Share

02 - Masih Enggan Menerima Keputusan

Feli sedikit terhenyak, lagi-lagi mendengar Nathen tiba-tiba berucap. Gegas ia menoleh ke arah calon suami tampannya yang kala itu berdiri di dekat dinding pembatas sembari menyandarkan tubuh.

Feli mendengkus geram seraya memutar bola mata jengah, tidak menggubris perkataan Nathen sebelumnya.

"Butuh bantuan?"

"Tidak. Terima kasih."

Nathen menundukan pandangan sembari tersenyum, kemudian berjalan menghampiri Feli.

Feli terhenyak, kala merasakan gaun pengantin yang ia kenakan ada yang menariknya pelan dari arah belakang.

Tanpa menoleh, gadis cantik itu memperhatikan Nathen yang berdiri di belakangnya melalui pantulan cermin di hadapan.

Nathen tersenyum miring, sebelum akhirnya memutuskan untuk membantu Feli menaikan zipper di punggungnya.

Sengaja membiarkan jemari jenjangnya melakukan kontak dengan punggung polos Feli, pribadi tampan itu menyentuh Feli dengan pergerakan lembut dan menggoda.

Feli sampai dibuat menahan napas, bersama dengan tubuh yang meremang, sebab merasakan sensasi dingin yang dihantarkan oleh jari tangan Nathen tadi.

"Kau seharusnya senang, karena keinginanmu untuk menikahiku akhirnya terkabul. Kenapa jadi mengeluh seperti ini?" Nathen membiarkan manik mata jelaganya menatap manik mata hazel indah Feli, lekat melalui pantulan cermin.

Feli menelan ludah kasar dengan susah payah. "Pa-Paman tahu, aku hanya bercanda."

Nathen terkekeh sambil menundukan pandangan, sesaat. "Tapi Ibuku menganggapnya serius."

Feli buru-buru berbalik, menghadap ke arah Nathen setelah pria tampan itu selesai membantunya. "Maka dari itu. Bicaralah lagi dengan Nenek, hemm? Katakan bahwa aku tidak bisa menikah denganmu, Paman. Katakan, bahwa malam itu aku tidak bersungguh-hungguh."

Feli menatap Nathen dengan tatapan lugu, memberi kesan lekat seperti tengah memelas. "Kumohon, Paman. Lagipula, Paman juga tidak mau kan, menikah denganku?"

Nathen tersenyum miring. "Siapa yang bilang?"

"Tidak ada. Tapi aku tahu. Paman kan sangat mencintai Vivian. Mana mungkin Paman mau menikah denganku. Iya, kan?"

Nathen terkekeh lagi. Ia membuang napas kasar, mengulurkan tangan, membiarkannya berlabuh di puncak kepala Feli, memberinya usapan. "Berhenti menerka-nerka, dan jadilah gadis yang patuh."

Melihat Nathen kala itu hendak berlalu, Feli buru-buru meraih tangannya, memeluknya erat, menahan kepergian sang paman. "Paman jangan seperti ini."

Nathen menunduk, menatap tangan Feli yang melingkar di lengannya beberapa saat. Ia kemudian menatap manik mata Feli, lekat. "Apa yang kau ingin aku lakukan?"

Feli tersenyum senang, sebab merasa ada secerca harapan, jika paman tampannya itu kali ini bersedia mendengarkan keluhannya dengan serius. "Aku ingin Paman membujuk Nenek agar membatalkan rencana pernikahan kita. Paman bisa melakukannya, kan?"

Nathen menaikan alis sebelah kirinya. "Kenapa aku harus melakukannya?"

Feli membuang napas kasar, merasa benar-benar kesal. "Karena aku tidak mau menikah dengan pria yang tidak mencintaiku."

Memutar tubuh, Nathen menghadap ke arah Feli seutuhnya. "Hanya itu?"

Bibir Feli mencebik lagi, bersama pandangan yang tertunduk, memutuskan kontak mata dengan Nathen. "Jika aku menikah dengan Paman, kekasihku bagaimana?"

"Putuskan saja. Mudah, bukan?"

Feli menengadah, menatap Nathen, tidak percaya. "Apa Paman serius?"

"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda bagimu?"

Feli mengerjapkan pelupuk mata secara berulang dengan lugunya.

"Putuskan hubunganmu dengan kekasihmu. Lalu menikah denganku. Itu mudah, kan?"

Pelukan Feli pada lengan Nathen perlahan lepas dengan sendirinya.

"Masalah soal cinta. Kau tidak perlu khawatir tentang itu." Nathen tiba-tiba mengambil satu langkah besar untuk mendekat ke arah Feli, mendekatkan wajahnya ke wajah gadis cantik di hadapan. Pria tampan itu menyeringai ngeri penuh arti, menatap Feli yang diam tergugu dari arah samping. "Karena bagiku, belajar mencintaimu ...," Nathen memberi jeda pada perkataannya yang ia bisikan tepat di samping daun telinga Feli.

Saking dekatnya jarak antara mereka, Feli bahkan sampai bisa merasakan embusan napas hangat Nathen menyapu permukaan pipinya.

Bingkai birai pria tampan itu bersentuhan dengan daun telinganya, membuat Feli diam membatu.

"Bukanlah perkara yang sulit, calon istriku yang cantik."

***

"Berhenti mengekoriku dan kembali ke kamarmu, Felicia!"

Nathen yang kala itu baru memasuki kamar hotelnya, menghentikan langkah, membuat Feli yang terus mengekorinya, melakukan hal yang sama.

Memutar tubuh, Nathen menghadap ke arah Feli seutuhnya, menatap keponakan yang akan segera merangkap menjadi istrinya itu dengan tatapan kesal.

"Jadi Paman akan begini sampai akhir?"

Suara Feli gemetar, manik mata hazel indahnya sudah berkaca, menatap Nathen sendu, menyorotkan rasa kecewa.

Tatapan Nathen meluruh. Pribadi tampan itu menggigit bibir bawahnya sesaat seraya menyugar surainya kebelakang, sebab geram. "Apa yang kau inginkan?"

"Paman tahu apa yang aku inginkan."

Nathen membuang napas kasar. "Kau sungguh ingin lari dari pernikahan kita?"

Feli mengangguk dengan lugunya, tanpa angkat suara, sebagai respon dari pertanyaan yang sang paman lontarkan.

"Lantas, apa yang akan kau lakukan setelahnya? Kau tidak masalah, jika keluarga besarmu, menanggung malu? Maksudku, keluarga besar kita?"

"Maka dari itu, aku meminta Paman untuk membicarakan ulang masalah pernikahan ini sebelumnya dengan Nenek. Tapi Paman keras kepala sekali. Sekarang bagaimana?"

Mati-matian mengabaikan rasa sesak yang menjalar di rongga dada, Feli menggigit bibir bawahnya yang sudah agak gemetar, sedikit kuat. "Besok adalah harinya. Tapi aku tidak mau menikah denganmu, Paman."

Manik mata jelaga Nathen menyalang, menatap Feli dengan tatapan tajam. "Kau sangat mencintai bajingan itu, huh? Sampai kau bersikeras tidak mau menerima pernikahan kita?"

Feli menundukan kepala, kemudian mengangguk secara perlahan.

Nathen mendengkus geram. "Sangat mustahil, Feli. Sangat mustahil bagi kita untuk membatalkan pernikahan ini."

Feli menengadah. Air mata yang sedari tadi sudah menggenang dalam pelupuknya dan mati-matian coba ia redam, akhirnya meleleh juga. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"

Nathen terdiam. Ia tergugu, menatap buliran air mata Feli meleleh, menganak sungai di wajah cantik keponakannya itu.

Feli menyeka kasar air matanya menggunakan kedua punggung tangan. "Aku bahkan belum berani memberi tahu Davian, jika besok aku akan menikah. Hubungan kami belum berakhir, Paman."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status