Diva merentangkan pandangan ragu-ragu pada pintu besar rumah keluarga Sinclair. Hatinya berdegup kencang, mencampur aduk antara kerinduan dan kekhawatiran. Setelah lima tahun yang panjang, dia kembali ke tempat yang dulu dia tinggalkan dengan gegap gempita. Dia tahu, langkah ini adalah satu-satunya harapan untuk mengembalikan kehormatannya yang terluka.
Pintu terbuka perlahan, dan di baliknya, sosok pria setengah baya yang selalu ia segani berdiri dengan ekspresi tak tertebak. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kenangan pahit kembali menghantam Diva. Dia melangkah maju dengan gemetar, menelan ludah."Kamu?" suara Jeffrey Sinclair keluar dari bibirnya dengan dingin. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih memiliki nyali untuk datang kesini?"Diva menahan air mata yang hampir tumpah.'Aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku sudah menanggung akibatnya. Aku bisu sekarang. Daniel mengkhianati aku, dan aku tidak punya apa-apa lagi.'"Dan apa yang kamu harapkan dari kami?" tanya Jeffrey dengan nada sinis.Meski begitu, tinjunya diam-diam terkepal saat menyaksikan Diva terbata menjelaskan dengan bahasa isyarat. Putrinya yang dahulu riang kini tertutup senyuman getir, matanya yang dulu penuh semangat telah dipenuhi oleh lapisan kesedihan yang tak terhitung jumlahnya. Dan suaranya … suara yang dulunya menjadi favorit semua orang, juga lenyap tanpa jejak.'Maafkan aku, Pi. Aku bersedia melakukan apapun untuk membuktikan bahwa aku ingin menjadi bagian dari keluarga ini lagi.'Jeffrey tertawa kecil, seolah mencemooh. "Apakah kamu pikir permintaan maafmu akan menghapus semua yang telah terjadi?"'Tolong, Papi. Aku tahu aku telah mengecewakanmu. Tapi aku benar-benar membutuhkan bantuanmu sekarang.""Oh, kamu membutuhkan bantuanku? Setelah kamu menghilang tanpa jejak lima tahun yang lalu dan meninggalkan pertunanganmu dalam kekacauan?"Diva menjatuhkan dirinya di lantai, berlutut di kaki Jeffrey. 'Maafkan aku, Papi! Aku benar-benar menyesal!'"Kamu memang selalu berbakat dalam menciptakan drama, Diva! Sekarang apa yang kau inginkan dariku?""Aku ingin balas dendam pada keluarga Benjamin, dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan kembali menjadi bagian dari Sinclair."Jeffrey mengangkat alisnya. "Apa yang membuatmu yakin bahwa kami akan membantumu? Kamu sudah pernah merusak nama baik Sinclair."Diva menangis, bibirnya bergetar saat ia merasakan rasa menyesal yang begitu dalam. "Aku bersumpah, aku akan melakukan apapun yang Papi Mami mau untuk membuktikan bahwa aku ingin kembali menjadi bagian dari keluarga ini."Jeffrey tidak menjawab lagi. Barangkali sedang mempertimbangkan kata-kata Diva, atau memikirkan matang-matang keputusan apa yang akan dibuatnya."Kamu sungguh akan melakukan apapun?" Suara itu datang dari Diana Wirasasongko, ibunya, yang mendekat dengan mata memancarkan kehati-hatian dan ketidakpercayaan.Air mata masih mengalir di pipinya, dan Diva mengangguk cepat-cepat."Jika kamu ingin kembali menyandang nama belakang Sinclair, Mami punya satu syarat," ucap Diana dengan tegas, membuat Diva menoleh dengan mata penuh harap.'Apa, Mami? Apapun itu, aku akan melakukannya!'Diana memproyeksikan tatapan seorang ibu yang tak lagi bisa ditipu. "Kamu harus berhasil membujuk Arkais Sasrabahu agar mau melanjutkan pernikahan yang pernah kamu hancurkan lima tahun lalu."Diva terperangah, matanya melebar tak percaya. 'A-Arka? Itu tidak mungkin! Arka pasti membenciku setelah semua yang kulakukan. Bagaimana mungkin dia mau?'Jeffrey melangkah mendekat, menatap Diva dengan rasa getir yang masih membuncah di dadanya. "Itulah tugasmu, Diva. Kamu harus membuktikan kesungguhanmu untuk kembali ke keluarga Sinclair."Dengan hati yang berdebar, Diva merasakan api keputusasaan dan kemarahan membakar di dadanya. Bagaimana dia bisa membujuk Arka, orang yang pernah ia permalukan di masa lalu? Bagaimana dia bisa memohon maaf pada keluarga Sasrabahu yang pasti membencinya?"Ini adalah kesempatanmu membuktikan dirimu," lanjut Diana dengan tegas. "Jika kamu berhasil, bukan hanya Sinclair, tapi Wirasasongko juga akan memaafkanmu."Diva menatap ibunya dengan penuh keputusasaan, tetapi kemudian tekadnya menguat. Jika dia memiliki dukungan Sinclair dan Wirasasongko, maka balas dendam pada Benjamin bukanlah hal yang mustahil.Diva mengusap air matanya dan mengangguk mantap. 'Baiklah. Aku akan melakukannya. Aku akan membujuk Arka dan mendapatkan kembali kepercayaan keluarga Sasrabahu.'Jeffrey tersenyum tipis. "Itu dia, Diva. Itulah misimu sekarang. Buktikan kesungguhanmu untuk kembali menjadi putri kami."Diva menatap kedua orang tuanya dalam-dalam, 'Tapi sebelum itu, bisakah kalian membantuku memulihkan suaraku? Pemimpin Bahureksa pasti tidak sudi menerima wanita yang bisu sepertiku.'***Di sisi lain, dalam suasana yang terang dan hangat, Sania dan Daniel duduk berjejer di balkon hotel yang terhampar pemandangan indah kota. Daniel memandang jauh dengan senyuman terukir di bibirnya."Dani, kamu tahu, sejak kamu lepas dari ikatan pernikahan, kamu tampak lebih bebas dan hidup," ujar Sania dengan mata berbinar-binar, suaranya penuh dengan kegembiraan yang tak bisa dia sembunyikan.Daniel memandang Sania, mengangguk dengan lembut. "Ya, memang begitu."Sania mendekati Daniel dengan pandangan yang penuh godaan. "Aku merasa beruntung bisa berada di sini bersamamu sekarang. Kamu tahu, kamu terlihat lebih tampan sejak kamu duda."Daniel tertawa menanggapinya. Saat Sania mendekat dan mencoba untuk mencium bibirnya, Daniel seakan terdampar dalam angan. Dia membalas ciuman Sania dengan pelan, tapi di dalam benaknya, tiba-tiba ingatan ciuman terakhir Diva merebak.Saat bibir mereka bersentuhan, gambar Diva muncul di pikiran Daniel. Bayangan ciuman mereka yang pernah mereka bagi berdua. Bibir yang ia rindukan, aroma yang selalu ia ingat. Meski dia berusaha keras untuk fokus pada momen dengan Sania, tetapi pikirannya terus terbang ke masa lalu.Terdengar suara halus ketika Daniel menyentuh wajah Sania. Namun, dalam hatinya, ada ketidaksetujuan yang kuat. "Sania, maafkan aku, tetapi mungkin kita sebaiknya tidak perlu membicarakan tentang mantan istriku lagi."Sania menoleh, merasa sedikit terluka namun cepat bangkit dengan senyuman manis. "Baiklah, Dani. Jangan khawatir, saat ini kita harus menikmati quality time kita berdua."Sania meraih tangan Daniel, menariknya lebih dekat. Tapi ketika mereka semakin memperdalam ciuman, Daniel seolah masuk ke dalam dunia lain. Bibir Sania yang lembut dan manis terasa seperti mimpi, dan tanpa sadar, Daniel membanding-bandingkannya dengan bibir Diva.Dalam benaknya, suara kicauan burung dan geraman teredam Diva terdengar. Daniel merasakan perbedaan yang dalam antara ciuman Sania dan ciuman terakhir Diva. Meskipun dia mengakui bahwa Sania cantik dan menarik, namun Diva memiliki daya tarik yang tak tertandingi. Hanya satu hal yang terus terngiang di benaknya: suara Diva yang tak pernah bisa dia lupakan.Setelah momen berlalu, Sania merasa ada sesuatu yang aneh. Dia merasakan perubahan dalam tatapan dan ekspresi Daniel. "Dani, apa yang sedang mengganggumu?"Daniel tersenyum palsu, mencoba meredam kekacauan dalam dirinya. "Tidak ada, Sania. Ayo lanjutkan permainan kita."Saat Diva mendongakkan kepala, yang dia temukan adalah Daniel. Pria itu adalah pelaku yang mencengkeran tangannya dengan erat. "Apa yang Anda lakukan, Pak Daniel?" protes Diva menurunkan intonasi suaranya. Merasa khawatir jika suaranya akan menarik perhatian orang lain. Terlebih mereka masih berada di depan ruangan Giza.Tanpa menjawab pertanyaan Diva, Daniel menarik tangan Diva untuk menjauhi ruangan Giza. "Ikut aku."Tetapi sebelum dia sempat melangkah, Diva menahan tubuhnya sendiri hingga Daniel menoleh padanya. "Apa kau ingin kita menjadi tontonan para karyawan? Ayo bicara di tempat yang lebih nyaman."Diva melepaskan tangannya dari cengkeraman Daniel dengan sedikit paksaan. "Saya tidak punya waktu untuk berbicara dengan Anda." Ditatapnya mantan suaminya itu dengan penuh peringatan, "Saya juga bukan orang yang bisa Anda sentuh secara sembarang. Permisi."Diva melenggang dengan cepat. Meninggalkan Daniel yang masih terpaku di tempat, merasa kesal karena Diva menolak ajakannya. Ta
Diva melangkah dengan percaya diri ke dalam ruangan Giza. Saat kakinya baru menjejak selangkah, ia dikejutkan dengan interior ruangan yang sangat bergaya artistik. Seluruh dinding dicat putih, tetapi setengah permukaannya dilukis dengan pemandangan lembah yang indah. Membuat Diva seperti masuk ke dalam pameran seni lukis terkenal. Giza, yang tengah duduk di meja yang terletak di tengah ruangan, seolah menjadi maskot dari karya seni yang diciptakannya."Selamat datang, Diva," Sambutan itu terdengar ramah, ringan, dan santai. "Silakan duduk."Diva buru-buru merespons sambutan Giza dengan sopan. "Terima kasih, Pak Giza." Dia duduk di kursi tamu yang berseberangan dengan kursi Giza. Mereka berdua dipisahkan oleh meja besar yang berisi tumpukan dokumen, sebuah laptop yang tengah menyala, dan juga papan nama persegi panjang bertuliskan nama lelaki di depannya.Gizariel Anthasena S.CEO of Escort Labels.Sayangnya huruf setelah S tidak bisa Diva baca, karena tertutup oleh tumpukan dokumen la
Setelah makan siang, Sania dan Daniel kembali ke ruangan kerja Daniel di lantai bagian BenStory. Ruangan itu memiliki nuansa yang tenang dan terorganisir dengan baik. Sania tampak cemas, matanya mencari jawaban atas keraguan yang mengganggunya."Daniel, aku benar-benar tidak nyaman dengan kehadiran Diva di perusahaan ini," ucap Sania dengan nada khawatir.Daniel mengerti perasaan Sania dan mencoba memberikan penjelasan. "Sania, kamu tahu 'kan bahwa pernikahanku dengan Diva selalu dirahasiakan dari publik? Itu adalah keputusan kami saat itu untuk melindungi karir Diva. Jadi tidak ada orang yang tahu bahwa kami pernah menikah dan sekarang sudah bercerai. Orang-orang hanya tahu bahwa hubungan kami sebatas mantan atasan dan artisnya. "Sania mengangguk, meskipun masih merasa tidak yakin. "Aku tahu dulu kamu mencintainya. Tapi apakah sekarang perasaan itu masih ada?"Daniel merasa perlu mengungkapkan perasaannya dengan jujur. "Sania, Diva adalah bagian dari masa laluku yang sudah berlalu.
Sebut saja Diva sebagai perempuan paling bodoh di bumi ini, karena di antara kecamuk dendam sengitnya, ternyata masih ada sekelumit perasaan cinta yang tersisa."Hai, semuanya. Boleh aku bergabung di sini?"Suara lembut itu datang dari seorang perempuan cantik yang tersenyum menyapa ketiga orang di meja makan tersebut."Sania?" Raut wajah Daniel berubah cerah dan senyumannya mekar ketika menarik kursi kosong di sebelahnya. "Ayo, duduklah di sini."Sania menatap dua orang lainnya, yaitu Diva dan Rani, meminta persetujuan.Diva dan Rani saling tatap sebelum Diva berdehem melonggarkan tenggorokannya. "Karena Pak Daniel sudah menarik kursi untuk Anda, tidak baik untuk membiarkannya tetap kosong."Diam-diam Rani menginjak ujung kaki Diva di bawah meja. Membuat Diva harus mengontrol ekspresi kesakitannya. Rani tersenyum sopan, "Silakan duduk, Miss Sania."Sania mengangguk kecil sebelum duduk di kursi sebelah Daniel. Dia berterima kasih pada Daniel, lalu mengarahkan perhatiannya ke Diva yang
"Aku seperti pernah melihatmu di suatu tempat, Diva. Tapi aku lupa di mana." Rani berkata sambil terus memandu Diva berjalan menuju ke kafetaria. Jam istirahat sudah tiba, jadi mereka memutuskan untuk makan siang bersama.Diva tersenyum simpul mendengar itu. "Sebenarnya sebelum aku bergabung di perusahaan ini, dulu aku pernah menjadi penyanyi selama beberapa tahun. Meski tidak terlalu terkenal, tapi aku pernah diundang di beberapa variety show televisi nasional. Mungkin kamu pernah melihatku saat itu.""Tunggu!" Rani memegang lengan Diva, menghentikan langkahnya. Ekspresinya terlihat cukup kaget. "Jadi Diva Aurora itu kamu?"Senyum Diva semakin terkembang diiringi anggukan."Omo! Aku tidak menyangka!" seru Rani seraya menutup mulutnya dramatis. "Maafkan aku! Sungguh, aku tidak menyadarinya sampai kamu mengatakannya.""Tidak apa-apa. Lagipula tidak semua orang mengenalku. Aku masih pemula dan biasa-biasa saja saat itu."Rani menggeleng, "Aku tidak setuju itu. Kamu itu luar biasa, Diva!
"Selamat, Diva. Kamu sudah diterima sebagai anggota tim Pengembangan dan Pemasaran Artis Escort yang baru. Sebagai ketua tim, saya dengan senang hati mengatakan bahwa prinsip tim kita adalah kerja sama dan kekeluargaan. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik!" ujar seorang laki-laki usia tiga puluhan seraya mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Diva.Diva membalas jabatan tangan itu dengan mantap seraya tersenyum tegas, "Terima kasih, Pak Wildan. Saya akan berusaha untuk menunjukkan kinerja terbaik saya agar tidak mengecewakan Anda dan seluruh tim."Wildan mengangguk puas. "Rani," panggilnya pada seorang wanita muda yang segera mendekat pada mereka. "Kamu temani Diva berkenalan dengan yang lain. Dan untuk Diva, karena ini hari pertama kamu, silakan beradaptasi pada lingkungan kerja di sini. Saya ada urusan, harus pergi dulu.""Baik, Pak." Diva dan Rani menjawab serentak.Rani mengulas senyum seraya mengulurkan tangan untuk berkenalan singkat. "Halo, Mbak. Aku Rani. Boleh kutahu