Share

4. Keputusan Diva

Diva merasa dunia di sekitarnya hancur, seperti reruntuhan yang tak pernah bisa disatukan kembali. Dia terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, hatinya berat oleh rasa duka yang dalam, terus mengingat janin kecilnya yang telah tiada. Namun, suara dering telepon dari Daniel terus menggema, menciptakan kontras menyakitkan dengan perasaannya yang hancur.

"Halo! Diva, kamu di rumah, 'kan?" terdengar suara Daniel di ujung telepon, suara yang penuh dengan semangat dan tidak menyadari krisis yang tengah dialami oleh Diva. "Berkas pentingku ketinggalan di meja kamar, bisakah kamu mengantarkannya ke kantor baruku?"

Diva ingin menangis, berteriak mengungkapkan betapa hancur hatinya kehilangan calon buah hati. Namun, bisu membuatnya tak bisa berbicara, tak bisa mengungkapkan perasaannya. Hanya bisikan dalam hati yang menyayat, mengingatkan bahwa dia tak akan pernah bisa mengekspresikannya dengan kata-kata.

"Diva? Kenapa diam saja?" tanya Daniel, tanpa menyadari bahwa Diva meratap dalam keheningan yang memilukan.

"Ah, aku lupa bahwa kamu bisu," kata Daniel dengan nada agak kesal, sebagai tanggapan atas keheningan Diva. "Tentu saja aku tidak bisa mendengar suaramu."

Setiap kata yang diucapkan Daniel seolah menusuk hati Diva lebih dalam lagi. Dia merasakan kekosongan, perasaan tidak dihargai dan diabaikan. Saat Daniel terus bicara, Diva berusaha menahan air matanya yang ingin keluar, rasa kehilangan yang tak terungkapkan semakin menghancurkan dirinya.

"Begini saja, segera antarkan berkas yang ada di map biru itu, ya!" lanjut Daniel, semakin tak sabar. "Aku harus rapat dan berkas itu sangat penting. Kamu bisa, 'kan, Diva? Aku tunggu!"

Pip. Telepon pun dimatikan.

Dalam hati Diva mengeluh, 'Kamu pikir aku ini istrimu atau pembantumu? Kamu bahkan tidak menanyakan kabarku, apalagi peduli bahwa calon anakmu baru saja meninggal.'

Tanpa mempedulikan tentang berkas apalah itu, Diva menggulir layar ponselnya untuk mencari kontak Florin, mantan manajernya. Dia membutuhkannya untuk membantunya sesuatu.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, Florin lebih dulu mengirim pesan kepadanya.

"Meski aku sudah bukan manajermu, tapi kita pernah bekerja sama selama bertahun-tahun dan aku masih peduli padamu. Foto ini kuambil semalam saat hujan deras. Kamu harus tahu kelakuan asli suamimu yang brengsek ini. Sudah paham kan, kenapa dulu aku pernah melarangmu menerima cintanya? Dia adalah lelaki brengsek yang kelakuannya seperti iblis. You deserve better, Diva Aurora."

Jemari Diva menggenggam erat ponsel itu, hatinya terbakar amarah dan kebencian. Jika kemarin dia hanya mendengar suara, sekarang dia memiliki bukti visual. Di dalam foto itu terekam gambar Daniel, suaminya, sedang mencumbu mesra seorang wanita di kursi kantornya, dengan pakaian terlepas dari tempatnya.

Sekarang semuanya jelas.

Semuanya terbukti.

Daniel benar-benar mengkhianatinya!

'Dasar baj*ng*n!' Diva meraung di dalam hati.

Entah itu Radmila yang sudah menganiayanya, Daniel yang mengkhianatinya, atau Henry yang tidak pernah mempedulikannya, Diva membenci mereka semua sampai ke tulang.

'Anakku, beristirahatlah dengan tenang. Aku pasti akan membalas orang-orang yang sudah menyakitimu. Mereka tidak akan kubiarkan tidur nyenyak sebelum bersujud di pusaramu, Nak.' Diva bertekad dalam hati.

Perlahan, dia mengatur kembali isi hati dan pikirannya untuk menghadapi semua ini. Diva harus meneguhkan hatinya, Diva harus mengikhlaskan calon anaknya agar dia bisa pergi dengan tenang.

"Florin, tolong carikan kontak pengacara yang mumpuni!" tulis Diva pada kolom chat mereka.

Florin membalasnya tak lama kemudian, lengkap dengan kontak seorang pengacara. "Jadi sekarang rencanamu apa? Kau mau menggugatnya?"

Pertanyaan itu lantas menciptakan senyum miring di bibir Diva.

'Lihat saja nanti, apa yang akan aku lakukan setelah ini!'

***

'Aku mau cerai,' kata Diva sembari menyodorkan surat perceraian kepada Daniel.

Daniel terkejut dengan permintaan yang mendadak ini, "Apa kamu sudah gila?"

Diva menggeleng. Dia mengisyaratkan Daniel agar segera menandatangani surat itu.

"Kenapa? Apa hanya karena cincin lantas kamu minta cerai?"

Sebagai jawaban, Diva melemparkan sebuah amplop yang berisi foto-foto tak senonoh yang dia dapatkan dari Florin kemarin. Daniel membukanya dengan cepat dan sudut bibirnya berkedut ketika mengetahui isi foto tersebut.

Daniel tiba-tiba tertawa, "Diva, seharusnya kamu sadar diri. Aku melakukan ini semua karena kamu tidak bisa memuaskanku! Apakah salah bagi seorang laki-laki untuk mencari kepuasannya pada wanita lain saat istrinya tidak bisa melakukan itu?"

Sorot mata Diva mendingin ketika mendengar kalimat itu, tapi ia tidak membalasnya dan hanya diam memperhatikan Daniel yang sekarang sudah menatapnya tajam.

"Setelah semua ini, jangan salahkan aku, Diva! Aku akan menceraikanmu, tapi kamu tidak akan mendapatkan apapun dariku. Bahkan, mobilmu tidak bisa kamu bawa pergi karena mobil itu sudah jadi milik Mama."

Diva meradang dan hampir memuntahkan ketidaksetujuannya tatkala Radmila datang menyela, "Akhirnya kamu sadar diri juga, Diva. Kamu memang sudah tidak pantas untuk menjadi istri Daniel maupun menantu keluarga Benjamin. Cepat tandatangani surat perceraian itu, Daniel! Dan kamu Diva, segera angkat kaki dari rumah ini!"

Radmila berkata lagi, "Kamu tidak akan mendapatkan sepeserpun harta gono-gini atau aset apapun. Sekarang kemasi bajumu dan cepatlah pergi!"

Radmila menarik tangan Diva dan mendorongnya ke kamar, tepatnya di depan lemari. Dia bahkan membukakan pintu lemari dan mengeluarkan semua pakaian Diva untuk dilemparkan kepada perempuan itu. "Cepat pergi! Aku sudah muak sekali melihat wujud orang bisu sepertimu!" hinanya sebelum pergi sambil mengernyit jijik.

Diperlakukan bagai binatang tak lantas membuat Diva lemah. Itu hanya semakin mengobarkan semangat balas dendam di dalam hatinya. Dia berdiri dan membereskan pakaiannya dengan tenang.

Daniel masuk ke kamar sambil melemparkan barang-barang Diva yang lain. Dia baru saja akan pergi lagi ketika Diva menarik bagian bawah kaosnya. "Apa lagi?"

Diva memutari tubuhnya agar mereka berdiri berhadapan. Dengan berani, Diva menyelami kedalaman mata calon mantan suaminya itu.

'Aku ingin melakukan salam perpisahan.'

Tanpa peduli Daniel akan mengerti dengan ucapan tanpa suaranya atau tidak, Diva segera berjinjit dan mencondongkan kepalanya ke arah Daniel. Dia mencium bibirnya dengan segenap perasaan. Cinta, kerinduan, kemarahan, hingga kebencian yang selama ini terpendam dalam jiwa ia salurkan lewat lumatan yang menggairahkan.

Daniel membelalak kaget. Awalnya dia menolak dan hendak mendorong tubuh Diva, tapi Diva sangat agresif dan memahami kebutuhan Daniel lebih dari yang bisa ia bayangkan. Ciuman yang menggelora itu membuat darah Daniel mendidih, gejolak panasnya mengalir deras.

Daniel boleh saja berpaling dari Diva atau menganggapnya seperti sampah.

Tapi, Daniel tidak boleh lupa bahwa dia pernah sangat mencintai dan memuja Diva.

Dan selamanya akan begitu.

'Tidak ada yang boleh kamu cintai lebih dari aku. Setelah aku pergi, kamu tidak akan bahagia. Aku akan membuatmu menyesal!'

Perlahan, Daniel terlena dan menarik pinggang Diva mendekat. Seharusnya tidak seperti ini. Daniel tidak bisa bereaksi tanpa mendengar suara Diva.

Namun, Diva mengeluarkan suara.

Meski itu hanya berupa geraman lirih dari balik tenggorokan yang nyaris tidak bisa terdengar oleh telinga, tapi Daniel bisa merasakannya lewat tautan bibir mereka. Dan bagi Daniel Benjamin, hanya perlu satu suara saja sudah mampu membangunkannya.

Tengkuk ditarik dan ciuman diperdalam, Daniel sangat senang merasakan euforia yang sudah lama tidak didapatkannya, seperti anak kecil yang kembali menemukan mainan favoritnya. Tapi saat bibirnya mulai turun ke daerah lain, Diva menghentikan gerakannya dan menarik diri tanpa aba-aba. Meninggalkan Daniel dengan kekosongan yang menggulana. Hatinya berdegup kencang, bingung dengan tiba-tiba berakhirnya momen ini. Dalam tatapan mata Diva, ia melihat keteguhan saat mengatakan.

'Cukup sampai di sini. Selamat tinggal, Daniel Benjamin.'

***

Pintu Bugatti berwarna hitam metalik terbuka lebar, mengundang Diva untuk memasuki dunia yang kini tampak begitu asing baginya. Di kursi pengemudi, seorang pria tampan dengan setelan pakaian yang elegan menatapnya dengan senyuman tipis yang mencerminkan kepercayaan diri.

Melangkah menuju mobil, Diva merasa sedikit gugup. Dia sadar akan perbuatan sebelumnya, dan dia takut akan sulit diterima kembali. Namun, ketika dia melirik pria yang duduk di samping kursi pengemudi, wajahnya yang tenang dan tulus memberinya secercah harapan.

Pria itu menyalakan mesin mobil, dan kendaraan itu pun bergerak dengan mulus. Suasana dalam mobil terasa hening, tapi tegang dengan perasaan yang tak terucapkan.

Dia menoleh ke arah Diva, senyuman hangatnya menghilangkan sedikit dari rasa gugupnya.

"Apakah kamu takut untuk bertemu lagi dengan Om Jeff dan Tante Di?" tanyanya.

Nama-nama yang disebutkannya membuat Diva merasakan jeda sekejap dalam detak jantungnya. Ia menelan ludah, lalu mengangguk perlahan.

Dia menatapnya dengan pandangan penuh pengertian. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi jika kamu memiliki tekad untuk memperbaiki segalanya, aku yakin mereka akan melihatnya."

Saat mobil melaju dengan lancar di jalan yang tak terlalu padat, Diva merasakan sentuhan ketenangan dalam kata-katanya. Meskipun dia mungkin takut dengan reaksi keluarganya, ada semacam keyakinan yang bersemi di dalam dirinya.

Melalui jendela mobil, Diva memandangi pemandangan yang berlalu, mencoba untuk merangkai kalimat permohonan maaf yang akan dia katakan nanti. Di dalam mobil Bugatti yang mewah ini, dia merasa seperti sedang dalam perjalanan menuju kesempatan kedua dalam hidupnya.

"Sebentar lagi kita sampai. Apakah kamu sudah siap untuk kembali ke rumah, Diva?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status