangat.
***
Ketika Savanah pun akhirnya selesai menyantap hidangan makan malamnya, Storm baru bangkit dan mengumpulkan piring-piring kotor ke wastafel.
Savanah gegas mengikuti untuk membantunya mencuci piring, tapi pria itu melarangnya. Dia menyuruh Savanah untuk menunggu di kamar saja.
Savanah pun pergi ke kamar. Begitu dia duduk di tepian ranjang, ponselnya berbunyi dan ternyata itu adalah pesan dari ibunya.
Savanah membalas pesan dari ibunya yang menanyakan bagaimana keadaannya?
Savanah membalas dengan ‘baik’ tanpa menceritakan bagaimana keadaan rumah Storm.
Baginya, keadaam rumah Storm lebih dari cukup untuknya. Yang terpenting lagi, pria itu ternyata sangat baik dan sangat memikirkan kenyamanannya.
Itu saja sudah membuat Savanah sangat bersyukur atas Storm.
Selesai berkirim pesan dengan ibunya, Savanah baru teringat bahwa besok dia harus masuk kerja sedangkan seluruh pakaiannya masih di koper dan koper miliknya berada di mansion keluarga Dyazz.
'Bagaimana ini? Tidak mungkin aku ke sana malam begini. Haduh! Kenapa aku melupakan koper ini sedari tadi?'
Tak mendapatkan jalan keluar, Savanah pun menghubungi Brianna.
Savanah: [Bri, bisakah besok saat ke cake shop kau membawakanku satu setel pakaian kerja? Koperku ada di rumah Moreno. Aku baru ingat sekarang.]
Jawaban dari sahabatnya itu datang dengan cepat.
Brianna: [Tentu saja! Aku akan membawakan satu setel untuk kau pakai. Tapi ngomong-ngomong, kalau kopermu dan seluruh bajumu ada di rumah mereka, lalu apa yang kau kenakan sekarang?
Tidak mungkin kau masih memakai gaun pengantinmu, kan? Atau jangan-jangan kau ... tidak memakai sehelai benang pun, dan sekarang masih di dalam selimut karena habis ehem-ehem?]
Brianna bahkan menambahkan emoticon tertawa lebar di akhir pesannya kepada Savanah itu.
Senyum masam menghias wajah Savanah.
Dia membalas dengan cepat.
Savanah: [Hei, jangan berpikiran kotor! Aku terpaksa meminjam baju Storm.]
Brianna: [Wow! Sungguh kalian pasangan yang romantis! Baru sah menikah sudah saling bertukaran baju.
Hmm, aku membayangkan kau mengenakan kemejanya yang kepanjangan lalu kau hanya mengenakan celana dalam saja dan pinggulmu saja tercetak jelas di bahan tipis kemeja putih milik Storm.
Dia mungkin bisa menerawang celana dalammu, Sav! Lalu ... kau memakai yang berenda atau polosan? Aku sarankan pakai yang tali tipis saja! Hahahaha.]
Savanah: [Hentikan khayalan kotormu, Bri! Yang kukenakan adalah kaos oblong. Tidak bisa diterawang. Panjangnya saja sampai ke lututku!]
Balasan dari Brianna kemudian hanyalah berubah emoticon tertawa lebar berderet sampai lima.
Setelahnya pesan baru lagi muncul.
[Ya, pokoknya kalau nanti kau sudah unboxing, kau harus menceritakannya padaku. Lengkap dan detil! Hahahha.]
Savanah pun tersenyum masam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya membaca pesan dari Briana yang tak jauh-jauh dari hal messum.
Lalu tiba-tiba saja terlihat baterai ponselnya yang sudah kritis. Savanah pun menghela napasnya lagi. Sekarang ada masalah baru lagi. Charger ponselnya pun ada di koper bajunya.
Pada akhirnya, Savanah meletakkan ponselnya di atas nakas sambil memikirkan bagaimana cara mengambil koper itu malam-malam begini.
'Kalau aku meminta tolong pada Storm, apa mungkin dia mau mengambilkannya? Dia sendiri saja sepertinya tak sudi menginjakkan kakinya ke mansion ayahnya itu. Bagaimana aku bisa meminta tolong padanya?'
Sedang berpikir keras, tiba-tiba saja terdengar bunyi derit pintu kamar. Begitu Savanah menoleh, Storm sudah berdiri menjulang tinggi di sana.
Tatapan Storm tertuju pada Savanah, begitu lekat, begitu mengikat dan seakan memakunya di sana.
Deg!
Jantung Savanah sampai meloncat kencang seketika itu juga. Semua karena tatapan Storm yang begitu menghipnotisnya.
'Ken- kenapa dia menatapku begitu?' tanya Savanah dalam hatinya.
Belum juga mendapatkan jawaban atas pertanyaan sederhananya itu, terlihat Storm sudah mulai melangkah ke arah tempat tidur. Lebih tepatnya, ke arah dirinya.
Tak ayal, jantung Savanah berdetak semakin kencang yang juga diiringi desiran aneh merambati sekujur tubuh lewat pembuluh darahnya.
Lalu ketika Storm mulai mencapai tempat dimana dirinya berada, Savanah baru teringat bahwa malam ini adalah ... malam pengantin mereka.
Savanah tiba-tiba merasa gugup. Jari jemarinya saling meremas di atas pangkuannya.
'Ja- jangan-jangan Storm ingin mengeklaim hak-nya sekarang juga? Aduh, bagaimana ini? Hati, pikiran, dan tubuhku sungguh belum siap!'
Savanah tiba-tiba merasa gugup. Jari jemarinya saling meremas di atas pangkuannya.
Pandangan matanya juga berkeliling kamar karena dia terlalu gugup untuk menatap ke arah Storm.
Sementara itu, Storm terus saja maju, mengamati Savanah dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Jari jemarinya yang saling meremas tertangkap pengamatan Storm membuat pria itu menyadari bahwa Savanah merasa cemas dan gugup.
Mungkinkah Savanah gugup karena ini adalah malam pengantin mereka?
Memikirkan itu, Storm pun berhenti tak jauh dari Savanah.
“Aku pikir kau sudah tidur.” Suara Storm begitu rendah dan entah sejak kapan Savanah merasa suara itu ... seksi.
'Seksi? Ah, yang benar saja? Sejak kapan pria berandalan seperti Storm memiliki suara yang seksi?
Aku pastilah sudah melantur. Ini gara-gara Brianna! Dia sudah meracuni pikiranku! Urgh, Brianna menyebalkan!'
Gadis berambut panjang berwarna dark brown itu menggeleng. Beberapa jumput rambutnya jatuh menutupi setengah wajahnya.
Di saat yang bersamaan, Storm mulai mendekatinya lagi. Tubuh tinggi besar pria itu membungkuk setengah dan mengarah makin mendekati Savanah.
Semua gerakan itu membuat Savanah bertambah gugup hingga dia hanya sanggup mematung di tempatnya, sambil menahan napasnya.
‘Ap- apakah Storm mau menciumku untuk memulai malam pengantin kami?
Oh, Tuhan, apa yang harus kulakukan jika Storm ingin meminta haknya malam ini? Aku masih belum siap.’
Deru napas Savanah kian tercekat bersamaan dengan Storm yang terus mendekat ke arahnya. Napas pria itu pun mulai menerpa pucuk rambut Savanah.
Itu semua membuat gadis itu semakin gugup. Jari jemarinya makin erat saling meremas.
Hingga kemudian ...
Storm ternyata ...
“Sekolah yang baik, ya!” Storm memeluk satu per satu anak-anak ketika mengantarkan mereka ke gerbang sekolah.“Dah, Daddy, dah Mommy! Dah Aspen! See you all!”Sky dan River menyahut ceria karena hari ini mereka diantar sekolah oleh daddy dan mommy bersama-sama. Rasanya senang sekali.Setelah kedua bocah itu tak terlihat lagi dari depan gerbang sekolah, Storm pun merangkul Savanah menuju mobil.Aspen berada di genggaman tangan Savanah.“Kita akan ke rumah baru. Oliver menunggu di sana.”Savanah mengangguk lalu tersenyum.Dengan mengikuti share loc dari Oliver, Storm melajukan mobilnya.Mereka berhenti di depan sebuah perumahan mewah yang memiliki keamanan tingkat tinggi di sana.Security terlihat berjaga di depan pos perumahan.Dan Oliver sudah menunggu di sana dengan mobilnya.“Ini bos saya,” kata Oliver pada security di sana.Mereka mengangguk lalu mempersilakan mobil Storm lewat.Savanah menatap kagum pada tempat itu. Setiap rumah yang mereka lewati terdapat beberapa lantai dan sang
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh