"Aku sudah membelimu, jadi jiwa dan tubuhmu adalah milikku." ~Royaldio. ________________________________ Setelah memergoki calon suaminya bertukar peluh dengan adik kandungnya sendiri, Jelita dijebak dan berakhir menghabiskan satu malam panas dengan seorang pria misterius. Saat dia kabur dari sang pria, dia malah mengalami kecelakaan dan berakhir buta. Tak hanya itu saja, dia dijual oleh keluarganya pada seorang pria misterius. Siapakah pria asing itu? Dan mengapa dia membeli Jelita yang buta?
View More"Kalian benar-benar keterlaluan!" bentak seorang gadis cantik dengan kedua mata berkaca-kaca.
Dia baru saja memergoki dan berhasil merekam calon suaminya yang sedang bercinta dengan adik kandungnya sendiri. "Kak… ini nggak seperti yang Kak Lita pikirkan…," ucap Jeni gelagapan. "Kamu keterlaluan, Jen! Aku nggak nyangka kamu rebut calon suami kakakmu sendiri!" hardik Jelita Maharani Wijaya. Niko Herlambang, yang disebut sebagai tunangan Jelita, segera turun dari tempat tidur, sementara Jeni buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut. Jelita memalingkan wajah, jijik melihat keduanya. "Lita, aku bisa jelasin ini semua…," kata Niko tergesa. Namun, Jelita sudah kepalang muak, dan langsung berkata, "Sudahlah, sekarang kita putus. Pernikahan kita batal!" Niko semakin panik, dia segera mendekati Jelita dan memohon, "Nggak, jangan batalin pernikahan kita. Aku benar-benar mencintaimu, tapi kali ini aku khilaf. Maafin aku, Lita." Perkataan itu membuat Jeni mengernyitkan dahi. Dia tidak percaya Niko akan berkata seperti itu, karena itu sangat bertolak belakang dengan apa yang pria itu katakan padanya. "Kak Niko?!" Namun, Niko tidak peduli. Dia hanya fokus pada Jelita yang kini justru menatapnya dengan dingin penuh amarah. "Aku tidak peduli," kata Jelita singkat, lalu menepis tangan Niko yang sejak tadi menggenggam tangannya. Jelita bergegas keluar dari apartemen kekasihnya dengan hati hancur. Niat memberi kejutan ulang tahun berubah menjadi mimpi buruk: memergoki tunangan dan adiknya sendiri berselingkuh. Jelita memilih melajukan mobilnya menuju Restoran Delima, tempat favoritnya. Duduk di pojok sambil menatap jalanan malam sambil meneguk minumannya untuk melepaskan kekesalan. Tapi tak lama, tubuhnya justru terasa panas dan aneh. "Kenapa panas banget…?" gumamnya, mengibaskan tangan. AC restoran masih menyala. Orang-orang terlihat biasa saja. Tapi tubuhnya terus panas, dadanya sesak. Jelita menatap minumannya dengan alis berkerut, lalu bergumam pelan, "Apa jangan-jangan?" Pandangannya beralih ke sekitarnya, mencari keberadaan pelayan yang tadi membawakan minuman itu untuknya. Namun, dia tidak menemukannya. Akhirnya, Jelita bangkit dengan tubuh lemas, melangkah gontai ke luar restoran, menahan rasa tak nyaman yang makin menjadi. "Ah, ini semua gara-gara Niko dan Jeni!" Bruk! Saat mencoba keluar dari restoran, Jelita justru menabrak seseorang. "Maaf... ughh…," gumamnya lemah ketika pria itu menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Dengan pandangan kabur, Jelita melihat sosok pria tinggi yang sedang menahan tubuhnya itu, seketika aroma maskulin yang menenangkan dari tubuh sang pria menyeruak ke hidung Jelita. Hal itu justru membuat Jelita semakin tak terkendali. "Tuan... Tolong aku... Ini panas sekali..." pinta Jelita seketika yang sedang dalam pengaruh obat afrodisiak. Dia semakin berani untuk memeluk tubuh pria itu. Sang pria mengernyit bingung, tetapi segera setelah itu dia menyadari sesuatu setelah melihat dua tahi lalat mencolok di leher Jelita. "Tuan … tolong …" pinta Jelita lagi karena tak kunjung mendapat jawaban. Tanpa banyak bicara, pria itu langsung membopong tubuh Jelita menuju hotel terdekat. Dalam perjalanan, Jelita terus meracau soal tubuhnya yang panas dan perselingkuhan calon suaminya dengan adiknya sendiri. Namun, pria itu sama sekali tidak merespon. Hingga sampai di hotel, pria itu langsung membaringkan Jelita dengan perlahan. Dia menatap Jelita lekat-lekat dari atas, seolah sedang menatap sosok yang memang telah lama dia cari. "Tuan … tolong ini sangat tidak nyaman," rengek Jelita lagi. Dia bahkan tanpa segan menarik ujung baju pria itu untuk menunduk dan lebih dekat dengannya. "Apa kamu yakin tidak akan menyesal meminta bantuanku?" tanya pria itu dengan senyum tipis. Jelita menggelengkan kepala, seolah benar-benar yakin dengan keputusannya. Dan tanpa basa-basi, semua terjadi begitu saja. Dan malam itu, saat Jelita telah jatuh dalam tidurnya, pria itu justru berdiri di depan jendela kamar hotel sambil menghubungi seseorang. "Aku sudah mengirim foto seseorang, cari tahu tentangnya," ucap pria itu. "Siapa wanita itu, Tuan?" tanya pria di seberang sana. Namun, pria itu justru berdecak pelan. "Cari tahu saja, jangan banyak tanya." Setelah itu, panggilan terputus. * "Ugh…" Jelita melenguh pelan, duduk sambil memegangi kepala yang berat. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Matanya menyapu kamar, kasur berantakan, pakaian berserakan… dan tubuhnya polos. Saat menoleh, ia terkejut melihat seorang pria tertidur membelakanginya, juga tanpa busana. Mata Jelita membesar. Napasnya tercekat. Ia hampir menjerit, tapi buru-buru membungkam mulutnya sendiri. Pandangannya jatuh pada bahu pria itu, ada bekas cakaran. Jelas itu ulahnya. Perasaan bersalah, takut, dan panik menyerbunya sekaligus. "Apa yang sudah kulakukan…?" bisiknya lirih. Dengan tangan gemetar, ia segera mengenakan pakaian dan melangkah keluar kamar, nyaris terhuyung. Di lorong hotel, Jelita berlari. Air mata tak terbendung, hatinya kalut. "Tuhan… kenapa ini harus terjadi padaku?" Jelita terus berlari meski pangkal pahanya masih nyeri. Ia kembali ke restoran untuk mengambil mobilnya. Tangannya gemetar hebat, kunci mobil beberapa kali jatuh. Bayangan pria tadi menghantuinya, membuat dadanya sesak. "Argh!" Ia membenturkan kepala ke kemudi, tangisnya pecah. Amarah dan sesal bercampur jadi satu. 'Ini semua karena Niko dan Jeni!' pikirnya kesal, mengingat jelas wajah adiknya di atas ranjang bersama calon suaminya sendiri. "Andai saja itu tidak terjadi, aku tidak akan berakhir seperti ini!" Beberapa menit berlalu. Ia memaksa dirinya tenang, menyalakan mobil, dan melaju meninggalkan restoran Delima dengan hati yang hancur. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama ayahnya muncul di layar. Seketika, tubuh Jelita kembali bergetar. Begitu panggilan telepon tersambung, sang ayah justru berkata, "Dasar anak kurang ajar! Bisa-bisanya kamu mencuri dana perusahaan dan membuat Keluarga Herlambang marah besar!" Jelita terkejut, tidak mengerti dengan apa yang dikatakan ayahnya. Dia pikir, ayahnya akan marah karena dia tidak pulang, tetapi ternyata bukan. "Pah… Papah bicara apa? Jelita nggak ngerti. Siapa yang curi dana perusahaan?" tanya Jelita kebingungan. "Jangan pura-pura bodoh kamu, Jelita! Cepat pulang dan bereskan masalah ini!" gertak Reno, ayah Jelita, lagi. Namun, tak lama suara lain terdengar. "Papah jangan marahi Kak Lita. Kak Lita nggak mungkin melakukan itu semua," sahut Jeni dengan suara lembut dan tangis yang menderu. "Jeni… kamu…." gumam Jelita tidak percaya dengan sandiwara yang dilakukan adiknya. "Dengar itu, Jelita! Adikmu mati-matian membelamu padahal jelas ini semua ulah kotormu! Kamu memang benar-benar anak tidak tahu diuntung, tidak seperti Jeni!" kata Reno dengan penuh amarah. Emosi Jelita semakin naik. Dia tidak tahu dengan urusan uang itu. Dan sekarang, setelah apa yang adiknya lakukan dengan calon suaminya, dia justru bersandiwara berpura-pura peduli padanya di depan orang tua mereka. Bahkan, sampai membuat ayahnya kembali membanding-bandingkan dirinya dengan Jeni. Jelita benar-benar tidak habis pikir. Dan ini semua, kemungkinan besar juga pasti ulah Niko dan Jeni untuk membuat Jelita bungkam soal perselingkuhan mereka. Namun, setelah ini Jelita akan langsung menyerahkan bukti perselingkuhan Jeni dan Niko. Dia tidak akan diam begitu saja. "Aku nggak melakukan itu, Pah! Aku akan membuktikannya!" geram Jelita lalu langsung memutuskan panggilan telepon itu. Fokus Jelita kembali beralih pada jalanan dengan emosi semakin mencuat. Namun, tak berselang lama, tiba-tiba suara klakson yang nyaring terdengar. TIINN! Jelita tersentak, sebuah mobil melaju cepat dari arah depan. Panik, ia membanting setir dan menginjak rem sekuat tenaga. Sreeeet! Brukk! Mobilnya menghantam pembatas jalan. Bagian depan ringsek, asap mengepul. Jelita terhempas, kepala terbentur keras. Darah mengalir dari pelipisnya. Kesadarannya mulai memudar. Beberapa warga berlarian, panik. Seseorang menelepon ambulans, sementara mobil lain yang nyaris menabraknya melesat pergi. Dengan napas tersengal dan pandangan buram, Jelita berbisik, "Sakit…." ***Malam itu terasa sunyi. Jelita terbaring lemas di atas ranjang besar yang empuk. Namun hatinya terombang-ambing dalam kegelisahan.Tanpa dia sadari, dari sudut gelap ruangan, sepasang mata mengamatinya dalam diam. Royal duduk tenang di kursi panjang, memegang tablet dengan cahaya remang yang memantul pada wajahnya yang dingin. Namun perhatiannya tak benar-benar tertuju pada laporan di tangannya. Ia hanya menunggu. Menunggu saat gadis itu sadar."Emmmhh ...." Jelita melenguh pelan, perlahan membuka matanya yang langsung disambut oleh kegelapan pekat."Kenapa aku masih nggak bisa melihat dunia ini…?" bisiknya lirih, hampir seperti rintihan.Suara itu membuat Royal menoleh ke arah ranjang."Kamu sudah bangun?" suara baritonnya memecah keheningan malam, membuat tubuh Jelita menegang seketika."Tu-Tuan?" Suara Jelita bergetar, tubuhnya terduduk panik, mencoba menjauhi arah suara.Langkah Royal mendekat, tenang dan lambat. Ia kemudian duduk di pinggir ranjang, tepat di samping Jelita."Kena
Suasana ruangan itu sunyi, mencekam, hanya terdengar deru pelan dari mesin pendingin udara yang menghembuskan udara dingin ke seluruh ruangan. Lampu gantung besar menggantung dari langit-langit menyinari ruang kerja dengan cahaya temaram, menciptakan kesan yang elegan dan juga mewah. Sementara lantai ruangan itu sama seperti ruangan yang lainnya yang terbuat dari marmer hitam mengkilap.Di tengah ruangan itu, seorang pria duduk tenang di kursi kulit hitam megah, membelakangi jendela tinggi yang tertutup tirai tebal. Siluetnya tampak tegas, dingin, memancarkan aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Setelan jas hitam yang membalut tubuh tingginya berpadu sempurna dengan kemeja abu-abu, membuatnya terlihat semakin misterius."Nona, silakan melangkah dua langkah ke depan." Suara Zain terdengar jelas namun pelan, membimbing Jelita dengan nada hati-hati.Jelita menelan ludah. Ia meremas roknya lebih erat. Tanpa tongkat bantunya, dia tentu saja kesulitan. Kemudian dia melangkah seperti yang d
Pagi itu, saat sarapan, Jelita kembali duduk sendirian. Tak ada yang membantu meski dia jelas kesulitan. Bahkan para asisten rumah tangga dilarang mendekat."Aku bantu ya, Kak?" ucap Jeni dengan senyum palsunya."Biarkan saja. Dia buta, bukan lumpuh," sahut Reno dingin.Jelita hanya menarik napas pelan. Tapi suasana berubah saat seorang ART masuk tergesa-gesa. "Maaf, Pak. Ada tamu.""Siapa?" tanya Reno."Namanya Pak Zain. Katanya ingin membicarakan urusan penting dengan Anda," jawab ART itu.Reno langsung beranjak ke ruang tamu. Di sana, seorang pria muda berjas rapi sudah duduk menunggunya."Selamat pagi, Pak Reno," sapa Zain sopan. "Langsung saja pada intinya, saya datang mewakili atasan saya untuk menyampaikan bahwa beliau setuju ingin membantu menyelesaikan krisis keuangan perusahaan Anda."Mata Reno membulat. "A-Anda serius?"Zain mengangguk. Dia adalah salah satu utusan dari seseorang yang paling berpengaruh dan disegani di kota tersebut."Tuan kami bersedia menutup semua kerugi
Satu minggu berlalu, Jelita masih memejamkan matanya di ruang ICU. Selama itu, hanya Nilam, sang ibu, yang selalu menemaninya. Sementara ayah, adik, dan calon suaminya, entah ke mana. "Eumhh…," lenguh Jelita pelan ketika akhirnya kesadarannya kembali, tetapi dia belum bisa membuka matanya dengan lebar. "Lita, anakku sayang, akhirnya kamu sadar!" seru Nilam yang saat itu sedang duduk di samping ranjang Jelita. Dia tampak begitu gembira melihat anaknya kembali membuka mata. "Mamah … Mamah di mana, kenapa ini gelap?" tanya Jelita lirih tangannya meraba-raba ke udara, sementara tubuhnya masih terbaring lemah. "Lita...." kata Nilam dengan isak tangis. Dia menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Lita kamu yang sabar ya, Nak. Dokter bilang, benturan di kepala kamu merusak saraf penglihatan kamu dan membuat kamu tidak bisa melihat lagi." Jelita terdiam, semua ini benar-benar terjadi bersamaan dalam waktu singkat. Masalah perselingkuhan itu belum selesai diurus, lalu timbul fitnah tent
"Kalian benar-benar keterlaluan!" bentak seorang gadis cantik dengan kedua mata berkaca-kaca. Dia baru saja memergoki dan berhasil merekam calon suaminya yang sedang bercinta dengan adik kandungnya sendiri. "Kak… ini nggak seperti yang Kak Lita pikirkan…," ucap Jeni gelagapan. "Kamu keterlaluan, Jen! Aku nggak nyangka kamu rebut calon suami kakakmu sendiri!" hardik Jelita Maharani Wijaya. Niko Herlambang, yang disebut sebagai tunangan Jelita, segera turun dari tempat tidur, sementara Jeni buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut. Jelita memalingkan wajah, jijik melihat keduanya. "Lita, aku bisa jelasin ini semua…," kata Niko tergesa. Namun, Jelita sudah kepalang muak, dan langsung berkata, "Sudahlah, sekarang kita putus. Pernikahan kita batal!" Niko semakin panik, dia segera mendekati Jelita dan memohon, "Nggak, jangan batalin pernikahan kita. Aku benar-benar mencintaimu, tapi kali ini aku khilaf. Maafin aku, Lita." Perkataan itu membuat Jeni mengernyitkan dahi. Dia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments