Kirei menoleh, menatap tajam pria itu. “Siapa kalian?”
“Kamu tidak perlu tahu siapa kami,” ucap pria asing itu, seraya terus mengapit Kirei, memaksanya agar berjalan sesuai keinginan mereka.
Belum sempat Kirei menanggapi lagi, mereka tiba di dekat sedan hitam. Salah seorang dari dua pria itu membukakan pintu untuk Kirei, lalu mempersilakannya masuk.
Kirei terdiam sejenak, lalu berbalik secara tiba-tiba. Namun, dia tidak sempat melarikan diri karena geraknya tertahan oleh pria satu lagi. Mau tak mau, Kirei harus menurut. Dengan raut terpaksa, Kirei masuk ke mobil.
“Hai,” sapa pria yang tak lain adalah Dev. Dia duduk tenang penuh wibawa, dengan tatapan lurus ke depan, seakan tak begitu peduli dengan Kirei yang ber
Kirei memejamkan mata, memasrahkan diri sepenuhnya andai harus mati di tangan Dev. Namun, setelah beberapa saat, dia tak merasakan apa pun. Tidak ada tanda-tanda belati runcing nan tajam itu menghujam ke perutnya. Akhirnya, Kirei kembali membuka mata. Dia mendapati borgol plastik yang melingkar di pergelangannya telah terpotong. “Dalam tas itu ada baju baru. Pakailah. Aku tidak mungkin membiarkanmu keluar tanpa pakaian,” ujar Dev dingin, sebelum berlalu dari hadapan Kirei. Dia menyibukkan diri sambil menunggu Kirei selesai berpakaian. Beberapa saat kemudian, Kirei sudah tampil rapi dengan celana jeans dan T-shirt hitam polos lengan pendek. “Ayo. Anak buahku sudah menunggu di lobi,” ajak Dev, seraya meraih pergelangan tangan Kirei. Dituntunnya wanita cantik itu keluar kamar. Setelah dari hotel, Dev langsung berangkat menuju ibukota. Dia tak peduli, meskipun Kirei meminta untuk mengambil beberapa barang pribadinya di tempat kost. Sedan hitam yang ditumpangi Dev dan Kirei telah mema
Kirei mendelik, lalu duduk di closet. Meskipun agak risi karena Dev memperhatikannya ketika buang air kecil, tapi dia tak punya pilihan. “Aku sudah selesai,” ucap Kirei. Dengan tangan terikat, dia tak bisa melakukan apa pun, bahkan sekadar menekan tombol flush. Apa yang seharusnya Kirei lakukan, dilakukan oleh Dev. Dia membantu wanita itu membersihkan diri. “Kamu tidak harus melakukan ini,” tolak Kirey, saat Dev menyemprotkan air ke alat vitalnya, lalu menyentuh perlahan. “Aku akan melakukan apa pun. Kamu tidak berhak melarang dan tak kuizinkan melakukan protes,” balas Dev tenang, tanpa menghentikan apa yang tengah dilakukannya. Lama-kelamaan, pikiran mesum muncul. Naluri kelelakian Dev terbangkitkan. Dia tak kuasa melawan dorongan nakal. Tak hanya membersihkan bagian sensitif Kirei, kali ini dia memasukkan jari tengah. “Jangan, Dev. Sakit ….” Kirei menatap sayu, lalu memejamkan mata. Antara nikmat dan perih bercampur jadi satu. “Nikmati rasa sakitmu,” ucap Dev pelan, tapi penu
Kirei menatap tajam. Hanya itu yang bisa dilakukan, sebab keadaannya tidak memungkinkan lagi untuk memberikan perlawanan. Namun, tatapan tajam tadi perlahan berubah sendu.Seluruh harga diri Kirei telah hancur di tangan Dev. Dia tak memiliki apa pun lagi yang bisa dipertahankan. Kehidupannya jadi kacau-balau, sejak sang ayah menyerahkan masa depannya kepada pria asing berdarah dingin.Setitik air mata jatuh mengiringi kepedihan dan segala nasib sial yang menimpa Kirei. Dia pasrah, andai Dev benar-benar menghabisinya kali ini. Setelah apa yang dilakukan di Meksiko, Kirei yakin pria itu tidak akan memberi ampun lagi.“Habisi saja aku. Silakan,” ucap Kirei pasrah.“Tidak sekarang Kirei. Aku tidak akan membuatmu mati dengan mudah,” t
Kirei menoleh, menatap tajam pria itu. “Siapa kalian?”“Kamu tidak perlu tahu siapa kami,” ucap pria asing itu, seraya terus mengapit Kirei, memaksanya agar berjalan sesuai keinginan mereka.Belum sempat Kirei menanggapi lagi, mereka tiba di dekat sedan hitam. Salah seorang dari dua pria itu membukakan pintu untuk Kirei, lalu mempersilakannya masuk.Kirei terdiam sejenak, lalu berbalik secara tiba-tiba. Namun, dia tidak sempat melarikan diri karena geraknya tertahan oleh pria satu lagi. Mau tak mau, Kirei harus menurut. Dengan raut terpaksa, Kirei masuk ke mobil.“Hai,” sapa pria yang tak lain adalah Dev. Dia duduk tenang penuh wibawa, dengan tatapan lurus ke depan, seakan tak begitu peduli dengan Kirei yang ber
Beberapa waktu berlalu. Dev terus mengerahkan anak buahnya yang tersebar di mana-mana. Dia memfokuskan pencarian di luar Meksiko. Dev juga berkoordinasi dengan anak buahnya yang ada di Indonesia.Setelah hampir tiga bulan, akhirnya Dev mendapatkan titik terang. Anak buahnya yang berada di Indonesia memberikan kabar, bahwa mereka telah berhasil melacak keberadaan Kirei. Namun, wanita itu tidak berada di ibukota, melainkan menetap di Bandung.Dugaan Dev tidak keliru. Dia yang sejak awal telah menduga bahwa Kirei kembali ke tanah air, segera memerintahkan Luis untuk mengurus dokumen keberangkatan.“Biarkan Kirei, Nak. Jangan mengganggunya lagi,” ucap Maitea, seraya berdiri di ambang pintu kamar Dev. Dia memperhatikan sang putra, yang tengah berkemas.
Dev mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Kirei ke seluruh penjuru kota. Dia menekankan kepada mereka agar tidak kembali ke markas, sebelum benar-benar yakin bahwa Kirei tidak ditemukan di manapun. Tiga hari pencarian besar-besaran dilakukan. Seakan tak ada rasa lelah, mereka memeriksa ke seluruh tempat. Namun, Kirei tak ada di mana-mana. Seperti sebelumnya, wanita itu sangat pandai menyembunyikan diri agar tak mudah ditemukan. “Kami sudah memeriksa setiap tempat dan …. Nona Kirei tidak ada di wilayah yang menjadi area pencarian kami,” lapor Mathias, yang bertugas memimpin kelompok 15. Rasa takut tersirat jelas dari parasnya, berhubung laporannya barusan pasti akan membuat Dev marah besar. “Kau yakin sudah mencari Kirei ke berbagai penjuru kota?” Dev menatap tajam Mathias yang berdiri dengan ekspresi cukup tegang.Mathias mengangguk tegas, berusaha menutupi ketakutan akan kemarahan sang tuan besar. “Aku membagi kelompok 15 jadi beberapa bagian, Tuan. Kami berpencar dan mel