"Mas akan membereskannya segera. Kamu jangan khawatir," ujar Royal dengan lembut."Tapi... Apa Mas baik-baik saja? Kalau belum selesai, sebaiknya diselesaikan dulu. Aku nggak mau merepotkan Mas Royal...." lanjut Jelita. Melepaskan tangannya yang tengah meraba wajahnya."Maafkan Mas karena membuatmu khawatir. Mas janji akan menemanimu sampai sembuh," ujar Royal sembari menatap lekat-lekat wajah istrinya."Bukan begitu maksudku....""Jadi kamu nggak mau aku temani?" Royal memotong ucapan Jelita.Wanita itu pun terlihat bingung. "Eh? Bukan begitu juga, Mas...." Jelita bingung sendiri.Royal tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya saat melihat kebingungan di wajah sang istri. Ia lalu memeluk Jelita dengan erat, merasakan hangatnya tubuh istrinya yang duduk di sampingnya. Kemudian dengan lembut, ia mencium kening Jelita, menanamkan perasaan kasih sayang yang mendalam pada satu-satunya wanita yang paling berharga di hidupnya. Namun, di balik kehangatan momen ini, pikiran Roy
Sementara itu, sehari setelahnya di negara lain, Jelita sedang melakukan pemulihan. Wanita itu sudah sadar dan kini duduk bersama sang ibu."Mah... Gimana?" tanya Jelita ketika sudah sadar sepenuhnya. Namun ia belum bisa langsung melihat dunia.Nilam mengusap lembut lengan putrinya. "Operasinya sukses, Lita. Selamat, ya?" ujarnya.Jelita terharu mendengarnya. "Ini semua juga karena dukungan Mamah dan Mas Royal. Makasih, ya....""Iya. Sekarang tinggal menunggu pemulihan. Dokter yang menanganimu akan terus memantau keadaan kamu," jawab Nilam kemudian.Jelita terdiam sejenak. "Lalu... Di mana Mas Royal? Apa masih di kantor?" tanya wanita muda itu lagi."Suami kamu masih ada di kantor."Jelita merasa sedikit sedih karena sejak ia sadar, suaminya tak berada di sampingnya. Namun wanita itu tak mengeluh. Ia tahu Royal pergi bukan karena tanpa alasan."Begitu, ya? Sekarang jam berapa, Mah?" Jelita kembali bertanya."Sekarang jam dua belas siang. Waktunya kamu makan siang, Lita," ujar Nilam."
Malam mulai larut, namun kamar mewah di lantai atas hotel itu masih terang benderang. Di dalamnya, Jeni berjalan mondar-mandir. Wajah cantiknya menegang, penuh dengan kegelisahan. Di tangannya, ponsel terus digenggam, menunggu kabar dari seseorang yang sangat dinantikan malam ini yaitu ibu kandungnya yang sudah lama tak berjumpa dengannya.Setelah beberapa menit yang terasa lama, akhirnya ponselnya bergetar. Gegas Jeni menilik siapa yang menghubunginya. Dan kedua matanya membulat saat membaca nama yang tertera di layar ponselnya."Akhirnya...."Jeni segera menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya."Mamah?" tanyanya."Jeni. Bagaimana? Kamu sudah berhasil?" Sang ibu malah balas bertanya."Mah. Aku sudah nggak bisa lagi kembali ke Indonesia. Pria bernama Royal itu sudah memburuku," jawab Jeni."Royal? Pria terkaya dan misterius di tiga provinsi besar itu?""Iya, Mah. Sekarang sudah tak aman lagi di Indonesia. Papah juga sudah tertangkap," jelasnya."Apa?! Papah tertangka
'Kenapa dia menghubungiku?' gumam Nilam dalam hati. Wanita itu menatap ke arah putrinya sebentar. Lalu kembali menatap pada layar ponselnya.[Jeni: Mamah di mana? Aku tahu Mamah baik-baik saja. Katakanlah Mamah di mana sekarang. Mamah harus ikut aku!]Pesan itu dari Jeni. Nilam mengepalkan tangannya dengan perasaan campur aduk. Ia kembali menoleh menatap Jelita. Saat itu juga pesan baru diterima.[Jeni: Mamah jangan pernah berharap sama Kak Lita. Dia sudah nggak ingat sama kita. Mamah juga sudah janji akan melakukan apa pun demi kebahagiaanku, kan?]Dada Nilam terasa sesak. Wanita itu kembali merasa bersalah. Ingatannya pun berputar pada masa lalu di mana memang Jeni lebih sering dimanjakan setelah kehadiran gadis itu. Jelita pun tak pernah mengeluh saat kedua orang tuanya lebih perhatian pada adiknya yang dulu terlahir lemah. Namun kini Nilam sadar bahwa apa yang ia lakukan salah. Seharusnya ia dan suaminya tak mengabaikan Jelita.Karena tak menjawab pesan dari putri bungsunya, Jeni
"Nyonya harus rileks, ya?" ujar dokter yang akan menangani operasi Jelita."Iya, Dok...." jawab wanita cantik itu sembari menarik napasnya.Jelita merasakan sebuah suntikan menembus kulitnya. Perlahan-lahan, kesadarannya pun mulai memudar. Dokter dan para perawat mulai menanganinya.Sementara itu di ruang tunggu operasi, Nilam duduk diam sembari terus berdoa. Menantunya tak dapat mendampingi putrinya pasti ada masalah. Di sampingnya, Bi Jum berdiri menemani."Ibu Nyonya, Anda sebaiknya istirahat terlebih dahulu," ujar wanita itu dengan sopan.Nilam menoleh ke arah asisten rumah tangga putrinya. "Bi Jum... Saya tidak apa-apa. Ke mari. Temani saya duduk," ujarnya sembari menepuk kursi di sebelahnya.Bi Jum menggeleng pelan. "Tidak, Ibu Nyonya, saya....""Kemarilah, Bi...." Nilam menarik tangan Bi Jum agar wanita itu duduk di sebelahnya.Bi Jum akhirnya duduk di sebelah Nilam. Sementara Nilam menggengam tangan wanita yang hampir seumuran dengannya."Bi... terima kasih karena selama ini B
Saat ini Royal tengah berbicara melalui sambungan telepon dengan asisten kepercayaannya."Lapor, Tuan. Jeni sudah terkonfirmasi berada di Thailand," jawab Zain.Royal mengepalkan kedua tangannya. "Kalau begitu cari sampai ketemu dan tangkap dia!" titahnya."Baik, Tuan.""Kamu bawalah beberapa anak buah bersamamu untuk mencarinya di Thailand. Sementara yang lainnya terus berada di sisiku dan Nyonya," tegas Royal lagi."Baik, Tuan. Tapi... Pak Reno....""Biarkan saja dia ditahan. Aku sudah meminta Pak Tom untuk mengurus kasusnya. Dia akan segera dijebloskan ke penjara untuk menerima ganjarannya!" ujar Royal lagi."Dia pasti sudah merencanakan ini sejak lama. Tidak mungkin dia bisa kabur ke luar negeri dalam satu malam saja...." gumam Royal kemudian."Benar, Tuan. Pak Reno... sudah mempersiapkan paspornya setelah dia membebaskan Jeni dari tahanan," jelas Zain."Kurang ajar!""Saya akan segera menangkapnya, Tuan. Kali ini saya tak akan membiarkannya lolos," ucap Zain sebelum menutup pangg