Share

4. Si Anak Mami

Usai makan, Sophia pikir, mertuanya itu akan segera pulang. Tapi yang ada, mertuanya malah duduk santai di depan televisi. Petra yang sibuk membaca koran pagi ini, dan juga Mia yang sibuk dengan ponselnya. Sophia melirik Shaka yang berdiri tak jauh dari dirinya, meminta bantuan pria itu untuk membebaskan diri dari kedua mertuanya. Sophia harus pergi ke kios bunga membantu ayahnya menanam beberapa bunga yang baru saja datang. Dia tidak mungkin menghabiskan waktu seharian di rumah dengan kedua mertuanya. Apalagi Shaka bilang, jika siang ini dia ada jadwal makan siang bersama dengan kekasihnya.

"Apa yang kalian lakukan? Nggak mau duduk bareng kita?" kata Petra.

Sophia melirik canggung, bukan masalah tidak mau duduk. Tapi yang ada wanita itu ingin segera pergi dari tempat ini dengan cepat. "Hmm, Papi saya harus pergi ke kios bunga." kata Sophia akhirnya. Memberanikan diri mengatakan hal itu, karena Sophia tahu jika Shaka tidak akan mengatakan hal apapun pada ayahnya.

Petra mengerutkan keningnya mendengar ucapan Sophia. Mereka ini baru saja menikah, masa iya sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing? Masa iya, tidak ada waktu satu atau dua minggu untuk mereka istirahat dirumah dan menikmati hari-hari pernikahan mereka.

"Papi … Shaka itu juga hanya kerja. Kalau cuma duduk di rumah nemenin Sophia, itu istrinya mau makan apa? Ya nggak mungkin dong Shaka mau ngasih Sophia rumput sama batu tiap bulan!!" cetus Mia tidak suka. Apapun keputusan Petra, Mia selalu tidak suka.

Ya, pernikahan begini sama sekali tidak dia inginkan. Untung saja pernikahan mereka tidak mewah, tidak mengundang banyak orang kecuali keluarga. Tidak ada media atau apapun itu untuk meliput pernikahan mereka. Mia benar-benar malu memiliki menantu seperti Sophia, meskipun parasnya cantik jika wanita itu cacat untuk apa? Yang ada, akan ada banyak orang menghina dan juga mengejek Mia yang memiliki menantu cacat. Itu sebabnya dia paling benci dengan Sophia, Mia pikir semua ini terjadi juga karena Sophia.

"Kamu kayaknya lupa siapa Shaka!!" cibir Petra.

Mia sama sekali tidak lupa siapa Shaka, hanya saja Mia tidak suka jika Shaka terus-terusan bersama dengan Sophia. Saling mengenal, atau melakukan banyak hal untuk kedekatan mereka, menurut Mia itu sama sekali tidak perlu.

Disini, Sophia membenarkan ucapan Mia. Dia tahu betul siapa suaminya, tapi jika terus menerus di rumah memangnya Shaka mau melakukan apa? Sophia tahu suaminya itu kaya raya, bukan berarti Shaka harus berdiam diri kan? Mungkin Shaka bisa pergi ke kantor melihat bener pekerjaan karyawan atau mungkin menghadiri meeting penting yang akan menguntungkan perusahaan. Atau mungkin Shaka bisa memantau beberapa proyek yang sedang dijalani sebelum menikah dengan Sophia. Tidak masalah jika baru menikah dan Shaka bekerja keras, dia juga butuh makan setiap harinya.

"Ya juga ya. Belum lagi nanti kalau punya baby, banyak sekali kebutuhan yang bakalan kamu perlukan, Shaka." ucap Petra berpikir.

"Nah itu Papi tau, masa iya Shaka diam aja di rumah? Shaka 'kan bos, harus ngasih contoh yang bagus dong untuk karyawan." timbal Shaka mencoba untuk menyakinkan ayahnya.

Petra tertawa kecil mendengar hal itu. Dia pikir Petra ini anak kecil yang gampang sekali di bohongi? Selama ini Petra tahu betul bagaimana cara kerja Shaka di kantor. Selain jarang masuk kantor, Shaka juga sering meminta orang lain untuk mewakilkan rapat penting perusahaan. Perkara saham juga Petra tahu jika mengalami penurunan sepuluh persen, sayangnya Shaka tidak menyadari hal itu.

"Contoh yang baik bagaimana, Shaka?" kekeh Petra.

Shaka menggaruk keningnya yang tidak gatal sama sekali. Dia ingin membuka mulutnya, tapi Sophia lebih dulu membuka mulutnya lebih dulu.

"Papi, saya akan ke kios ada pesanan bunga." Sophia berdiri di depan Petra dengan lebih keyakinan. Dia tidak nyaman berada di rumah ini, apalagi Mia yang terus memperhatikan Sophia dengan tidak suka. "Ayah saya nggak bisa merangkai bunga cafe." jelas Sophia kembali.

Apa dia sedang menyelamatkan aku? Pikir Shaka menatap Sophia tajam.

Petra menghela nafasnya panjang, dia pikir setelah menikah mereka akan menghabiskan waktu bersama untuk saling mengenal. Tapi sayangnya, apa yang diinginkan Petra tidak terwujud. Mereka masih menganggap jika pernikahan ini hanya untuk sebuah pertanggungjawaban Shaka yang sudah membuat Sophia pincang. Padahal Petra sudah berharap setelah menikah hal indah terjadi diantara mereka. Tapi yang ada mereka malah sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Sophia berpamitan untuk pergi, mencium punggung kening mertuanya dengan pelan. Meskipun Mia merasa ogah-ogahan, demi di depan Petra dia pun membiarkan Sophia untuk menyentuh tangannya.

"Saya pergi dulu, ayah saya sudah menunggu." pamit Sophia.

Petra mengangguk, mempersilahkan Sophia untuk segera pergi. Mungkin benar, jika ayahnya telah menunggu. Apalagi selama ini yang mengurus penuh kios bunga itu ayahnya dan juga Sophia, ibunya hanya sekedar membantu saja tidak lebih.

"Mau kemana?" tanya Petra langsung, melihat Shaka yang bergegas ikut pergi.

Mia mendesah, "Yang jelas Shaka juga harus kerja Papi." belanya.

Petra tahu, tapi laki-laki itu meminta Shaka untuk tetap di rumah, ada beberapa hal tentang pekerjaan yang Petra ingin bahas dengan Shaka. Saham perusahaan menurun, Petra juga mendapat laporan jika Shaka suka sekali bolos masuk kerja. Dia sering meninggalkan meeting, dan tidak kembali ke kantor. Tidak hanya itu, Petra juga mendapat laporan jika Shaka mengambil uang perusahaan dengan alasan proyek barunya. Dan sampai saat ini Petra tidak tahu proyek mana yang sedang Shaka kerjakan, perusahaan mana yang bekerja sama dengannya, atau mungkin laporan penanaman saham.

Tentu saja hal itu membuat Shaka diam. Pasalnya, uang yang dia ambil dari perusahaan itu digunakan untuk membelikan rumah Valery. Dia tidak mungkin tega melihat Valery diusir dari rumah yang dulu disita oleh bank. Ayahnya terlalu banyak hutang, hingga aset satu-satunya yang mereka miliki diminta orang lain. Tak hanya itu, Shaka juga membelikan mobil mewah pengeluaran terbaru untuk Valery, dia sudah menggunakan semua tabungannya hanya saja karena tidak cukup Shaka pun meminta uang perusahaan dengan alibi proyek baru. Shaka tidak tahu jika ayahnya akan memeriksa sampai sejauh ini.

"Aku tahu, jika dia harus bekerja. Tapi … aku juga harus tahu kan uang itu perginya kemana?" ucap Petra.

"Pi itu hanya uang kecil, jangan diperbesar."

"Iya Pi, itu tidak seberapa. Lagian kalau untung juga duitnya masuk ke kantor." timbal Shaka.

Melipat tangannya di depan, Petra pun mengamati apa yang Shaka lakukan, "Mau untungnya masuk ke kantor atau tidak. Yang jelas Papi tidak menerima proyek nggak jelas kamu yang ini. Dimana tempatnya, gimana perkembangannya, kamu aja nggak ngomong loh sama Papi."

Shaka memijat pelipisnya pusing, dia tahu, tapi masalahnya bukan berarti apapun yang Shaka lakukan ayahnya harus tahu 'kan? Dia ini putra satu-satunya, masa iya ayahnya sendiri saja tidak percaya sama dia? Selama ini Shaka juga bekerja dengan baik, meskipun jarang ke kantor Shaka tidak pernah mendengar ada keluhan satu pun. Semuanya berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang Shaka dan juga Petra inginkan. Lalu masalahnya dimana?

"Nanti Papi juga tahu itu proyek ada dimana. Untuk saat ini masih dirahasiakan." jelas Shaka tegas. Seolah dia tengah membuat Petra percaya dengan ucapannya.

"Pi apaan sih, sama anak sendiri loh ini masa iya nggak percaya." sela Mia yang terlihat kesal dengan sikap Petra.

"Bukannya begitu Mi, yang namanya bisnis itu– Mami mau kemana? Mi jangan pergi dulu!" Petra berteriak ketika Mia pergi begitu saja sambil menarik tangan Shaka. Anak itu terlalu dimanja oleh ibunya, sehingga suka sekali berbuat semaunya. Belum lagi latar belakang mereka dan juga jabatan, sehingga membuat Shaka menganggap apapun bisa dilakukan dan diselesaikan dengan uang.

Sesampainya di depan rumah, Mia pun langsung merapikan baju Shaka yang sedikit kusut. Tak hanya itu, Mia juga membenarkan letak dasi Shaka yang tidak beraturan.

"Pergi sana, kemanapun yang kamu suka."

Tentu, Shaka langsung tersenyum sambil menarik dasinya sedikit kencang, "Memang Mami yang paling baik banget, tau apa yang anaknya butuhkan."

"Iyalah. Mami tahu kamu suntuk dengan perempuan itu. Mami juga begitu, kalau bukan karena Papi mu sudah dipastikan Mami akan menyingkirkan perempuan itu dengan cepat!!"

Hal itu terlalu cepat, dan Shaka tidak ingin. Dia ingin melihat Sophia menderita selama hidup dengannya, dia ingin membuat Sophia membayar atas apa yang dia lakukan pada hidup Shaka. Mengikat laki-laki itu dengan benang tak kasat mata yang membuat hidup Shaka hancur. Setidaknya, Shaka harus membuat hidup Sophia hancur lebih dulu sebelum mereka berpisah. Tidak ada kebahagiaan, yang ada sebuah siksaan yang akan Sophia ingat seumur hidup.

"Aku pergi Mi, jaga diri baik-baik." pamit Shaka mengecup kening ibunya dengan sayang.

Mia tersenyum penuh lebar sambil melambaikan tangan ke arah mobil yang baru saja pergi. Dia begitu setuju dengan apa yang Shaka katakan, jika putranya tidak bisa melakukan dengan baik. Bukankah … ibunya harus turun tangan?

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status