Share

8. Kesepakatan? Tepatnya Peraturan!

"Astaga, sebentar lagi kita terlambat!" Yasa mengoceh kesal seraya menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai paling tinggi di gedung Bahureksa.

Arka setengah mendengus. "Kita masih punya waktu. Santai saja."

Yasa memberi komentar dengan nada pedas, "Santai? Kita hampir terlambat untuk pertemuan yang Tuan sendiri anggap sangat penting."

Arka bergumam pelan, "Benar juga." Kemudian dia menoleh pada Yasa. "Lalu katakan padaku siapa yang sudah mengacau di sini?"

"Yang pertama adalah Tuan Muda Kedua."

"Oh? Apa yang dia lakukan?"

Yasa menghela napas pendek. "Dia mencuri pesawat yang sudah saya siapkan untuk Anda, dan menerbangkannya ke Makau."

"Gizariel?" ulang Arka seakan tak percaya dia melakukan hal seperti itu.

Yasa mengangguk membenarkan. "Memang sepintas sulit dipercaya bagi Mas Giza untuk bertindak di luar batas, tapi memang seperti itu kenyataannya."

Arka terlihat merenungkan sesuatu sebelum berucap, "Aku percaya pada penilaian adikku. Dia bukanlah seseorang yang bertindak tanpa berpikir lebih dahulu. Mungkin terjadi sesuatu di kantornya, pantau saja informasinya."

Yasa menggangguk lagi, "Baik."

"Lalu yang kedua?" Arka bertanya lagi, mengembalikan ke topik sebelumnya.

Yasa tanpa ragu-ragu menjawab, "Seandainya Tuan tidak terlalu lama berbicara dengan Nona Diva, mungkin pesawat kita tidak akan sempat diculik oleh Mas Giza."

"Itu hanya 10 menit, Yasa Yuvaraja."

"Benar-benar 10 menit yang berharga, Tuan."

Yasa mengelap peluh yang menetes di dahinya, mengubah seluruh rencana perjalanan dan jadwal yang tiba-tiba kacau ternyata cukup memompa adrenalinnya. "Beruntung, fasilitas hanggar dan helipad yang telah diusulkan oleh Anda tahun lalu telah tersedia di gedung ini. Jadi saya tidak terlalu bingung mencari alternatif transportasi yang bisa mengantarkan kita tepat waktu."

Meskipun begitu, Arka tetap tidak luput dari ocehan Yasa yang tak henti mengingatkannya tentang pentingnya waktu. Hubungan mereka sebagai majikan dan bawahan diatur oleh formalitas pekerjaan, tapi sebenarnya Arka dan Yasa bisa dikatakan cukup dekat sebagai teman. Saat keduanya berada dalam lingkungan pribadi, Yasa sering melonggarkan formalitasnya dan berbicara dengan santai, tanpa ada rasa takut akan dipecat. Sambil berjalan keluar dari lift, Arka menanggapi keluhan Yasa dengan tawa kecil.

Melihat itu, Yasa tak tahan untuk tidak berkomentar, "Lihatlah, Tuan. Jika Anda ingin tertawa, tidak ada salahnya. Tidak perlu lagi berperan menjadi pria angkuh dan dingin sekarang, bukan? Nona Diva tidak ada lagi di sini."

Arka menatap asisten pribadinya dengan tatapan datar. "Apa maksudmu, Yas?"

Yasa menjawab, "Anda lebih santai saat dia tidak ada, Tuan."

Arka hanya tersenyum samar. "Apakah kau berpikir aku bersandiwara?"

"Entahlah, Tuan. Yang pasti, apa yang sesungguhnya sedang dilakukan Tuan, hanya Anda yang tahu. ," jawab Yasa sambil tersenyum. "Bahkan saya, yang memiliki kemampuan membaca situasi dengan baik, tidak bisa memastikan sepenuhnya apa isi kepala Tuan. Tetapi, setidaknya saya sudah terbiasa dengan pola pikir Anda."

Arka menoleh ke arah Yasa dengan pandangan serius. "Yasa, kau tahu apa yang ada di pikiranku sekarang?"

Yasa menggeleng, tersenyum, "Itu adalah misteri yang hanya Anda yang tahu."

"Lalu bagaimana dengan Diva? Apa kau tahu apa yang ada di dalam pikirannya?"

Yasa tersenyum, "Bagian itu cukup rumit, Tuan. Tapi saya sudah tahu bagaimana harus berhadapan dengannya."

Arka hanya tertawa singkat, pandangannya melayang ke langit yang terbentang. Mereka telah sampai di atap gedung Bahureksa, di mana helikopter yang telah siap terbang terparkir dengan anggun di tengah-tengah helipad.

"Begitu lama Anda tak melihatnya, tapi sepertinya kehadirannya telah mengubah cukup banyak dalam dirimu, Tuan," ucap Yasa dengan hati-hati.

Arka berseloroh ringan, tak berniat mengungkapkan hal itu lebih lanjut. Perbincangan mereka terputus ketika Arka naik ke helikopter dan mendaratkan tubuhnya di kursi penumpang. Setelah selesai memasang sabuk pengaman, dia memberikan instruksi baru kepada Yasa. "Dokumen dan peraturan itu, kau yang urus."

Saat itulah Yasa kembali ke mode serius lagi, "Anda ingin saya menyusun peraturan pernikahan dengan Nona Diva?"

Arka mengangguk, "Ya. Aku ingin semuanya serinci mungkin. Apa saja yang aku lakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi, makanan kesukaan, hingga kebiasaan unik. Semuanya harus ditulis dan dipatuhi."

Yasa hanya mengangguk paham. "Tentu, Tuan. Saya akan membuatnya sebaik mungkin."

Sambil mempelajari berkas yang akan dibahas di pertemuan nanti, Arka tersenyum tipis. "Aku tidak sabar ingin melihat apakah dia masih bisa bersikap sombong setelah membaca semua itu."

Yasa hanya tersenyum, tetapi dalam hati, dia tahu bahwa kehidupan Diva tidak akan pernah sama lagi setelah semua ini.

***

Diva sudah tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan Arka. Lagipula ia sendiri sudah menawarkan diri, ditambah dengan keluarganya yang 'menjual' Diva kepada Arka sebagai bayaran atas bantuannya kepada Sinclair Group tidak membantu apapun, hanya semakin menambah banyaknya harga diri Diva yang hilang terinjak-injak. Untuk itulah dia tetap datang ke kantor Bahureksa keesokan lusa, dan langsung menuju ke ruangan Arka.

Pintu ruangan terbuka, dan tampaklah Yasa yang sudah menunggu di dalam. Dia memberikan senyuman sopan saat Diva masuk. "Selamat pagi, Nona Diva."

"Selamat pagi, Yasa. Bagaimana kabarmu?" Diva mencoba menjaga kepolosannya meski dalam hatinya merasa takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Begitu-begitu saja. Silakan duduk," kata Yasa, menunjuk ke kursi di depan meja besar di ruangan mewah itu.

Diva duduk dengan tegang, merasakan sensasi gugup meski tidak ada Arka di ruangan itu. Setelah beberapa percakapan basa-basi, Yasa akhirnya memberikan dokumen yang telah dipersiapkan.

"Saya telah menyusun perjanjian pernikahan ini atas permintaan Tuan Arka," jelas Yasa seraya menggeserkan kertas-kertas tersebut ke arah Diva.

Diva mengambil dokumen itu dan mulai membacanya. Tatapan matanya melintasi baris-baris kata, dan semakin jauh ia membaca, semakin terkejut raut wajahnya.

"Ini ... Ini sungguh?" desis Diva, matanya membulat ketika menyadari esensinya.

Yasa mengangguk sambil tetap tersenyum. "Iya, Nona. Ini adalah petunjuk untuk memudahkan Anda mengenali preferensi dan kebiasaan Tuan."

Dengan ekspresi yang beralih antara kebingungan dan kegeraman, Diva menoleh pada Yasa. "Apakah aku menikah dengan seorang kaisar?"

Yasa tersenyum menghadapinya. "Bukan kaisar, Nona. Anda akan menjadi istri Tuan Arka."

Diva hampir menjatuhkan dokumen itu ke meja. "Tapi ini terlalu ...,"

Terlalu berlebihan!

Itulah yang ingin dikatakan Diva.

Bagaimana tidak? Dibanding perjanjian atau kesepakatan, isi dokumen ini tidak lebih dari seperangkat peraturan yang mengikat dan menekan.

[Aturan 1: Pelayanan Penuh Waktu]

Diva harus selalu siap melayani dan membantu Tuan Arka dalam segala hal, dari bangun tidur hingga tidur lagi. Ini termasuk membantu mengatur pakaian, memandikan, menyisir rambut, memberikan makan, dan hal lain yang sejenis.

[Aturan 2: Kebiasaan Pribadi]

Diva diwajibkan mencatat semua kebiasaan pribadi Tuan Arka, termasuk makanan kesukaan, waktu tidur, hingga kebiasaan unik lainnya. Tujuannya agar Diva dapat memenuhi semua kebutuhan Tuan Arka dengan tepat.

[Aturan 3: Keselamatan dan Kesehatan]

Diva harus memastikan bahwa semua makanan yang dikonsumsi Tuan Arka adalah makanan sehat dan bersih. Diva harus menghapal daftar bahan makanan berpotensi alergi. Diva juga harus siap dengan pertolongan pertama dalam situasi darurat.

[Aturan 4: Perilaku Sosial]

Diva diwajibkan untuk selalu mendampingi Tuan Arka dalam setiap acara atau pertemuan sosial. Dia harus siap memberikan dukungan dan menemani Tuan Arka kapan pun diperlukan. Dia juga diwajibkan menjaga reputasi Tuan Arka dimanapun dan kapanpun. Di rumah, Diva harus memanggil dengan sebutan "Tuan" pada Tuan Arka. Sedangkan di depan umum, Diva diizinkan memanggilnya "Mas" dan diwajibkan bersikap sebagaimana suami istri pada umumnya untuk menjaga nama baik masing-masing.

[Aturan 5: Hobi dan Kepentingan Pribadi]

Diva harus mengenal hobi-hobi dan minat pribadi Tuan Arka. Diva diharapkan ikut serta dalam aktivitas yang disukai Tuan Arka dan memberikan dukungan.

[Aturan 6: Kepatuhan dan Ketaatan]

Diva harus menuruti setiap perintah dan keinginan Tuan Arka dengan sepenuh hati. Diva diwajibkan untuk tidak bertentangan atau menentang keputusan Tuan Arka. Jika semua aturan dipatuhi, Tuan Arka tidak akan membiarkan Diva kekurangan apa pun.

[Aturan 7 ...]

Diva merasa ingin menjedotkan kepalanya ke meja saat membaca aturan-aturan tersebut. Apakah orang itu raja? Banyak sekali aturan yang harus diikutinya? Tapi Diva tahu ini adalah bagian dari kesepakatan yang harus dijalani.

Setelah membaca semua aturan, Diva mengangkat pandangannya. "Ini benar-benar detail sekali."

Yasa tersenyum. "Tuan Arka ingin memastikan bahwa semuanya berjalan lancar dan sesuai dengan keinginannya."

Diva menelan ludah. "Saya memahaminya."

Yasa mengambil secarik kertas lain dari meja dan menyodorkannya ke Diva. "Ini adalah dokumen pernikahan resmi antara Tuan Arka dan Nona Diva. Tinggal bubuhkan tanda tangan dan cap jempol Anda di bagian bawah."

Dengan perasaan yang campur aduk, Diva mengambil pena yang sudah disediakan. Tapi tiba-tiba ia terhenti.

"Saya ... saya butuh waktu sebentar," ucapnya gugup.

Yasa mengangguk mengerti. "Tentu, Nona Diva. Anda bisa memikirkannya dengan tenang."

Diva mengangkat pandangannya ke arah Yasa, lalu ke arah kursi mewah di seberang, tempat dimana biasanya Arka duduk. Perasaannya berkecamuk, antara kenyataan bahwa ini adalah langkah penting dalam hidupnya dan perasaan cemas akan keterikatan yang semakin dalam dengan Arka.

Dengan perasaan yang masih campur aduk, Diva menatap dokumen pernikahan dan aturan-aturan yang tertera di atasnya.

Diva merenung sejenak. Sudahlah, dia telah mengorbankan banyak hal. Harga dirinya telah tergadai, pun dengan seluruh sisa hidupnya. Dalam hati, dia memaksa dirinya untuk berani. "Saya akan menandatanganinya." Sedikit gemetar, Diva akhirnya menandatangani dokumen itu.

Selesai menyelesaikan semua urusan, Yasa mengajak Diva pergi.

"Kemana?" tanya Diva was-was.

"Mulai sekarang Anda akan tinggal di rumah Tuan Arka, Nona. Bawahan saya akan membantu memindahkan barang-barang Anda."

Sedikit terkejut, tapi dengan cepat ditutupinya. Diva mengikuti Yasa keluar dari ruangan dengan perasaan yang terombang-ambing antara rasa takut dan pasrah. Hati dan pikirannya begitu berat, merenungkan bagaimana hidupnya akan berubah setelah langkah-langkah ini.

"Saya yakin Tuan Arka sudah menunggu dengan sabar," kata Yasa seraya menutup pintu.

Apa yang akan menantinya di rumah Arka? Bagaimana hidupnya bersama pria yang penuh teka-teki ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status