“Mengasuh bayi?!” Mana mungkin?! Dia tidak punya pengalaman mengasuh bayi, yang ada juga malah menelannya hidup-hidup. Dahulu Siti melakukan berbagai macam eksperimen untuk mengembalikan kecantikannya termasuk bereksperimen dengan bayi, namun tak ada satu pun yang berhasil. “Saya tidak bisa!”
Bima mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa enggak bisa?”
Siti terdiam, haruskah dia bilang. Jika bayi itu menangis dan membuatnya kewalahan dia akan menggigit pahanya atau menyedot ruh dari ubun-ubunnya seperti menyeruput sum-sum pada tulang belakang sapi. “Saya tidak pernah punya anak, mana saya tahu cara mengurusnya.”
“Enggak ada alasan, kamu bisa baca buku panduan.” Bima mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.
“Saya tidak bisa baca!” Ya, jelas saja Siti tidak bisa baca, dia hidup di zaman Sangsekerta.
Bima tetap tidak bisa menerima alasan Siti. Dia mengeluarkan gawainya dan memutar tutorial cara mengurus bayi. “Kamu cukup lihat kalau begitu.”
“Kalau begitu kenapa tidak kamu saja?” kilah Siti lagi.
Bima mengacak-acak rambutnya sendiri, begitu geram pada Siti. “Pertama, gue laki-laki. Kedua, gue belum punya istri. Ke tiga, gue harus kerja mengabdi, dan keempat, kebebasan lu udah gue jamin pakai uang, kalau enggak mau. Lu bisa balik ke tahanan atau balikin duit gue dua kali lipet, sekarang!”
Siti terkesiap menggeleng. “Iya, iya saya bisa.”
“Gitu dong, dari tadi kek.” Bima bersiap berganti seragamnya di depan Siti sampai gadis itu menunduk. Kemudian dia membawakan sesuatu dari kamarnya, memberikannya pada Siti. “Ini pakaian dan peralatan mandi.”
“Punya bayi?”
“Bukan. Punya kamu! Kamu liat betapa kotornya kamu, mandi yang bersih biar enggak mencemari si Montok.”
“Si Montok?”
“Panggilan Si bayi.”
“Dan ini, semua peralatan si Montok dari mulai susu, botol susu, popok sampai sabun bayi semua ada di dalam tas ini. Kalau kamu enggak ngerti kamu bisa tontin video yang saya kasih tadi. Ngerti?”
Siti mengangguk sembari memerhatikan Bima memasang peralatan polisinya. “Saya mau dinas dulu. Titip si Montok, jangan sampai hilang. Kalau hilang kamu yang saya kejar.”
“Kamu mau pergi memberitahu mereka kalau keluarga bayi ini dibunuh?” tanya Siti. Pasalnya dia tidak juga melihat polisi di sana bergerak untuk menangkap penjahatnya.
“Sebenarnya itu bukan tugas saya, saya sudah dipindahkan ke korlantas. Biar penyidik saja yang kerja.” Dan sebetulnya, Bima menyayangkan diirinya hanya kebagian tugas-tugas kecil yang membosankan seperti mengatur lalu lintas. Bukan tugas yang memacu adrenalinnya seperti dulu saat mengejar mafia-mafia, mengusut kasus penggelapan dan berhadapan dengan teroris secara langsung.
“Kamu po-li-si, kan? Mereka yang berseragam di sana juga? Apa bedanya? Kalau kamu tahu kejahatan ada di depan mata, kenapa harus melimpahkannya pada orang lain?”
“Di instansi semua bekerja sesuai tugasnya masing-masing, tidak boleh melangkahi aturan-aturan dalam pembagian tugas itu sendiri. Di sana melakukan apa yang bukan tugas kita malah akan dianggap penjilat, sok tahu, tidak pada kapasitasnya. Kecuali bersifat urgen.”
“Urgen?”
“Maksudnya, terdesak.”
“Bagaimana kalau bayi ini juga dalam bahaya?”
Bima berusaha mengernyih padahal dia memang tahu Si Montok dalam bahaya, itulah mengapa Bima rela merawatnya sampai dia benar-benar bertemu keluarga si bayi. “Tenang aja, si Montok juga dalam perlindungan polisi, meski bukan saya yang melindunginya. Oh ya, ini kunci rumah, kalau enggak ada yang penting jangan keluar.” Bima melemparkan kunci rumah pada Siti lalu segera pergi.
Sepanjang perjalanan, Bima memang memikirkan perkataan Siti tadi. Sial! Dia ingin sekali mengusut kasus pembunuhan keluarga Montok. Haruskah? Bima yang mesti berjaga di perempatan jalan raya kini berputar arah. Tampaknya dia ingin menemui rekan lamanya untuk menanyakan bagaimana perkembangan kasus pembunuhan kemarin.
Bima datang menemui Toni yang tengah bekerja mencari bukti dari kasus lain di sebuah rumah sakit besar di Ibukota. Toni sempat terkejut melihat kedatangan Bima. Dia tak habis pikir kenapa lelaki itu masih saja ikut campur dalam penanganan kasusnya.
“Ada apa Bung? Enggak ada kerjaan di lapangan?” Toni berhenti mencatat, sekilas melirik Bima.
“Ya gitu, bosan aja.”
“Enak dong makan gaji buta.”
“Itulah yang gue enggak suka. Gimana perkembangan kasus keluarga Suseno?”
Sambil terus mencatat Toni menjawab pertanyaan Bima malas-malasan. “Yah gitu, kasus percobaan pembunuhan biasa.”
“Sejauh ini apa sudah ketemu tersangkanya? Atau motif barangkali.”
Toni melirik Bima lagi sembari tersenyum miring. “Sori Bung, gue enggak bisa bocorin kasus ini. Is not your business.”
“Ini menjadi urusan gue, karena gue yang mengurus anak korban sekarang.”
Toni berhenti dari kegiatannya kemudian menanggapi perkataan Bima barusan dengan raut mengejek. “Yang bener aja, tugas lu cuma sampai keluarga korban datang. Jadi, lu enggak harus ikut campur lagi karena bisa jadi apa yang lu lakuin bukannya mempermudah pekerjaan kami. Tapi malah membuat kacau berantakan. Nikmati aja sekarang waktu istirahat lu, itu lebih baik dari pada lu lakuin kesalah lagi dan dipecat.” Toni menubrukkan pundaknya pada Bima. Memperingati sebagai matan partner sekaligus rivalnya dalam pekerjaan.
Di tempat yang berbeda, Siti tengah asyik memandikan si Montok di bak. Banyak niat jahat berkutat dalam pikirannya, dari mulai menenggelamkan si bayi sampai membuangnya ke hutan agar urusan Siti dengan si polisi itu cepat selesai. Tak lama setelah memakaikan Montok pakaian, terdengar suara ketukan pintu. Siti terkesiap membawa si Montok dalam gendongan kemudian membuka pintu.
“Malam, apa Bima ada?” tanya lelaki berseragam polisi berjaket hitam bersama seorang lelaki beruban.
“Enggak ada.”
“Saya rekan Bima di kepolisian.” Polisi itu mengeluarkan kartu identitasnya memperlihatkannya pada Siti. “Dan ini keluarga Rafa, bayi yang ibu gendong. Pihak keluarga ingin mengambil Rafa kembali. Maaf kami harus membawanya sekarang.” Pria berseragam polisi mengambil paksa Si Montok. Tapi Siti enggan memberikannya.
Bima menggerutu sepanjang menaiki motor, dia kembali ke tempatnya bekerja dari pada mengurusi keangkuhan Toni. Sambi mencari mangsa tilang, Bima membuka-buka gawainya yang terhubung dengan CCTV dalam rumahnya. Dia menggeser-geser layar berusaha mencari keberadaan Si Montok. Bima mendekatkan kepalanya ke layar gawai, lalu membelalak mengetahui keadaan rumah.
Siti memegangi si Montok kuat-kuat. Pandangannya berkeliling mencari cela untuk kabur. Siti tentu bisa membedakan mana aura jahat dan baik dalam diri seseorang. Untung saja ilmu silat Siti belum luntur sepenuhnya hanya untuk melawan dua orang jahat. Lantas dia beraksi dengan sabetan kakinya berusaha menghalau dua lelaki di depannya agar tidak mendekat. Sayangnya dua lelaki itu semakin mengejar Siti sampai Siti berada di ujung beranda. Dua lelaki itu terus mendesaknya agar memberikan si Montok pada mereka.
Siti masih bergeming, bersiap dengan segala risiko bila harus melompat ke bawah untuk menyelamatkan diri, dia menyadari betapa berbahaya bila si Montok masih berada dalam dekapannya.
“Cepat serahkan bayinya!”
Tiba-tiba terdengar suara tembakkan memecahkan kaca. Terdengar juga langkah seribu seseorang dari depan. Dua lelaki di depan Siti gelagapan. Mereka menerobos tubuh Siti untuk melarikan diri melompat dari balkon. Siti terhuyung ke pinggir, hilang keseimbangan sampai akhirnya si Montok terlepas dari tangan. Sejurus Bima datang membelalak melihat Montok terpental, se-siap itu pula Siti menangkap tubuh mungil nan gempal si Montok dalam pelukan. Bima terkejut sama seperti Siti ketika gadis itu berhasil menyelamatkan nyawa Si bayi. Ada yang lebih menarik perhatian Bima lagi, hidung bengkok nan panjang milik Siti tiba-tiba saja berubah ke bentuk hidung manusia normal. Kerut pada kulitnya juga berkurang begitu cepat. Bagaimana mungkin?! Bima tidak habis pikir.
Telunjuk Bima bergetar saat menunjuk Siti. “Hi-hidung kamu!”
Siti terkesiap memegangi hidungnya seraya mengerjap tidak percaya.
“Sebenarnya saya tidak percaya pada dia.” Datok Ranggih melirik Siti berganti melirik tongkat sakti yang Siti pegang.“Datok, percayalah Siti tidak bermaksud--" kalimat Bima terjeda oleh Siti.“Bima, wajar bila ada yang tidak percaya pada saya,” Siti menyadari betul kebodohannya 600 tahun mempercayai Serintil.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang Lampir?” tanya Datok Ranggih masih menilik penjelasan Siti. “Apa kau ingin Bima membukakan pusaran waktu kembali?”“Apa kamu ingin kembali ke kehidupan lamamu Siti?” kini mata Bima berkaca-kaca. Dia tahu Siti masih terjebak pada zaman yang tidak seharusnya. Mungkinkah Siti masih ingin memperbaiki masa lalunya?“Saya ...” Siti menjeda kalimatnya. Dia memberikan tongkat saktinya pada Bima. “Pertama saya ingin mengembalikan tongkat pusaka ini pada negara.” Lalu dia menggenggam tangan Bima seraya memandangi kedua manik ma
“Ke mana dia pergi Malik?” tanya Datok Ranggih yang kini sudah berubah menjadi manusia.“Saya tidak tahu Datok. Dia sudah nekat! Saya cemas malah Uda Bima nanti yang terbawa tipu muslihat istrinya.”“Istrinya?! Apa maksud kau?” lelaki tua itu terkejut menilik Malik.Mengetahui kesalahannya Malik langsung membungkuk di depan gurunya. “Maaf Datok. Saya berhutang janji pada Uda Bima agar tidak mengatakan rahasia ini.”“Jelaskan pada saya apa maksud perkataan kau tadi!”“Sebelum Uda Bima tahu dirinya adalah Inyiak Balang. Dia sudah menikah dengan Lampir, Datok. Dia juga tidak tahu istri yang dia nikahi sebenarnya adalah Lampir.”Datok Ranggih hanya bisa menggeleng lemah. “Mengapa sedari kemarin kau tak bilang pada Datok! Tak tahukah kau, dengan melibatkan cinta nyawa Bima terancam. Lampir pandai merayunya, bertipu muslihat berpura-pura lemah di depan Bima sampai anak m
Dalam kabut hitam nan pekat, meski mata Siti memejam saat menyilangkan kedua kakinya di atas batu tempat sang guru dahulu sering bertapa. Mata batinnya melihat sesosok itu datang dari balik kabut hitam. Rambut putih, punggung bengkok, kulit keriput dan celak mata hitam. Serintil mengikik berjalan pelan ke arah Siti. “Bagaimana keadaanmu Lampir?” “Tidaklah baik Nek. Mengapa Nenek tidak pernah bicara kalau dialah Inyiak yang saya cari.” Mata Siti terus memejam, ya dia hanya bisa menemui Serintil lewat perantara mimpi atau bersemedi seperti sekarang. “Kau pikir aku lebih sakti dari Batara Kala? Aku sudah sering kali berkata padamu jangan sekali-sekali mempercayai manusia. Kau terperdaya pada cinta Siti, tidak ingatkah kau bertapa menyakitkannya leluhur Inyiak muda itu melukaimu. Mereka semua sama sebab dalam diri pemuda itu mengalir darah murni Inyiak, darah dari Kumbang si busuk itu! Sebelum dia terlanjur melukaimu, bunuh dia Lampir ... sebelum dia membunuhmu ... jebak dia dengan per
“Astagfirullah ... uda kenapa?” tanya Malik begitu Bima mendatangi tempat tinggalnya. Dadanya berdarah jalannya sempoyongan. Begitu masuk Bima langsung terduduk di lantai, dia mengeluarkan tusuk konde dari dalam kantungnya.“Saya ... saya sudah bertemu dia.” Bima memberikan tusuk konde itu pada Malik.“Lampir? Dia menusuk Uda?”Bima tidak menjawab, dia masih syok, linglung, entah apa lagi sebutannya. “Saya pikir dia akan langsung membunuh saya.”Malik menilik ujung tusuk konde itu kemudian mengendus. “Dia tidak membubuhkan racun bunga kalmia. Lampir selalu membubuhkan racun di setiap senjatanya.”Bima tertegun, berarti Siti memang tidak berniat membunuhnya. Jikalau dia memang ingin membunuh Bima saat itu. Lampir bisa menggunakan tongkat saktinya seperti yang dia lakukan pada Rodrigo dan Pram. Siti hanya menancapkan ujung tusuk konde kecil ke dada Bima. “Mengapa ... kami harus saling membunuh?” tanya Bima bersandar pada dinding.“Karena dia sudah berjanji akan membunuh semua keturuna
“Katakan di mana perempuan busuk itu?!” Pram menarik rambut Bima hingga kepalanya menengadah. Dia belum puas menyiksa Bima sampai lelaki itu bicara.“Saya tidak tahu!” Tentu saja Bima bisa langsung menghabisi mereka semua dengan kekuatan tersembunyinya andai kata dia boleh membunuh banyak orang tanpa takut jati dirinya terbuka.“Katakan! Atau saya akan menghabisimu perlahan!”“Lebih baik saya mati dari pada mengatakannya!”Pram menertawakan Bima. “Mana mungkin aku percaya pada polisi yang menyembunyikan seorang penyihir. Kalian pasti berkomplot dan kau Bima ... kau telah mencoreng institusi negara dengan menyembunyikan tongkat itu.”“Siti bukan penyihir! Dan kau yang telah berkhianat pada negara! Memalukan!” Bima membuang ludah mengenai Pram.“Beraninya kau!” Pram kembali menarik rambut Bima lalu berseru pada anak buahnya. “Siksa dia sampai bicara!&rdqu
“Sudah aku bilang kan Bima. Dia enggak mungkin bisa kabur kalau bukan agen mata-mata yang diberi perangkat canggih.” Pandangan Mena berkeliling ke segala penjuru. Memerhatikan slot jeruji yang masih utuh. Mencari cela untuk Siti kabur. Tidak ada, semua masih rapi seperti sediakala.“Saya akan mencarinya sendiri. Dia pasti menemui saya.” Bima tidak menyangka istrinya bisa menghilang lagi. Dia pun bingung bagaimana cara menghubungi gawai Siti. Tak ada guna, sebab gawai itu sudah hilang entah ke mana.Bima kembali ke rumah berharap bisa menemukan Siti, Tapi nihil. Dari rumah satu ke rumah lainnya Bima datangi, semua rumahnya yang berupa-rupa itu pun masih kosong tak ada jejak manusia. Bima meremas kepalanya pertanda lelah sudah menghinggapi dirinya. Bima teringat perkataan Malik tentang penyihir hitam yang mungkin saja mencelakai keluarga Bima bukan hanya klan inyiak saja. Sontak Bima bergegas mencari Malik, mungkin saja Siti diculik dengan makhluk gaib bukannya melarikan diri seperti pe