Diva merasa dunia di sekitarnya hancur, seperti reruntuhan yang tak pernah bisa disatukan kembali. Dia terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, hatinya berat oleh rasa duka yang dalam, terus mengingat janin kecilnya yang telah tiada. Namun, suara dering telepon dari Daniel terus menggema, menciptakan kontras menyakitkan dengan perasaannya yang hancur.
"Halo! Diva, kamu di rumah, 'kan?" terdengar suara Daniel di ujung telepon, suara yang penuh dengan semangat dan tidak menyadari krisis yang tengah dialami oleh Diva. "Berkas pentingku ketinggalan di meja kamar, bisakah kamu mengantarkannya ke kantor baruku?"Diva ingin menangis, berteriak mengungkapkan betapa hancur hatinya kehilangan calon buah hati. Namun, bisu membuatnya tak bisa berbicara, tak bisa mengungkapkan perasaannya. Hanya bisikan dalam hati yang menyayat, mengingatkan bahwa dia tak akan pernah bisa mengekspresikannya dengan kata-kata."Diva? Kenapa diam saja?" tanya Daniel, tanpa menyadari bahwa Diva meratap dalam keheningan yang memilukan."Ah, aku lupa bahwa kamu bisu," kata Daniel dengan nada agak kesal, sebagai tanggapan atas keheningan Diva. "Tentu saja aku tidak bisa mendengar suaramu."Setiap kata yang diucapkan Daniel seolah menusuk hati Diva lebih dalam lagi. Dia merasakan kekosongan, perasaan tidak dihargai dan diabaikan. Saat Daniel terus bicara, Diva berusaha menahan air matanya yang ingin keluar, rasa kehilangan yang tak terungkapkan semakin menghancurkan dirinya."Begini saja, segera antarkan berkas yang ada di map biru itu, ya!" lanjut Daniel, semakin tak sabar. "Aku harus rapat dan berkas itu sangat penting. Kamu bisa, 'kan, Diva? Aku tunggu!"Pip. Telepon pun dimatikan.Dalam hati Diva mengeluh, 'Kamu pikir aku ini istrimu atau pembantumu? Kamu bahkan tidak menanyakan kabarku, apalagi peduli bahwa calon anakmu baru saja meninggal.'Tanpa mempedulikan tentang berkas apalah itu, Diva menggulir layar ponselnya untuk mencari kontak Florin, mantan manajernya. Dia membutuhkannya untuk membantunya sesuatu.Pucuk dicinta ulam pun tiba, Florin lebih dulu mengirim pesan kepadanya."Meski aku sudah bukan manajermu, tapi kita pernah bekerja sama selama bertahun-tahun dan aku masih peduli padamu. Foto ini kuambil semalam saat hujan deras. Kamu harus tahu kelakuan asli suamimu yang brengsek ini. Sudah paham kan, kenapa dulu aku pernah melarangmu menerima cintanya? Dia adalah lelaki brengsek yang kelakuannya seperti iblis. You deserve better, Diva Aurora."Jemari Diva menggenggam erat ponsel itu, hatinya terbakar amarah dan kebencian. Jika kemarin dia hanya mendengar suara, sekarang dia memiliki bukti visual. Di dalam foto itu terekam gambar Daniel, suaminya, sedang mencumbu mesra seorang wanita di kursi kantornya, dengan pakaian terlepas dari tempatnya.Sekarang semuanya jelas.Semuanya terbukti.Daniel benar-benar mengkhianatinya!'Dasar baj*ng*n!' Diva meraung di dalam hati.Entah itu Radmila yang sudah menganiayanya, Daniel yang mengkhianatinya, atau Henry yang tidak pernah mempedulikannya, Diva membenci mereka semua sampai ke tulang.'Anakku, beristirahatlah dengan tenang. Aku pasti akan membalas orang-orang yang sudah menyakitimu. Mereka tidak akan kubiarkan tidur nyenyak sebelum bersujud di pusaramu, Nak.' Diva bertekad dalam hati.Perlahan, dia mengatur kembali isi hati dan pikirannya untuk menghadapi semua ini. Diva harus meneguhkan hatinya, Diva harus mengikhlaskan calon anaknya agar dia bisa pergi dengan tenang."Florin, tolong carikan kontak pengacara yang mumpuni!" tulis Diva pada kolom chat mereka.Florin membalasnya tak lama kemudian, lengkap dengan kontak seorang pengacara. "Jadi sekarang rencanamu apa? Kau mau menggugatnya?"Pertanyaan itu lantas menciptakan senyum miring di bibir Diva.'Lihat saja nanti, apa yang akan aku lakukan setelah ini!'***'Aku mau cerai,' kata Diva sembari menyodorkan surat perceraian kepada Daniel.Daniel terkejut dengan permintaan yang mendadak ini, "Apa kamu sudah gila?"Diva menggeleng. Dia mengisyaratkan Daniel agar segera menandatangani surat itu."Kenapa? Apa hanya karena cincin lantas kamu minta cerai?"Sebagai jawaban, Diva melemparkan sebuah amplop yang berisi foto-foto tak senonoh yang dia dapatkan dari Florin kemarin. Daniel membukanya dengan cepat dan sudut bibirnya berkedut ketika mengetahui isi foto tersebut.Daniel tiba-tiba tertawa, "Diva, seharusnya kamu sadar diri. Aku melakukan ini semua karena kamu tidak bisa memuaskanku! Apakah salah bagi seorang laki-laki untuk mencari kepuasannya pada wanita lain saat istrinya tidak bisa melakukan itu?"Sorot mata Diva mendingin ketika mendengar kalimat itu, tapi ia tidak membalasnya dan hanya diam memperhatikan Daniel yang sekarang sudah menatapnya tajam."Setelah semua ini, jangan salahkan aku, Diva! Aku akan menceraikanmu, tapi kamu tidak akan mendapatkan apapun dariku. Bahkan, mobilmu tidak bisa kamu bawa pergi karena mobil itu sudah jadi milik Mama."Diva meradang dan hampir memuntahkan ketidaksetujuannya tatkala Radmila datang menyela, "Akhirnya kamu sadar diri juga, Diva. Kamu memang sudah tidak pantas untuk menjadi istri Daniel maupun menantu keluarga Benjamin. Cepat tandatangani surat perceraian itu, Daniel! Dan kamu Diva, segera angkat kaki dari rumah ini!"Radmila berkata lagi, "Kamu tidak akan mendapatkan sepeserpun harta gono-gini atau aset apapun. Sekarang kemasi bajumu dan cepatlah pergi!"Radmila menarik tangan Diva dan mendorongnya ke kamar, tepatnya di depan lemari. Dia bahkan membukakan pintu lemari dan mengeluarkan semua pakaian Diva untuk dilemparkan kepada perempuan itu. "Cepat pergi! Aku sudah muak sekali melihat wujud orang bisu sepertimu!" hinanya sebelum pergi sambil mengernyit jijik.Diperlakukan bagai binatang tak lantas membuat Diva lemah. Itu hanya semakin mengobarkan semangat balas dendam di dalam hatinya. Dia berdiri dan membereskan pakaiannya dengan tenang.Daniel masuk ke kamar sambil melemparkan barang-barang Diva yang lain. Dia baru saja akan pergi lagi ketika Diva menarik bagian bawah kaosnya. "Apa lagi?"Diva memutari tubuhnya agar mereka berdiri berhadapan. Dengan berani, Diva menyelami kedalaman mata calon mantan suaminya itu.'Aku ingin melakukan salam perpisahan.'Tanpa peduli Daniel akan mengerti dengan ucapan tanpa suaranya atau tidak, Diva segera berjinjit dan mencondongkan kepalanya ke arah Daniel. Dia mencium bibirnya dengan segenap perasaan. Cinta, kerinduan, kemarahan, hingga kebencian yang selama ini terpendam dalam jiwa ia salurkan lewat lumatan yang menggairahkan.Daniel membelalak kaget. Awalnya dia menolak dan hendak mendorong tubuh Diva, tapi Diva sangat agresif dan memahami kebutuhan Daniel lebih dari yang bisa ia bayangkan. Ciuman yang menggelora itu membuat darah Daniel mendidih, gejolak panasnya mengalir deras.Daniel boleh saja berpaling dari Diva atau menganggapnya seperti sampah.Tapi, Daniel tidak boleh lupa bahwa dia pernah sangat mencintai dan memuja Diva.Dan selamanya akan begitu.'Tidak ada yang boleh kamu cintai lebih dari aku. Setelah aku pergi, kamu tidak akan bahagia. Aku akan membuatmu menyesal!'Perlahan, Daniel terlena dan menarik pinggang Diva mendekat. Seharusnya tidak seperti ini. Daniel tidak bisa bereaksi tanpa mendengar suara Diva.Namun, Diva mengeluarkan suara.Meski itu hanya berupa geraman lirih dari balik tenggorokan yang nyaris tidak bisa terdengar oleh telinga, tapi Daniel bisa merasakannya lewat tautan bibir mereka. Dan bagi Daniel Benjamin, hanya perlu satu suara saja sudah mampu membangunkannya.Tengkuk ditarik dan ciuman diperdalam, Daniel sangat senang merasakan euforia yang sudah lama tidak didapatkannya, seperti anak kecil yang kembali menemukan mainan favoritnya. Tapi saat bibirnya mulai turun ke daerah lain, Diva menghentikan gerakannya dan menarik diri tanpa aba-aba. Meninggalkan Daniel dengan kekosongan yang menggulana. Hatinya berdegup kencang, bingung dengan tiba-tiba berakhirnya momen ini. Dalam tatapan mata Diva, ia melihat keteguhan saat mengatakan.'Cukup sampai di sini. Selamat tinggal, Daniel Benjamin.'***Pintu Bugatti berwarna hitam metalik terbuka lebar, mengundang Diva untuk memasuki dunia yang kini tampak begitu asing baginya. Di kursi pengemudi, seorang pria tampan dengan setelan pakaian yang elegan menatapnya dengan senyuman tipis yang mencerminkan kepercayaan diri.Melangkah menuju mobil, Diva merasa sedikit gugup. Dia sadar akan perbuatan sebelumnya, dan dia takut akan sulit diterima kembali. Namun, ketika dia melirik pria yang duduk di samping kursi pengemudi, wajahnya yang tenang dan tulus memberinya secercah harapan.Pria itu menyalakan mesin mobil, dan kendaraan itu pun bergerak dengan mulus. Suasana dalam mobil terasa hening, tapi tegang dengan perasaan yang tak terucapkan.Dia menoleh ke arah Diva, senyuman hangatnya menghilangkan sedikit dari rasa gugupnya."Apakah kamu takut untuk bertemu lagi dengan Om Jeff dan Tante Di?" tanyanya.Nama-nama yang disebutkannya membuat Diva merasakan jeda sekejap dalam detak jantungnya. Ia menelan ludah, lalu mengangguk perlahan.Dia menatapnya dengan pandangan penuh pengertian. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi jika kamu memiliki tekad untuk memperbaiki segalanya, aku yakin mereka akan melihatnya."Saat mobil melaju dengan lancar di jalan yang tak terlalu padat, Diva merasakan sentuhan ketenangan dalam kata-katanya. Meskipun dia mungkin takut dengan reaksi keluarganya, ada semacam keyakinan yang bersemi di dalam dirinya.Melalui jendela mobil, Diva memandangi pemandangan yang berlalu, mencoba untuk merangkai kalimat permohonan maaf yang akan dia katakan nanti. Di dalam mobil Bugatti yang mewah ini, dia merasa seperti sedang dalam perjalanan menuju kesempatan kedua dalam hidupnya."Sebentar lagi kita sampai. Apakah kamu sudah siap untuk kembali ke rumah, Diva?"Diva merentangkan pandangan ragu-ragu pada pintu besar rumah keluarga Sinclair. Hatinya berdegup kencang, mencampur aduk antara kerinduan dan kekhawatiran. Setelah lima tahun yang panjang, dia kembali ke tempat yang dulu dia tinggalkan dengan gegap gempita. Dia tahu, langkah ini adalah satu-satunya harapan untuk mengembalikan kehormatannya yang terluka.Pintu terbuka perlahan, dan di baliknya, sosok pria setengah baya yang selalu ia segani berdiri dengan ekspresi tak tertebak. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kenangan pahit kembali menghantam Diva. Dia melangkah maju dengan gemetar, menelan ludah."Kamu?" suara Jeffrey Sinclair keluar dari bibirnya dengan dingin. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih memiliki nyali untuk datang kesini?"Diva menahan air mata yang hampir tumpah. 'Aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku sudah menanggung akibatnya. Aku bisu sekarang. Daniel mengkhianati aku, dan aku tidak punya apa-apa lagi.'"Dan apa yang kamu harapkan dari
Setelah melewati proses panjang, Diva akhirnya mendapatkan kembali suara indah yang pernah menjadi identitasnya. Transplantasi pita suara yang dilakukan di rumah sakit luar negeri berkat koneksi dan dukungan finansial ayahnya berhasil mengembalikan suara yang hilang. Bagi Diva, kembalinya suara itu adalah seperti mendapatkan hidupnya kembali. Setiap nada yang keluar dari suaranya terasa sebagai kemenangan atas masa-masa sulit yang telah ia lewati.Tapi suaranya yang telah pulih tidak lantas menjadi alasan untuk merayakannya. Suara itu seolah membawa beban baru, tugas besar yang harus diemban. Diva merencanakan sebuah pertemuan dengan Arka, orang yang harus ia menangkan. Suara yang kini sudah kembali, menjadi alat yang ia gunakan untuk menghadapinya.Diva berdiri di depan gedung megah Bahureksa dengan langkah ragu. Ketinggian bangunan itu seakan sebanding dengan perasaannya yang campur aduk. Dia mengatur napasnya, mencoba untuk mengatasi kecemasan yang membuncah.Berjalan menuju meja re
Diva merasa campur aduk, harapannya mulai berkobar saat bertanya, "Apa kesepakatan itu?"Dalam detik-detik yang terasa berabad-abad, perasaan Diva berkecamuk. Hatinya berdesir akan harapan, tapi juga terjepit oleh kekhawatiran. Dia mengikuti setiap langkah Arka yang mendekat, tanpa sadar tubuhnya terus mundur hingga punggungnya menabrak dinding yang keras di belakangnya. Matanya yang terang bertemu dengan iris Arka yang gelap. Diva bisa merasakan intensitas ketegasan dan misteri dari setiap jengkal jarak di antara mereka. Langkah Arka baru berhenti ketika ujung sepatu mereka hanya terpisah oleh sehelai benang saja. Kedua tangan Arka berada dalam saku celana, dan ketika suaranya terucap, itu terdengar amat dingin. "Aku akan memberikan segala yang kau inginkan, dengan harga yang harus kau bayar menggunakan jiwa dan ragamu." Dengan rasa kaget, Diva menyadari bahwa harga itu tak ubahnya seperti memberikan seluruh eksistensinya pada Arka. Dia pun tak kuasa menyembunyikan rasa jijik pada k
"Astaga, sebentar lagi kita terlambat!" Yasa mengoceh kesal seraya menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai paling tinggi di gedung Bahureksa.Arka setengah mendengus. "Kita masih punya waktu. Santai saja."Yasa memberi komentar dengan nada pedas, "Santai? Kita hampir terlambat untuk pertemuan yang Tuan sendiri anggap sangat penting."Arka bergumam pelan, "Benar juga." Kemudian dia menoleh pada Yasa. "Lalu katakan padaku siapa yang sudah mengacau di sini?""Yang pertama adalah Tuan Muda Kedua.""Oh? Apa yang dia lakukan?"Yasa menghela napas pendek. "Dia mencuri pesawat yang sudah saya siapkan untuk Anda, dan menerbangkannya ke Makau.""Gizariel?" ulang Arka seakan tak percaya dia melakukan hal seperti itu. Yasa mengangguk membenarkan. "Memang sepintas sulit dipercaya bagi Mas Giza untuk bertindak di luar batas, tapi memang seperti itu kenyataannya."Arka terlihat merenungkan sesuatu sebelum berucap, "Aku percaya pada penilaian adikku. Dia bukanlah seseorang yang bertin
Rumah Arka menjulang megah di tengah kemewahan dan keanggunan. Terik matahari pagi menciptakan bayangan panjang yang menambah kesan kokoh pada bangunan itu. Seperti sebuah istana modern, rumah tersebut menjadikan setiap orang yang melihatnya terpana.Saat Diva memasuki gerbang utama, aroma harum bunga segar menyapanya dengan lembut. Kicauan burung-burung di taman depan seolah menciptakan senandung yang menyambut kedatangannya.Setapak pertama di dalam rumah menghantarnya ke ruang keluarga yang luas, lengkap dengan perabotan yang elegan dan nyaman. Sofa berwarna lembut ditempatkan di tengah ruangan, menghadap sebuah perapian marmer megah yang memberikan kehangatan visual.Rumah itu terasa begitu luas dan mewah, tetapi secara bersamaan juga kosong dan sepi. Diva merasakan seolah-olah dirinya terjebak dalam dunia yang asing baginya. Pelayan-pelayan yang berlalu lalang sepertinya lebih sibuk dengan tugas-tugas mereka masing-masing. Seakan-akan Diva adalah tamu yang tidak diharapkan.Sement
"Ini adalah hari pertama kita menjadi suami istri. Menurutmu apa yang ingin aku lakukan, Aurora?" Arka bertanya dengan nada yang begitu tenang, tetapi di dalamnya terdapat isyarat yang tak terbantahkan.Diva merasa jantungnya berdegup semakin cepat. Keringat dingin mengalir di punggungnya, dan dirinya terjebak dalam situasi yang sangat canggung. Dia ingin memberikan jawaban yang tepat, tetapi kata-kata terasa begitu sulit untuk keluar dari bibirnya."Tuan Arka, saya …," Diva merasa kata-kata terjepit di kerongkongannya, dan ia merasa jantungnya berdebar semakin keras. Dia merasa tertekan oleh sosok Arka yang berdiri begitu dekat dengannya. Aroma jeruk dan kayu yang menguar dari tubuh pria itu membuatnya sulit bernapas.Arka tersenyum tipis, meskipun Diva tidak bisa melihat ekspresinya dari arah yang sekarang. "Kenapa begitu canggung, Aurora?""Saya hanya ... tidak tahu apa yang harus saya lakukan," kata Diva dengan jujur, mengakui kebingungannya.Arka menimpali lagi, embusan napasnya
Di pagi hari menjelang siang yang cerah, ketika sang surya menggantung dengan percaya diri di langit biru, Diva duduk di kursi meja makan dengan mata yang kosong. Sebuah pertanyaan sederhana dari Arka telah menggiringnya ke dalam pertimbangan-pertimbangan yang rumit. Hidupnya, yang semula hanya terasa seperti lagu-lagu yang dinyanyikannya di atas panggung, kini terasa seperti sebuah permainan catur yang rumit. Diva mengingat betapa matanya dulu selalu bersinar di bawah sorot lampu panggung saat dia menyanyikan harmoni dan nada, saat suaranya terasa seperti sentuhan malaikat di telinga pendengarnya. Tapi kemudian, semuanya berubah.Diva tidak lagi menginginkan pekerjaan yang sejak dulu selalu menjadi mimpinya itu. Tidak sejak dia mengalami kegagalan total yang menyebabkan hilangnya nada-nada indah dari suaranya. Kegagalan yang membuat dia diminta turun dari atas panggung, disoraki dengan keras, dan ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang mengaku sebagai penggemarnya. Seperti bel
Perjalanan mereka menuju kantor Bahureksa terasa seperti dalam keadaan tegang. Diva mencoba mengendarai mobil dengan cepat, berusaha keras agar Arka tidak terlambat dalam rapatnya yang penting. Hanya beberapa menit lagi sebelum rapat dimulai, dan Diva merasa seolah-olah setiap detik sangat berharga.Arka duduk di samping Diva, tetapi ia hanya memperhatikan Diva tanpa berkata apa-apa. Tatapannya tajam dan penuh tekanan, memaksa Diva untuk berkendara dengan cepat. Diva merasa seperti sedang diuji, dan ketegangan semakin terasa saat jalanan mulai ramai.Dengan hati yang berdebar, Diva berusaha menjaga konsentrasi. Setiap lampu merah terasa seperti penghambat, dan Diva merasa takut ketika melihat Arka yang bersabar di sebelahnya. "Kami akan sampai tepat waktu," ucap Diva dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Tiba-tiba, telepon genggam Arka berdering lagi. Arka menjawabnya dengan cepat sambil tetap memandangi Diva. "Ya, Yasa, aku hampir sampai. Tolong persiapkan segalanya."Deng