Share

10. Rasa Terselubung

“Ini tidak mungkin, mustahil!” Siti memegangi hidungnya sambil bercermin di lemari stainlis.  Mengingat-ingat lagi apa yang dilakukannya sampai perubahan ini terjadi.

“Tapi tulang hidungnya memang tidak kenapa kok Pak. Tidak ada patah atau retak.”

“Dok, saya lihat sendiri hidungnya berubah.”

Siti kembali duduk begitu Bima datang bersama dokter. Bima mengalihkan atensinya pada Siti lalu mencubit hidungnya. “Ini tadinya ada bengkok di bagian sini dan lebih panjang di bagian sini.”

Siti diam saja ketika Bima mengotak-atik hidungnya. Sementara dokter tertawa menanggapi Bima.

“Mungkin halusinasi, Pak.”

“Halusinasi?!” tadinya Bima ingin marah, tapi perkataan dokter ada benarnya. Mungkin karena kelelahan Bima jadi berhalusinasi atau mungkin selama ini Siti memakai hidung palsu. Ah, sudahlah bukannya dia ke klinik cuma ingin memastikan keadaan si Montok baik-baik saja. “Gimana bayinya Dok? Apa ada yang luka?”

“Enggak ada. Alhamdulillah bayinya sehat. Dia menangis karena syok. Tapi sudah jauh lebih tenang sekarang. Saya Cuma kasih resep vitamin untuk dedeknya ya Pak.” Dokter menulis resep pada secarik kertas lantas memberikannya pada Bima.

“Terima kasih, Dok,” balas Bima yang sebetulnya kurang puas dengan jawaban dokter mengenai hidung ajaib Siti.

Sepanjang jalan mengantar Siti dan Montok pulang, Bima berusaha mengenyahkan pikiran anehnya tentang hidung Siti. Buat apa memikirkan sesuatu yang tidak berguna sementara masalah Bima semakin menumpuk. Terutama setelah Si Montok datang dan wanita aneh itu berada di rumahnya. Mau tidak mau Bima harus menyelidiki kasus pembunuhan keluarga si Montok sendirian dari pada mengandalkan Toni. Dia harus berani mengambil risiko bila ingin kembali ke perkerjaan lamanya ketimbang  pasrah menjadi polisi jalanan.

“Kita enggak jadi pulang?” Siti melihat ke jendela mobil tempat mereka berhenti di sebuah gedung institusi negara.

“Kita ke sini sebentar.”

Bima mengajak Siti memasuki gedung itu. Gedung yang sibuk dengan orang-orang di meja kerjanya, kertas menumpuk dan seriap komputer menyala. Entah mengapa Bima mengajaknya ke mari, yang jelas saat ini lelaki itu sedang berdebat dengan perempuan berwajah judes.

“Masalahnya tiba-tiba saja ada yang datang ke rumah saya, tanpa mengabari dulu. Mereka bilang mereka keluarga Rafa.”

“Hari ini kami enggak mengutus orang ke rumahmu loh. Keluarga Rafa juga masih dalam proses penyelidikan makannya belum kami himbau untuk mengambil Rafa. Terus, kamu tangkap orangnya?”

“Enggak, dia terburu kabur.”

“Halah, kebiasaanmu itu mudah melepaskan bandit.” Perempuan itu memegangi dahinya.

“Saya ke sini mau minta data-data kasus Rafa.”

“Ya enggak bisa lah, Ini kan bukan wilayahmu lagi.”

“Kalau kerja kalian terlalu lama keselamatan Rafa semakin terancam. Saya punya saksi mata yang melihat bagaimana penjahatnya melakukan aksinya.”

“Siapa saksi matanya?” tanya wanita itu ketus.

“Ini.” Bima menarik Siti yang tengah bingung sendiri.

“Dia ada di TKP?”

“Enggak ada, tapi dia bisa melihat kejadian itu dengan jelas.”

“Lihat dari mana? Mata batin? Dukun?” wanita itu tertawa menanggapi Bima. “Bim, Bim ... kayak enggak punya kerjaan aja kamu, bawa-bawa dukun.”

Tentu Bima sudah tahu, dia akan dianggap orang gila bila mengatakan bagai mana dia tahu  orang tua Rafa dibunuh. Rasanya mustahil masih mempercayai hal-hal klenik di era kemajuan teknologi.  Entah sejenis manusia apa si Siti, indigokah, supranaturalkah, barang kali mutan seperti di film-film Amerika. Orang tak akan percaya sampai Bima menunjukkan buktinya.

“Dia ...” Siti menunjuk satu foto dari map yang terbuka. “Dia pelakunya.”

Wanita itu mengangkat sebelah alisnya, atensinya ikut tertuju pada foto itu. “Memang sidik jari yang tersisa pada ban mobil menunjukkan sidik jari laki-laki ini. Tapi sayangnya kita enggak bisa mengorek informasi karena dia sudah mati. Dia tukang kebun orang tua Rafa yang ikut di dalam kecelakaan mobil.”

“Serius?” Bima menarik kursi lantas duduk di depan Mena, wanita bertampang angkuh tadi.

“Tunggu, dari mana kamu tahu?” tanya Mena menilik Siti, penasaran.

“Sudah kubilang kan, dia bisa melihatnya.”

Well, tapi aku enggak percaya hal kayak gitu. Atau jangan-jangan kamu terlibat?” lirik Mena lagi pada Siti.

“Heh dari kemarin dia ada terus bersamaku. Dia malah yang menyelamatkan Rafa. Aku punya bukti CCTV di rumah.”

“Kalau gitu berikan ke aku video CCTV-nya.”

Bima hendak memberikan CD yang sudah dia masukan bukti CCTV kemarin. “Boleh, dengan  syarat libatkan aku juga dalam kasus ini.”

Tangan Mena menggantung di udara sejenak sebelum meraih CD dari tangan Bima. “Em ... oke, tapi ini rahasia kita.”

Dari kantor interkom Bima membawa Siti dan Montok ke hunian lainnya. Maklumlah dia bekas agen mata-mata yang tidak punya tempat tinggal tetap, kalau ada sedikit saja yang mengancam  keselamatannya Bima pasti segera kabur dan berkamuflase layaknya bunglon di tempat lainnya.

Malam ini tidak sepeti biasanya, Rafa atau yang mereka panggil si Montok terus-terusan menangis sampai membuat Bima bangun dari peristirahatannya di atas sofa. Bima berusaha kembali tidur saat Montok mulai tenang sedikit, tapi baru juga mau memejamkan mata suara tangisan  bayi terdengar lagi. Dia mulai kesal dan menyangka Siti tidur dari pada menjaga Rafa.

Bima membuka pintu kamar pelan dan melihat gadis itu ternyata sedang menggendong si Montok sambil mengucapkan sesuatu dengan bahasa yang tidak Bima paham.

Giac ngu yen bình la nhing gì đang tìm kiem. Dem nay sunu mindhet.”

“Kamu ngapain sih?” Bima menghampiri perempuan aneh itu. Tapi Siti tidak berhenti mengucapkan kalimat tadi meskipun si Montok tidak juga diam.

Dem nay sunu mindhet ... ini mantra tidur, supaya dia tidur seperti orang yang terbaring di peti.”

“Dasar aneh.” Bima mengambil alih si Montok, menimang-nimangnya. “Bayi mana ngerti bahasa yang kamu ucapkan sambil berbisik. Itu malah bikin dia ngeri. Harusnya si montok dinyanyikan biar tidur.”

“Saya tidak suka menyanyi,” timpal Siti lagi.

“Apa yang kamu bisa sih.” Bima mulai bersenandung menina bobokan Montok sampai matanya mengerjap-ngerjap siap mengatup. Setelah dikiranya si Montok mengantuk dia baringkan bayi itu di atas kasur. Si Montok malah berguling ke samping menatap Siti, seolah menyuruhnya untuk dekat. Oh pasti bayi malang itu rindu kedua orang tuanya. Siti tak tega dengan tatapan lugu itu, dia mendekati si Montok, ragu-ragu mengusap kepalanya. Timbullah sedikit welas asih pada diri Siti yang selama ini tertutup dengan kegelapan.

“Dia menyukaimu,” kata Bima. Ikut berbaring sembari melanjutkan nyanyiannya.

“Dia juga suka lagumu,” balas Siti yang perlahan bisa memahami apa keinginan si Bayi.

Bima menguap lebar, tidak tahan lagi dengan rasa kantuknya, ditambah kasur empuk yang membuatnya terbaring nyaman di sebelah si Montok. Perlahan suara Bima menelan kemudian hilang bersamaan kelopak matanya yang mengatup sempurna. Rahang tegas pria itu, hidung bangir, bibir penuh dan janggut tipisnya menggambarkan bagaimana maskulinnya dia. Tidak lagi-lagi Siti teringat Kumbang, tatapannya semakin meredup setelah memandangi Bima. Tidak boleh, dia harus membentengi dirinya tebal-tebal dari rasa kagum atau suka. Tidak akan terjadi lagi kali kedua dia berhubungan dengan lelaki rupawan yang malah akan menyakitinya.  

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Diena Rasyid
koq blom up kaq
goodnovel comment avatar
Alnayra
jangan jangan Bima keturunannya kumbang. ish, agak kesel sih, pas kumbang masih menang waktu itu. lanjut dong kak author
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status