Storm ternyata hanya menyentuh helaian rambut Savanah yang turun dan menutupi sebagian wajahnya, untuk menyelipkannya ke belakang telinga Savanah.
‘Eh? Di- dia hanya berniat merapikan rambutku saja?’
Savanah pun mengangkat wajahnya penuh tanya. Terasa beberapa detik lamanya, Storm terpaku di wajah Savanah. Tanpa sadar, gadis itu merona malu.
Baru setelah itu, Storm menegakkan tubuhnya dan berdeham ringan.
Dia terlihat kikuk dan salah tingkah.
“Ehm! Sudah malam, kau tidurlah di tempat tidur. Seprai sudah kuganti yang baru. Aku akan tidur di sofa. Mengenai ... ehm ... malam pengantin kita ... aku rasa ... kau pasti belum siap, jadi aku tidak akan memaksamu selagi kau belum siap.”
‘Apa? Storm ingin menunda malam pengantin ini? Ini sungguh berkah luar biasa!’
Savanah sangat lega tidak perlu memulai malam pengantin bersama Storm malam ini. Setidaknya, dia memiliki waktu lebih banyak.
Setelah Savanah diam-diam mengembangkan senyumnya, dia baru menyadari bahwa Storm menunjuk sofa butut yang berada di belakang tubuhnya.
Savanah terkesiap. Storm mau tidur di sofa?
Jarinya sontak bergerak dengan cepat menyatakan kata-kata yang tak terucapkan olehnya.
'Kau mau tidur di sofa? Mana boleh begitu? Ini kan rumahmu, aku tidak masalah kalau harus berbagi tempat tidur denganmu. Lagipula, kita sudah suami istri sekarang ini. Eh tapi, aku memang belum siap untuk melakukan malam pengantin bersamamu.
Aku berterima kasih karena kau bersedia menangguhkan malam pengantin kita. Tapi sungguh, aku tidak apa-apa jika kau tidur di sebelahku.
Mana tega aku membiarkanmu tidur di sofa? Apalagi ukuran sofa standar begitu, sedangkan tubuhmu tingginya di atas rata-rata. Bisa-bisa besok pagi kau bangun tubuhmu pegal dan linu semua!'
Selesai Savanah berkata-kata lewat gerakan jarinya, Storm terlihat terkesima di tempatnya. Tatapannya terperangah mengunci wajah Savanah.
Savanah pun begitu menyadari keterpakuan Storm dan ikut terkesiap.
Jarinya berkata-kata lagi, tapi kali ini bukan menggunakan bahasa isyarat.
Dia hanya berkata secara sederhana lewat jarinya, menunjuk tempat tidur, lalu menunjuk Storm, lalu Savanah memberikan isyarat ‘OKE’ dengan tiga jari terakhirnya.
Storm akhirnya mengerti bahwa Savanah menyatakan bahwa tidak apa-apa jika dia ingin tidur di tempat tidur bersama-sama dengannya.
Wajahnya tiba-tiba mengencang. Lalu katanya pada Savanah, “Oh, ehm, tidak apa-apa aku di sofa saja. Aku takut kau terganggu dengan gerak tidurku.”
Selepas mengatakan itu, Storm keluar kamar. Savanah pun menghela napasnya.
Entahlah ... aura yang ditimbulkan Storm dengan berada di dekatnya sangatlah aneh. Dia jadi gugup, tapi juga penasaran.
'Fiiuuuuh ... pikir apa aku ini? Lebih baik aku tidur. Eh, tapi gimana dengan koperku? Apalagi charger pun ada di dalam koper. Tidak mungkin besok pergi kerja tanpa HP yang memadai.'
Teringat kebutuhannya yang mendesak, Savanah pun bergegas keluar, mengejar Storm.
***
“Kopermu di rumah mereka?” tanya Storm dengan mengernyitkan kedua alisnya.
Alis yang tebal dan menukik seperti samurai itu terlihat semakin menukik tajam saat memahami apa permintaan Savanah.
“Biar kuambilkan kalau begitu. Kau ... tunggulah di rumah. Tidak apa-apa kan sendirian? Aku tidak akan lama.”
Savanah ingin mengangguk. Tapi tiba-tiba saja angin dingin menerjang masuk lewat jendela yang masih terbuka meski tidak lagi lebar seperti saat siang hari.
Embusan angin dingin membuat bulu kuduk Savanah meremang dan tanpa sadar dia merinding.
Semua itu tertangkap penglihatan Storm. Pria itu pun akhirnya meletakkan tangannya di punggung Savanah dan berkata, “Ikut saja kalau begitu.”
Savanah pun mengangguk.
Dengan penerangan sinar rembulan yang minim, Storm menuntun Savanah melewati jalan setapak di sana menuju pekarangan belakang rumah ayahnya.
“Awas, sebelah sini semaknya tebal dan tajam,” kata Storm seraya menarik pergelangan tangan Savanah agar gadis itu bergeser sehingga terhindar dari semak belukar yang dikatakannya tadi.
Savanah menuruti begitu saja. Dia benar-benar buta jalanan di malam hari seperti ini.
Sungguh tak terbayangkan olehnya selama ini Storm bisa tahan tinggal di tempat seperti ini, sesepi ini, jauh dari perumahan yang lain, hanya seorang diri?
Savanah bergidik ngeri membayangkannya. Dia takkan tahan tinggal seorang diri di tempat seperti ini.
Setelah menghindari tajamnya semak belukar yang dikatakan Storm tadi, ternyata pegangan tangan Storm di pergelangan tangan Savanah tidak dia lepaskan.
Sisa perjalanan mereka pun dilalui dengan tangan Storm memegangi pergelangan tangan Savanah.
Heran bagi Savanah, semua itu menghadirkan rasa hangat.
Ketika akhirnya tiba di pekarangan belakang, penglihatan mereka jauh lebih baik karena ada banyak lampu di sekitar sana.
Storm terus menuntunnya hingga ke pintu belakang rumah itu.
Tok tok tok!
Strom mengetuk dengan kuat. Savanah sendiri terkejut akan suara ketukan Storm.
Bunyinya seakan mereka telah mengetuk berpuluh-puluh kali tapi tetap tidak ada yang membuka pintu.
Padahal, pada kenyataannya ketukan itu barulah yang pertama kali.
'Mungkin memang Storm seperti itu. Dia kan berandal.'
Savanah ikut menunggu tapi pintu tak juga terbuka.
Tok tok tok!
Storm kembali mengetuk dengan kekuatan yang sama seperti tadi.
Baru tiga detik tidak dibukakan, Storm mulai mengetuk lagi lebih brutal dari sebelumnya.
Dug dug dug dug dug dug dug dug dug!
Dua detik berdiam, dia kembali mengetuk dengan intens dan brutalnya.
Dan ternyata, pintu akhirnya dibuka dengan dua wajah pelayan yang terlihat dari balik pintu. Keduanya tampak cemas dan pucat.
Namun, tanpa berbelas kasih, Storm menyecar mereka, “Lama sekali kalian ini!”
Savanah cukup terkejut. Dia menoleh dan melihat pria itu ternyata melayangkan tatapn tajam nan sengit pada dua pelayan yang membukakan mereka pintu.
Lalu ...
Brak!
Storm menggebrak pintu dengan telapak tangannya. Jangankan pelayan, Savanah saja terkejut hingga kedua bahunya terlonjak. Begitupun dua pelayan yang membukakan pintu itu.
Mereka terlonjak hebat.
Lalu suara mengancam Storm terdengar lagi, “Aku datang mau mengambil koper istriku! Cepat ambilkan dan berikan kopernya padaku!”
“Sekolah yang baik, ya!” Storm memeluk satu per satu anak-anak ketika mengantarkan mereka ke gerbang sekolah.“Dah, Daddy, dah Mommy! Dah Aspen! See you all!”Sky dan River menyahut ceria karena hari ini mereka diantar sekolah oleh daddy dan mommy bersama-sama. Rasanya senang sekali.Setelah kedua bocah itu tak terlihat lagi dari depan gerbang sekolah, Storm pun merangkul Savanah menuju mobil.Aspen berada di genggaman tangan Savanah.“Kita akan ke rumah baru. Oliver menunggu di sana.”Savanah mengangguk lalu tersenyum.Dengan mengikuti share loc dari Oliver, Storm melajukan mobilnya.Mereka berhenti di depan sebuah perumahan mewah yang memiliki keamanan tingkat tinggi di sana.Security terlihat berjaga di depan pos perumahan.Dan Oliver sudah menunggu di sana dengan mobilnya.“Ini bos saya,” kata Oliver pada security di sana.Mereka mengangguk lalu mempersilakan mobil Storm lewat.Savanah menatap kagum pada tempat itu. Setiap rumah yang mereka lewati terdapat beberapa lantai dan sang
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh