“Hah? Prof. Aditya?” pekik Sasha.
Ayah dan yang lainnya malah tersenyum, seolah-olah telah diberikan sein hijau untuk perjodohan ini. Sasha segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dirinya butuh air untuk meremdamkan rasa terkejutannya ini.
Beruntung, Bi Inah datang dan menyajikan minuman dengan cemilan yang terlihat sangat nikmat. Segera Sasha mengambilnya dari nampan Bi Inah. Sasha meminumnya dengan tandas.
“Masyaallah nikmatnya,” celetuk Sasha ketika segelas minuman tersebut habis, tak ada sisa. Mungkin jika kalau gelas tersebut bukan terbuat dari kaca, Sasha akan segera menghabiskannya juga.
“Kalian sudah saling kenal, ya?” tanya Tya sambil mengelus pundak Sasha dengan lembut. Ia juga tersenyum bahagia melihatnya.
Sasha hanya diam, bingung beraksi seperti apa. Kemudian, Sasha langsung memberikan senyuman saja menampilkan deretan giginya yang putih.
“Baguslah kalau sudah dekat. Kita bisa cepat mempersatukan mereka,” celetuk Bowo yang disebelahnya.
Uhuk!!
Sasha langsung tersedak air liurnya sendiri. Ia benar-benar tak menyangka dengan ungkapan dari Om Bowo kepadanya.
“Maaf Om, adik saya kan masih berusia 18 tahun. Apa gak terlalu cepat untuknya? Dia juga belum mengerti apapun tentang pernikahan bahkan masak saja masih sering asin,” celetuk Ariz berusaha membuat mereka mengulurkan waktu untuk pernikahan sang adik.
Sasha langsung melirik ke arah Ariz, ia tersenyum tipis. “Terimakasih abang, kau lah Monyet terbaikku,” ujar Sasha di dalam hatinya.
“Gak kok, umur 18 itu sudah memasuki tahap siap menikah. Dahulu tante saja, menikah dengan Om usia 17 tahun. Mana waktu itu juga tante gak bisa masak, eemosi juga gak stabil. Om Bowo juga belum punya apa-apa,” celetuk Tya sambil tersenyum penuh bangga.
“Ehem!” Sasha berdeham sejenak. “Maaf Om, tante. Lagian Prof juga pastinya gak mau terburu-buru dengan pernikahan ini. Prof juga belum tentu suka dengan saya—”
“–Kata siapa? Saya suka dengan kamu, kok! Untuk pernikahan pun, saya siap kalau diadakan bulan depan,” potong Prof. Aditya dengan cepat.
“Oalah asu!!” batin Sasha dengan wajah yang memerah padam. Manusia yang berada dihadapanya sungguh menjengkelkan. Belum selesai berbicara saja sudah dipotong. Hari ini mengapa dirinya telah mengalami kejadian yang begitu tak masuk akal, sih?
Sasha menghela nafas sambil mentapapnya sinis. Bukan ini yang Sasha inginkan. Tiba-tiba saja Sasha langsung teringat dengan kejadian tadi siang. Apakah Prof tengah membalas dendam padanya karena mobilnya itu? Pikiran itulah yang langsung ada dibenak Sasha.
“Nah kalau begitu, kita tinggal merancang acara pertunangan saja, bagaimana? Aditya juga sudah suka dengan anakmu, Wijaya. Tentunya kami sebagai orang tua juga langsung bahagia. Gak baik bukan kalau menunggu terus-menerus, apalagi Aditya umurnya sudah memasuki 28 tahun.”
“Hah? 28 tahun?!” teriak Sasha dengan suara yang begitu nyaring, membuat mereka langsung menengok ke arah Sasha.
“Ada apa, Nak?” tanya ibu dengan raut wajah kebingungan. Wajahnya nampak panik, ia segera meraih pergelangan tangan Sasha dan tangan kanan ibu memegang kening Sasha.
“Aku gak sakit, Bu,” gumam Sasha yang masih bisa di dengar oleh ibu.
Sasha, gadis itu benar-benar tak menyangka. Berarti jika ia melakukan pernikahan ini, jarak usia dari Prof. Aditya dengannya kurang lebih 10 tahunan. Hal itu membuat Sasha langsung terbayang dengan beberapa temannya yang mungkin saja akan membuat cibiran tentang dirinya yang nikah dengan seorang Om-om.
Astaga!
Memikirkannya saja, Sasha sudah bergedik ngeri, apalagi sampai terjadi. Bisa-bisa dia mati berdiri mendengar cibiran dari orang-orang yang mulutnya begitu pedas. Di tengoknya Prof. Aditya yang terlihat tampan jika dilihat oleh orang-orang. Pria itu nampak seperti orang yang berusia 20 tahunan. Tetapi, kumis tipis di wajahnya tak bisa berbohong.
“Iyah sudah, bagaimana kalau acara pertunangannya kita rancang minggu depan?” celetuk ayah begitu saja.
“Oke deal!” ujar mereka penuh antusias. Berbeda dengan Sasha dan Ariz yang nampak bergeming di tempat. Raut wajah mereka berdua terlihat tak berselera.
Sasha melirik ke arah Prof. Aditya lagi kemudian bergantian melirik ke arah yang lainnya. “Ayah, ibu. Om dan tante, boleh saya berbicara empat mata dengan Prof. Aditya?”
Mereka serentak mengangguk. “Tentu, sayang. Kalian bisa berbicara,” ujar Tya memberikan persetujuan.
Sasha bangkit lebih dahulu, disusul dengan Aditya yang terlihat penuh kebingungan dengan ucapan Sasha. Mereka berdua berjalan berjauhan menuju luar.
Langkah Sasha nampak terburu-buru, matanya langsung tertuju pada di kursi di depan rumahnya itu. Ia duduk lebih dahulu dan diikuti oleh Aditya. Mereka saling menatap satu sama lain menciptakan ketegangan yang melanda di luar. Padahal cuaca hari ini terlihat lebih sejuk dan hilir angin menerpa mereka.
“Prof, Kalau dendam sama saya bilang aja. Gak usah sok legowo menerima pernikahan ini!” celetuk Sasha dengan nada marah.
“Apakah raut wajah saya seperti dendam kepada mu?” Wajah Aditya terlihat sangat tenang. Berbeda dari sebelumnya.
“Iyah! Muka Prof menyebalkan. Pakai hukum saya buat artikel segala lah, mana besok harus selesai. Gimana saya bisa mengerjakannya?! Prof juga pastinya dendam sama saya berkali-kali lipat karena saya yang ngebuat mobil Prof kotor?!” cercah Sasha.
Namun, detik berikutnya Sasha melotot. Ia kecepolosan mengatakannya semuanya membuat Sasha langsung menggigit bibirnya kuat-kuat. Tak menyangka dengan emosinya yang kurang stabil hingga mengatakan sepenuhnya dengan jujur.
Aditya yang mendengar sontak tersenyum tipis tanpa sepengetahuannya. “Oh, jadi kamu yang membuat mobil saya seperti itu? Saya sih gak marah dan gak masalah!” ungkapnya tanpa eksperi.
Tumben sekali.
Padahal Sasha sudah menduga bahwa pria itu akan marah-marah namun, ternyata Aditya malah tidak beraksi apapun.
“Iyah saya yang melakukannya. Prof pasti kesel kan? Mau marahkan? Iya udah, marah aja dan putusin perjodohin ini. Saya masih kecil Prof masa harus menikah sama om-om sih,” cibir Sasha.
“Saya marah. Maka dari itu, saya menerima perjodohan ini. Jangan mimpi kalau saya akan menolaknya, Sasha. Lagian saya akan menjadi suami yang baik untukmu. Mengapa kamu terlihat tak begitu suka dengan saya?” tanyanya.
“Karena Prof itu menyebalkan! Semena-mena dengan mahasiswanya!”
“Asal sekali mulutmu. Baiklah saya akan menolak perjodohan ini tetapi, sebagai gantinya. Kamu harus bertanggung jawab atas mobil saya, atau kalau tidak. Saya akan memberikan tahunya kepada orang tua mu dan untuk tugas mu, saya minta tiga artikel! Besok pagi segera dikumpulkan kepada saya!” ancamnya.
“Prof gila?!” batin Sasha.
Sasha frustasi dibuatnya. Jika pria utu mengatakan sejujurnya kepada orang tuanya. Bisa-bisa Sasha mendapatkan hukuman yang lebih kejam dibandingkan dengan perjodohan ini. Pinkyu akan menjadi taruhannya dan uang jajan dirinya bisa tak dikasih selama berbulan-bulan.
“Jadi bagaimana, mau saya bilangin atau nurut ucapan ayahmu? Sebagai gantinya, tugas artikel mu tidak usah dikerjakan dan kamu tidak usah bertanggung jawab, atas perbuatan yang kamu lakukan dengan mobil saya.”
Sasha terdiam. Dirinya langsung pusing dengan pilihan yang diberikan olehnya. Ia merutuki dirinya sendiri yang begitu sangat bodoh.
"Aku brengsek. Sungguh, aku brengsek!"Kalimat itu pecah dari bibir Aditya, nyaris tak terdengar. Sebuah tetes air mata meluncur, membasahi gundukan tanah merah di hadapannya. Seperti ritual, ia selalu membawa sebuket bunga matahari, kesukaan Mira.Jemari Aditya mengusap lembut ukiran nama 'Mira Anasari' di batu nisan. Senyum pahit terukir di bibirnya, hatinya mencelos. Bayangan masa lalu yang kelam, terutama setelah kemunculan Arkan, kembali menghantui, mengaburkan akal sehatnya atas kesalahan bertahun-tahun silam.Napas berat meluncur dari dadanya, jemarinya menyeka sudut mata yang basah. "Aku sudah menikah dengan Sasha," bisiknya, suaranya tercekat. "Maaf, aku gagal mewujudkan impianmu melihatku bersanding dengan seorang istri."Setiap kata terasa seperti duri yang menusuk kerongkongannya. Ia memejamkan mata sejenak, menelan kepahitan, lalu berbalik, meninggalkan tempat itu.Udara di pemakaman terasa semakin menyesakkan, mengoyak jiwanya. Tubuhnya bergetar, mendesak untuk segera pe
Wajah Sasha memerah, panas menjalar hingga ke telinga saat tatapan mereka bertemu. Dengan gerakan canggung, ia bangkit perlahan dari posisi terjatuh. Pria di hadapannya ikut berdiri, ekspresinya datar tak terbaca, namun seulas senyum tipis tersungging di sudut bibirnya, lebih mirip seringai yang mengusik. "Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya pria itu, suaranya tenang. Sasha menyipitkan mata, meneliti. Pria ini asing, benar-benar tak familiar. Sepertinya ia baru pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini, atau setidaknya, di area ini. Aura formalitasnya terlalu kentara, tidak seperti mahasiswa kebanyakan. "Saya nggak apa-apa, Om. Lain kali, tolong lebih hati-hati," Sasha berusaha terdengar tegas, "Saya permisi dulu." Ia melangkah, buru-buru ingin menjauh dari situasi canggung ini. Namun, baru dua langkah, sebuah sentuhan lembut namun tak terduga menghentikan pergerakannya. Pergelangan tangannya digenggam. Sasha menoleh, matanya langsung terpaku pada jemari yang melingkar di kulitnya.
Tubuhnya membeku, setiap ototnya menegang. Aditya kehilangan kata-kata, matanya hanya mampu menyampaikan permohonan. Raut wajahnya yang putus asa, menggantikan wajah dinginnya yang dulu."Setelah membunuh Mira, kau di sini tertawa, menikah seolah tak terjadi apa-apa? Di mana hatimu?!" desis Arkan. Suaranya lirih, namun setiap katanya bagai racun yang merambat.Aditya menggeleng lemah. "Aku memang bersalah, Ar. Tapi, aku sudah membayar semuanya. Hidupku dipenuhi ketakutan. Apa itu belum cukup?""Cukup?! Kau pantasnya mendekam di penjara, bukan duduk tenang di kampus ini!" Arkan berdiri di hadapannya, wajahnya merah padam menahan amarah. "Lima tahun berlalu, lihat aku. Aku masih sendiri, tak bisa menggantikan Mira! Seharusnya, hari itu aku melamarnya. Tapi kau ... kau merenggut nyawanya, brengsek!"Dengan kasar, Arkan mencengkeram kerah kemeja Aditya. Matanya menyala, menatapnya penuh kebencian. "Untungnya, aku dipindahkan ke sini sebagai dosen."Mata Aditya membelalak. Ia tak salah den
"Pria itu? Raffi maksudnya?"Pertanyaan itu tergambar jelas di benak Sasha. Ia sudah menjawabnya, pria itu yang mana maksudnya? Namun, tak ada balasan apapun hingga jadwal kampus sudah usai begitu saja. "Apa sih, maksud dia itu?" gumam Sasha kembali. Tangannya terangkat, menyentuh Coffee late yang telah di pesan oleh Alya sejak tadi. Lalu, menyesepnya secara perlahan. Alya yang berada di dekatnya sontak memperhatikan raut ekspresi Sasha yang sungguh tak biasanya. Sahabatnya itu terlihat aneh. Dengan santainya, menepuk jidat Sasha kuat hingga menimbulkan suara yang terdengar cukup nyaring.Plak!Sasha terkejut. Ia menoleh dengan tatapan yang melotot tajam. Lalu, mengelus jidatnya yang memerah. "Alya …?!" pekiknya dengan nada setengah jengkel. "Ini kepala bukan mainan, kok main tepuk-tepuk aja, sih?!”"Alya terkekeh pelan. "Yah, habisnya kamu melamun aja. Kayak lagi mikirin suami tercinta … oh, atau jangan-jangan kamu mau malam pertamanya nanti malam, ya? Jadi, mikirin mau pakai baju
"Setelah lulus kuliah nanti, aku pengen jadi rektor dan kamu jadi dosennya, gimana?" tanyanya begitu bahagia. Senyum yang menghiasi wajah Mira terlihat begitu indah, membuatnya tanpa sadar ikut tersenyum bahagia. Bahkan, angin seolah tahu ada sosok bidadari di hadapannya hingga membuat rambutnya yang digerai berterbangan kesana-kemari. "Terus nanti aku akan menikah dengan seorang pria yang cukup tampan. Dan kamu, menikah dengan wanita yang orang tua kamu jodohkan. Setelah kita punya anak, aku ingin mereka sahabatan kayak kita, gimana?" Aditya tersenyum kembali, ia mengangguk kepala tanpa ragu. Meski semua itu terlampau jauh untuk mereka, tapi apa salahnya jika mengiyakan segala sesuatu hal yang baik? "Aku juga pengen lihat kamu wisuda ..., ih! Tapi aku mau-nya kita wisuda bersama aja. Kamu jangan coba-coba mendahului aku, ya!" pekik Mira kembali seraya menyenggol tangannya. Tanpa sadar, sekelebat ingatan tentang Mira kembali datang membuat matanya langsung berkaca-kaca. Ad
"Prof, sakit, kah?" ulang Sasha yang tak diberi jawaban.Aditya langsung terkejut mendengarnya. Tubuhnya langsung bergetar dengan kaki yang seperti ingin roboh. Aneh, hari ini dirinya begitu aneh.Atmosfer ruangan mendadak menjadi hening karena Aditya tak bisa menjawab sama sekali. Tubuhnya terlihat panik dengan kaki yang melangkah mundur. Keringat dingin tiba-tiba saja menyergap dirinya."Aku akan ke kamar mandi," ujar Aditya begitu terburu-buru dan langsung melesat pergi menuju kamar mandi.Melihat kepergian Aditya yang terlihat buru-buru. Sasha langsung terhenyak, merasa aneh dengannya. Padahal pria itu terlihat baik-baik saja bahkan terbilang dengan kalimat yang begitu sempurna. Tapi, hari ini, ia benar-benar seperti bukan dirinya."Kenapa Ayah menjodohkan aku sama dia, ya? Padahal ... kalau di pikir-pikir. Dia nggak tampan, aneh, dan biasa-biasa aja," ujar Sasha dengan raut wajah bertanya. Ayahnya begitu antusias untuk menjodohkan dirinya kepada pria itu. Oh, Sasha melupakan ses