Sebelum pergi, pria itu mendengus dengan kesal. Membawa dua lembar uang yang tersisa dari dompet adiknya. “Terima kasih,” ucap wanita itu sembari menunduk dengan sopan. Sekali lagi, Leonard mencoba melihat yang terjadi pada wanita ini. Tapi tidak ada. Ia tidak bisa melihat bayangan apapun. Leonard akhirnya menyerah dan menunduk. Ia membantu wanita itu mengambil barang-barang yang terjatuh. Leonard sempat melihat kartu nama wanita itu. “Terima kasih,” ucap wanita itu sekali lagi. Wajahnya nampak berkeringat. Dengan rambut yang berantakan. Sepertinya kelelahan dengan bibir yang sedikit pucat. Wanita itu mendongak—menatap Leonard. Di saat itulah… Kedua mata mereka saling bertatap tapi tetap saja, Leonard tidak bisa melihat apapun. “Sekali lagi terima kasih sudah membantu saya,” ucap wanita itu lagi. Leonard mengangguk. “Siapa namamu?” tanyanya. “Ruby Marlowe Wren. Anda bisa memanggil saya Ruby.” Ruby tersenyum ramah. Satu kata yang terlintas. Cantik! Leon
Ruby terdiam. Kemudian menunduk dan tersenyum. Tertawa pelan sebelum mendongak. “Apa maksud anda?” tanyanya. Leonard melangkah mendekat. “Aku ingin menikahimu.” Ruby justru tertawa. “Anda terlalu mabuk.” “Anda pulanglah. Saya berterima kasih pada anda untuk hari ini. dan saya akan melupakan perkataan anda yang baru saja anda katakan.” Leonard memejamkan mata sebentar. “Jangan lupakan kata-kataku hari ini yang mengajakmu menikah.” “Aku memang mabuk, tapi aku masih cukup sadar.” Leonard menatap Ruby. “Aku akan menghubungimu nanti.” Leonard membalikkan badan dan pergi ke mobilnya. Meninggalkan Ruby yang tercengang di tempat. “Dia pasti gila.” Ruby menggeleng pelan. memutar tubuhnya dan berjalan ke apartemennya. Di sepanjang menaiki tangga—ia tidak bisa berhenti berpikir. Kenapa pria itu tiba-tiba mengajaknya menikah? Mau membayar hutang-hutangnya juga. Ruby menggeleng keras. Menepuk pipinya pelan. “Aku yakin dia sedang mabuk mangkanya berbicara omong kosong.”
Ada tiga pekerjaan yang dijalani oleh Ruby dalam sehari. Yang pertama adalah pelayan di sebuah restoran. Yang kedua adalah seorang barista. Yang ketiga adalah pelayan di klub. Pekerjaannya berputar dari jam 8 pagi sampai jam 3 subuh. Setiap hari ia hanya beristirahat selama 4 jam. Untuk apa bekerja begitu keras? Untuk membayar hutang kakaknya! sudah hampir 5 tahun bekerja keras tapi hutang kakaknya seakan semakin bertambah. Hari ini pukul 4 sore. Ia bertugas sebagai barista sampai pukul 10 malam. setelah itu jam 11 akan berangkat ke klub untuk bekerja lagi sampai pukul 3 subuh. Dunia memang terus berputar. begitupun dengan tubuhnya yang bekerja tiada henti. Seharusnya di usianya yang menginjak 24 tahun ini, ia lulus kuliah dan bekerja di kantor. Bersenang-senang dengan teman seusianya. Sayangnya, kehidupan normal itu hanyalah sebuah mimpi indah di malam hari saja. Ruby yang sibuk meracik minuman tidak sadar kalau seorang pria yang baru saja datang menatapnya begi
“Tolong….” Lirih Ruby dengan mata yang memanas. Tenggorokannya terasa kering. Takut. bagaimana jika Leonard adalah psikopat kaya raya nan tampan yang mengincar tubuhnya. Bagaimana jika tubuhnya dicabik dan dimutilasi dengan tragis. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kan? Maka, Ruby terus berpikiran buruk. “Aku hanya bercanda.” Leonard melepaskan jas kemejanya. Melonggarkan dasinya pelan. “Aku akan menjelaskannya padamu nanti setelah makan.” Leonard mengambil sendok dan garpu. Mulai menyuapkan steak itu ke dalam mulutnya. “Tidak ada racun sama sekali. kau bisa memakannya…” ucap Leonard tanpa memandang Ruby. Ia hanya fokus makan. Bersama wanita ini… Leonard tidak perlu menahan diri. Ia tidak perlu mengendalikan kekuatannya. Ia tidak melihat apapun. Ia tidak melihat apa yang tidak ingin ia lihat. Nyaman… Itulah yang bisa ia gambarkan saat bersama Ruby. Meskipun sedikit menyebalkan karena wanita itu menuduhnya sembarangan. Ruby menatap sekitar. ada
Ruby butuh waktu. Ia bilang pada Leonard akan memikirkan tawaran pria itu selama satu minggu. Ruby berkacak pinggang. Ini sudah hari yang ke-tiga. Ia masih belum bisa mengambil keputusan. Tidak ada orang yang bisa diajaknya berbicara. Ruby mengintip ibunya yang masih berada di dapur. Setiap hari bekerja keras membuat roti. Semua itu dilakukannya untuk membayar hutang sialan kakaknya yang tidak kunjung habis. Ruby merapikan tempat tidurnya—hari ini ia akan tidur cepat sebelum besok kembali berpikir. Tidak mungkin kan bilang pada ibunya jika ada pria yang mengajaknya menikah kontrak. Bisa-bisa punggungnya dipukul sampai berdarah. BRAK! BRAK! BRAK! Ruby segera keluar dari kamarnya. saling bertatapan dengan ibunya sebelum suara memanggil itu terdengar. “Keluar kau Michael. Keluar kau bajingan!” teriak dari luar. Ruby memegangi ibunya dan mereka akhirnya membuka pintu. Ada lima pria yang berada di hadapan mereka. “Di mana Michael?” tanya salah satu dari merek
wajah yang semula mulus malah terapat bekas tamparan. Bibir yang biasanya tersenyum dengan cerah kini terlihat tertekuk. Tidak lupa dengan plester di beberapa titik wajahnya. Ruby begitu lelah—meski dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, Ruby tetap menjalani harinya seperti biasa. Kali ini ia terakhir. Ia harus bekerja di klub. Setelah itu pulang untuk beristirahat. “Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Ana. Ana mengernyit—menggeleng pelan melihat wajah Ruby lebam. Berantakan! Ruby hanya tersenyum tipis. “aku terjatuh.” Ana berdecih. “Kau pikir aku percaya?” tanyanya. “Jelas sekali kalau pipimi itu ditampar. Sampai bibirmu sobek.” Ruby tertawa pelan. “Kau salah.” “Aku baik-baik saja. aku hanya terjatuh.” Ruby mengedipkan salah satu matanya. “Tidak usah kawatir.” Ruby hanya menganggap Ana teman kerja. Tidak lebih. Lagipula sedari dulu ia menjaga batasannya dengan orang-orang. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan orang. Karena itu melelahkan. Ruby membawa na
Ruby pergi. Setidaknya ia bisa pergi tanpa harus bertengkar dengan wanita itu. Leonard menghela napas kesal. Ia memijit keningnya pusing. Sedangkan tiga temannya saling menatap dan tersenyum penuh arti. Daniel memberikan jempol pada Garry. Garry mengangguk dengan bangga. Sedangkan Riku menatap kedua dengan heran sembari menggeleng. Garry mengusir dua wanita yang berada di ruangan itu. Semua itu memang rencananya! Untuk temannya kan. Demi temannya mendapatkan cinta sejati. Ia rela membuat skenario agar Ruby datang ke ruangan. rencananya hanya mempertemukan Leonard dengan Ruby. Tapi ternyata, kejadiannya begitu cepat dan menjadi lebih menarik. “Ini perbuatanmu?” tanya Leonard menatap Garry tajam. Garry menggeleng. “Tidak!” balasnya. Leonard menyipitkan mata. menatap temannya dengan curiga. Garry melotot. “Jangan menuduhku!” “Pergilah. Kejar Ruby. Kenapa kau malah di sini?!” Garry mengusir Leonard. Leonard menatap pintu—Ruby pasti sudah pergi. “Bergeraklah
Ruby mengerjap. jarak mereka sungguh dekat. Ia ia mengalihkan pandangannya ditatap begitu intens seperti ini. “Ruby,” panggil Leonard lagi. Kali ini membawa dagu Ruby sedikit ke atas. Kedua bola mata mereka saling menatap. Tapi lagi-lagi Leonard bertanya—ada apa dengan diri perempuan ini. Kenapa kekuatannya seolah tidak berfungsi jika dengan Ruby. “Rentenir datang ke rumah saya. Mengobrak-abrik rumah saya karena kakak saya yang tidak membayar hutang. Saya bertengkar dengan mereka dan berakhir seperti ini.” Leonard tersenyum tipis. tangannya terangkat mengusap pelan puncak kepala ruby. “Wah kau berani juga.” Ruby mengepalkan tangannya. “Maka dari itu, ayo kita menikah.” Leonard tersenyum miring. “Hm. Tapi karena kau terlalu lama berpikir, aku akan menambah perjanjian kita.” Ruby mengernyit. “Bertambah bagaimana?” “Beri aku keturunan.” Leonard mendekat—jarak mereka semakin menipis. Tangannya terangkat mengusap pipi Ruby pelan. sayang sekali pipi semulus itu harus lebam sepe
8 bulan berlalu dengan cepatnya….. Ruby berada di ruang persalinan. mempertaruhkan seluruh nyawanya untuk anaknya. Leonard sampai tidak tega melihat Ruby yang kesakitan saat melahirkan. “Uweeek!” suara tangisan bayi. Leonard menitikkan air mata ketika seorang bayi laki-laki yang dibawa oleh dokter. “Kamu berhasil.” Leonard mengusap pipi Ruby. Ruby mengangguk, jemari mereka bertaut. Dokter mendekat—memberikan bayi mungil itu ke pelukan Leonard. Leonard menatap anaknya. sekali lagi anaknya! ia tersenyum—dengan jantung yang berdebar. “Apa dia mirip dengan kamu?” tanya Ruby. Leonard menunduk—menunjukkan bayi mereka pada Ruby. “Bilang terima kasih pada Mom yang sudah berjuang melahirkan kamu.” Ruby tersenyum lebar. “Jadi namanya…” “Sebastian Charles Francesco.” “Hati-hati, Leonard.” tangan Ruby terulur mengusap lengan anaknya. “Jangan sampai terkena pukulannya. dia pasti menuruni kekuatanku. “ “Dia masih kecil..” balas Leonard. “Kekuatannya akan bertumbuh sa
Ruby membuka pintu dengan cepat. “Surprise!” kepalanya muncul di balik pintu ruangan Leonard. Leonard yang awalnya begitu serius pada dokumen kini mengangkat kepalanya dan menatap istrinya dengan senyum lebar. Leonard bangkit dan mendekati istrinya. Ruby masuk perlahan dan memeluk suaminya. “Apakah sibuk?” tanya Ruby. Leonard menggeleng. “Tidak. sebentar lagi juga waktu pulang.” “Kenapa ke sini?” tanya Leonard. “Bukankah tadi kamu bilang kamu akan ke toko roti ibu?” “Aku sudah. Jadi aku membawakanmu roti buatan ibu.” Ruby menunjukkan paper bagnya. “Aku tadi juga membawanya untuk sekretaris kamu.” “Eddy?” Leonard mengambil paper bag itu. “Dia pasti sangat senang.” Ruby mengangguk. “Benar, dia sangat senang. Sepertinya dia sedang lapar.” Leonard menarik Ruby untuk duduk di sofa. “Tidak. Dia memang sangat senang dengan makanan. Dia seperti mendapatkan emas saat mendapatkan makanan.” Ruby tertawa pelan. ia mengambil roti dari paper bag itu. Kemudian membawanya ke
“Pemandangan yang menakjubkan.” Ruby masih berada di dalam mobil. Hari ini ia datang sendiri. Leonard bekerja, sudah berapa hari pria itu tidak bekerja. Ruby menatap Michael yang membantu ibu bekerja di toko. Untungnya Michael memiliki paras yang tampan. Banyak perempuan yang datang ke toko. Tidak hanya sekedar membeli roti tapi juga sekedar mencari perhatian dari Michael. “kalau begini kan dia terlihat lebih waras.” Ruby akhirnya turun dari mobil. Ia berjalan ke toko dan membuka pintu. “Kamu datang…” Ibu mendekatinya. Ibu memeluk Ruby. “Bagaimana kabar kamu? bagaimana cucu ibu?” tanya ibu sembari menyentuh perut Ruby. “Ruby baik-baik saja, Bu.” Ruby tersenyum. Ruby mengamati toko ibu yang lebih bagus. dengan tatatan yang lebih indah. Mirip kafe hanya lebih kecil saja. Ibu juga punya beberapa pegawai. Sudah lama sekali ia tidak ke toko. Semuanya telah berubah. Rasanya sudah lama sekali… “Kau datang…” Michael yang melewati Ruby. Pria itu membawa nampan yang
“Hueek!” Akhirnya Ruby muntah lagi. Tapi kali ini tidak terlalu parah dibandingkan kemarin. Obat yang ia minum bekerja dengan baik. Setiap kali Ruby muntah—Leonard selalu menemani. Leonard tidak pernah meninggalkan Ruby ke kamar mandi sendirian. Leonard terus memastikan bahwa istrinya baik-baik saja. Leonard mengusap bibir Ruby dengan tisu. Bibir wanita itu basah karena bilasan air. Ruby mendekati Leonard. memeluk tubuh suaminya itu. “Mama sudah menyiapkan sup. Kamu makan pelan-pelan saja. kalau muntah nanti berhenti.” Leonard mengusap punggung Ruby. Ruby mengangguk pasrah. “Apa mama memasaknya sendiri?” “Tidak. ada Maid yang membantunya. Mama mengarahkan Maid itu agar rasanya sama persis dengan Sup yang ia makan waktu dulu hamil aku dan Luna.” Leonard menggendong Ruby yang lemas. Ia mendudukkan Ruby di sofa depan ranjang. di atas meja sudah ada sup yang disiapkan oleh Lila. Juga susu hamil. “Makan pelan-pelan.” Leonard menyuapi Ruby dengan telaten. P
Guys hari ini Chapter terakhir. semoga suka ya, selamat membaca :))))--“Nanti mau beli baju buat anak kita warna apa?” Pertanyaan itu bukan dari Ruby. Melainkan dari Leonard! Leonard terlihat sangat antusias. Bahkan sudah membahas baju. Lalu katanya, ingin mendekorasi kamar anaknya sendiri. Padahal belum tahu perempuan atau laki-laki. Ruby tertawa pelan. “Pikirkan nanti saja, sayang.” “Kamu terlalu bersemangat,” lanjut Ruby lagi. Leonard terkekeh pelan. ia masih fokus menyetir. Mereka akan ke rumah orang tua Leonard. Untuk memberitahu kehamilan Ruby. Tadi Ruby sudah menelepon ibunya. ia akan ke rumah ibunya besok saja. Mobil sudah memasuki area mansion orang tua Leonard. Ruby dan Leonard keluar dari mobil. “Setelah pergi ke rumah Diego. ternyata rumah orang tuaku tidak begitu buruk.” Leonard memandang Mansion orang tuanya. Ada beberapa penjaga di sana. mereka selau berjaga setiap hari. Jumlahnya tidak terlalu banyak. “Benar. Di sini tidak banyak penjaga.
Leonard menutup bibirnya tidak percaya. Ia mendongak. kenapa rasanya panas sekali matanya. Ruby mendekat dan tertawa. “Kita akan jadi orang tua.” Leonard memeluk tubuh Ruby. Sedikit mengangkat tubuh Ruby dan memutarnya. “Aku sangat bahagia.” Leonard mengecup dahi Ruby beberapa detik. “Terima kasih.” “Akhirnya!!!” suara Stormi yang begitu bahagia. Ia melompat dengan bahagia sembari memeluk lengan Diego. Diego tersenyum melihat tingkah Stormi. Ia juga ikut bahagia dengan kehamilan Ruby. “Kamu harus ke rumah sakit lagi untuk melakukan pengecekan lebih lanjut.” Ibu Stormi memeluk Ruby. “Mulai sekarang hati-hati. Awal kehamilan adalah masa yang paling rentan.” “Selamat ya,” ucap ibu Stormi. Ruby mengangguk dengan bahagia. “Terima kasih, aunty.” Tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang. Yang pasti ia sangat senang. Ia menyentuh perutnya. Tidak bisa berhenti tersenyum lebar. Leonard menoleh mendapatkan tepukan dari samping. “Kau jago juga,” ucap Die
“Terima kasih, aunty…” Stormi tersenyum. Bibi yang merawat rumahnya membawakan makanan. Sehingga ia tidak perlu pergi keluar mencari makan dengan Leonard. “Kemarin saya melihat rumah aunty ada helikopter dan beberapa orang…” ucap Ruby. “Sepertinya saya mengenal anak aunty.” Ibu Stormi mengangguk. ia mengambil duduk di samping Ruby di depan meja makan. “Aunty juga bilang pada anak bibi. Kalian memang saling mengenal.” “Sebenarnya, Aunty sedikit menghawatirkan Stormi. Dia pulang-pulang membawa pria bersamanya. Memang pria itu tampan, tapi aunty takut kalau Stormi terlibat hal yang berbahaya bersama pria itu.” Ruby mengerti… Wajar saja ibu Stormi menghawatirkan anaknya. Awalnya Ruby juga memang sedikit kawatir jika Stormi berhubungan dengan Deigo. Ruby menoleh ketika Leonard turun dari tangga. Ruby menatap Leonard sebentar. “Saya dan Suami saya juga mengenal Diego. meskipun belum lama. Tapi yang saya lihat…” “Diego memperlakukan Stormi dengan baik. Jadi aunty jangan te
21++ Makan malam yang kurang diharapkan oleh Diego sebenarnya. Karena ia harus menunda hukuman untuk Stormi. Sedangkan Stormi cengengesan seolah sedang mengejeknya. Tangan Diego tidak berhenti mengusap pinggang Stormi dari samping. Benar-benar tidak bisa jauh dari Stormi. “Aku tidak mau masak besok,” ucap Steven. “Biar dia saja yang masak.” Menunjuk Stormi. Stormi mengerjap. “Jangan mempermalukanku. Aku tidak bisa memasak.” “Besok ibu saja yang masak.” Ibu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Mengunyahnya santai. “Bukankah besok itu jadwal itu membersihkan rumah lama itu?” tanya Steven. “Rumahnya sudah ditempati cucunya. Dia baru saja kembali bersama suaminya. Jadi ibu bisa bersantai,” jelas ibu. Stormi mengernyit. “Siapa?” “Anak yang dulu kamu takuti. Dia juga sudah dewasa dan ternyata dia sudah menikah,” jawab ibu. “Siapa namanya? Dari dulu aku sudah takut duluan melihatnya. Jadi tidak pernah tahu nama dan wajahnya lagi.” “Ruby…” balas ibu. “UHUUUK!” St
21++ Di belahan bumi yang berbeda. “Sayangku kenapa lama sekali?” teriak Leonard tidak sabaran menanti Ruby yang berada di dalam kamar mandi. “Iya…” Ruby menggigit bibirnya pelan. Ia keluar—menggunakan ligerie yang berbentuk jaring-jaring itu. Tubuhnya tembus pandang. Jaring-jaring hitam itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang begitu berlekuk. Leonard sampai menahan nafasnya melihat istrinya. Ruby berjalan ke arahnya. “Kamu bilang aku yang memimpin malam ini? tapi kenapa wajah kamu terlihat ingin menerkamku secepatnya.” Leonard mendongak—tangannya merengkuh pinggul Ruby. “Sepertinya aku tidak bisa. Biarkan aku—” Bruk! Ruby mendorong tubuh Leonard sampai berbaring di ranjangnya yang kecil itu. Perlahan Ruby merangkah ke atas tubuh Leonard. Tangan Ruby yang lentik melepaskan pakaian atas Leonard. Ia mendekat—menangkup wajah Leonard—kemudian mencium bibir pria itu. Leonard membalas pangutan Ruby dengan liar. Tangannya sudah bergilya masuk ke dalam