Sebuah mobil Rolls-Royce Phantom berwarna hitam tampak berhenti di lampu merah.
Seorang lelaki yang mengenakan setelan jas di balik kemudi, memperhatikan seseorang yang sudah tidak asing baginya. Wanita yang memakai kostum beruang cokelat, yang sedang beristirahat sambil meminum sebotol air mineral, telah mengalihkan perhatian Lie Zhichun sehingga ia tidak menyadari bahwa lampu lalu lintas sudah berwarna hijau. Hal itu menyebabkan pengemudi di belakangnya menyerang dengan klakson yang dibunyikan secara berulang. Lie Zhichun segera mengemudikan mobilnya, mencari tempat untuk parkir. Ia segera turun dari mobilnya, berjalan menghampiri Ana yang terlihat telah selesai beristirahat, dan kembali memakai kepala beruang untuk melanjutkan pekerjaannya, membagikan brosur pada beberapa orang yang melintas di trotoar jalan. Saat Ana memberikan selembar brosur pada seorang lelaki yang datang menghampirinya, Lelaki itu hanya menerima lembaran brosur tanpa beranjak dari tempatnya berdiri, membuat Ana merasa heran. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Lie Zhichun dengan suaranya yang terdengar tegas. "Tentu saja aku bekerja! Minggir! Jangan menghalangi aku!" Ana mendorong lelaki itu, sebelum ia kembali membagikan brosur pada orang-orang yang lewat di hadapannya. "Apakah uang 1 milyar itu tidak cukup untukmu?" Lelaki itu tiba-tiba berteriak, yang telah membuat perhatian orang-orang tersita pada keduanya. Ana menoleh. Ia memperhatikan lelaki itu secara lebih detail. Kedua matanya membelalak lebar. Bagaimana bisa, ia tidak mengenali lelaki yang telah terdaftar sebagai suaminya? Lie Zhichun dengan raut wajah yang kesal, menarik tangan Ana dengan kasar. Wanita itu berusaha memegangi kepala beruangnya yang hampir jatuh, dan dengan pasrah mengikuti ke mana suaminya akan membawanya. Keduanya masuk ke dalam mobil. Cukup lama keduanya hanya saling diam, membuat suasana menjadi tampak tegang dan kaku. Ana memberanikan diri untuk menatap wajah Lie Zhichun. Lelaki itu bergeming dengan tatapan kosong menatap ke depan sambil memegangi setir mobilnya. "Aku.... Butuh uang," ucap Ana dengan lirih, yang telah menyita perhatian Lie Zhichun. Lelaki itu tidak menyahut. Ia segera mengemudikan mobilnya ke jalanan yang ramai. "Meskipun kamu memberikan uang 1 milyar, aku tetap harus bekerja, kan?" Ana kembali menatap wajah Lie Zhichun yang tampak fokus mengendarai mobilnya. Hal itu membuat Ana merasa sedikit kikuk. "Kita sudah sampai!" ucap lelaki itu dengan dingin, tanpa menatap wajah Ana sedikit pun. "Baiklah, terimakasih atas tumpangannya," ujar Ana dengan nada yang terdengar putus asa. Baru saja ia hendak membuka pintu mobil, Lie Zhichun tiba-tiba menahannya. "Aku akan mencarikan posisi untukmu di Sky Group. Berhentilah melakukan pekerjaan yang akan membuatku merasa malu!" ucapnya dengan tegas. Seketika raut wajah Ana berubah. Senyumannya terlihat lebar. "Terimakasih banyak, Tuan...." "Tapi, kamu harus ingat! Perjanjian yang telah kamu tanda tangani, jangan sampai kamu melanggarnya! Rahasiakan identitasmu sebagai nyonya presdir. Karena pernikahan kita hanyalah pernikahan kontrak," kecam Lie Zhichun memberi peringatan pada Ana yang hanya menganggukkan kepalanya dengan cepat, sebelum ia turun dari mobil. *** Ana mematung selama beberapa saat, setibanya ia di rumah. Ia tampak terheran melihat barang-barangnya telah berada di luar. "Jia, apa yang terjadi?" tanya wanita itu, sesaat setelah sahabatnya keluar dari rumah. "Ana? Kamu baru pulang? " Jia menatap wajah wanita itu dengan datar. "Apa yang terjadi? Kenapa barang-barangku berada di luar? Apakah kita telah diusir oleh pemilik rumah? Kita akan pindah?" Serentetan pertanyaan terlontar begitu saja dari bibir Ana yang memperlihatkan raut kekhawatiran. "Memangnya suamimu tidak memberitahukannya padamu?" Jia menaikkan kedua alisnya menatap sahabatnya yang hanya menggelengkan kepalanya dengan perlahan. "Aku pikir, dia sudah memberitahumu." "Memangnya apa yang telah terjadi?" tanya Ana dengan wajah penasaran yang masih terpancar jelas. "Suamimu yang meminta aku untuk mengeluarkan barang-barangmu. Dia akan menyuruh orang untuk memindahkan barangmu ke rumahnya." Jia menatap sebentar ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 1 siang. "Sebaiknya kamu bersiap. Sebentar lagi, suamimu akan datang untuk menjemputmu," ucap wanita itu memperingati. Ana bergeming selama beberapa saat lamanya. Belum terjawab kebingungan yang melanda pikirannya, sebuah mobil Rolls-Royce phantom berwarna hitam tiba-tiba berhenti di depan rumah, yang telah menyita perhatian dari keduanya. Seorang lelaki yang tampak mengenakan setelan jas berwarna navy, turun dari mobil, dan menghampiri keduanya yang masih tampak terbengong. "Ana, kamu sangat beruntung bisa menikah dengan lelaki tampan dan kaya," bisik Jia sambil menyikut pelan lengan sahabatnya. Ana tak menggubris ucapan Jia. Dia masih terpaku memandangi Lie Zhichun yang telah berdiri di hadapannya. "Ayo!" ajaknya dengan raut wajah yang datar. Sekali lagi Jia menyikut lengan Ana, yang membuat lamunan wanita itu terberai. "Memangnya, kita mau ke mana?" tanya Ana yang terlihat ragu-ragu. "Pindah ke rumahku," tegas Lie Zhichun menjawab pertanyaan Ana, yang membuat kedua mata wanita itu membelalak dengan lebar. ***Ana duduk di meja yang berhadapan dengan kaca di Seesaw Coffee, tempat di mana ia sering menghabiskan waktunya, saat ia sedang banyak pikiran.Dengan ditemani secangkir coffee latte yang panas, cocok di saat cuaca mendung dan sedikit dingin. Ana menghirup aroma kopinya, sebelum ia menyeruputnya dengan perlahan.Tanpa ia sadari, sepasang mata tengah mengawasinya. Lelaki dengan tubuh yang tinggi dan sedikit kurus, duduk di depan meja barista sambil terus memperhatikannya. Ia sesekali membenarkan earbuds yang terpasang di telinganya, menunggu panggilan tersambung."Halo?" Suara wanita tua yang sudah tidak asing di telinganya, terdengar menyapanya dari seberang telpon."Halo, nyonya besar? Aku sudah menemukan wanita itu. Sepertinya dia sudah tidak mengingatku. Tadi saat kami bertemu di pintu masuk, dia hanya menatapku sebentar tanpa berbicara apa-apa," ucap Sekertaris Lie menjelaskan dengan panjang dan lebar."Bagaimana dengan cucuku? Apakah dia sudah menemukan calon pengantinnya?" tanya
"Sekertaris Lie, tolong bantu aku untuk mendapatkan seseorang yang memiliki golongan darah AB negatif, yang mau mendonorkan darahnya! Buat pengumuman bahwa kita akan memberikan uang satu milyar untuk orang itu," ucap wanita tua itu dengan antusias. Ia menatap wajah lelaki muda yang berada di sebelahnya dengan tatapan yang penuh dengan harap. Lelaki muda itu hanya menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Baru saja ia hendak pergi, Ana yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka dari balik tembok, memberanikan diri untuk muncul di hadapan mereka, yang membuat perhatian mereka tersita padanya. "Saya bersedia membantu! Kebetulan golongan darah saya AB negatif," ucap Ana yang membuat wanita tua itu membelalakkan kedua matanya dengan lebar. Sebuah senyuman tercetak jelas di raut wajah wanita tua itu. Ia segera meraih tangan Ana yang berdiri di hadapannya, dan menatap wajah wanita itu dengan kedua mata yang berbinar. "Aku tidak tahu siapa kamu? Dari mana asalmu, tapi aku sangat yakin
"Oh! Dari temanku, Nek," sahut Ana gugup. Wanita tua itu hanya manggut-manggut, sebelum ia mengajak Ana untuk kembali duduk di sofa. "Jadi, kamu masih belum ingat dengan Nenek?" tanya wanita tua itu hendak memastikan. Ana hanya menggelengkan kepalanya dengan perlahan. "Kita pernah bertemu di rumah sakit, saat hujan deras. Kalau tidak salah.... Kamu sedang membuat surat kesehatan untuk melamar pekerjaan," ucap wanita tua itu membantu Ana kembali menemukan ingatannya yang telah lama hilang. ~~~~ Hujan deras mengguyur kota Shenzhen di pagi hari. Ana yang setengah basah berlari-lari sambil berusaha menutupi bagian kepalanya. Ia berhenti di depan rumah sakit yang berada di pusat kota, sambil sesekali mengusap rok span hitam yang ia kenakan, yang tampak sedikit basah. Ana berjalan menuju ke bagian pendaftaran. Karena ia pertama kalinya datang ke rumah sakit, ia merasakan sedikit kebingungan di hadapan perawat yang saat itu sedang berjaga. "Ada yang bisa saya bantu,
"Nenek!" Zhichun bergegas menghampiri wanita tua yang mengenakan cheongsam berwarna kuning emas, yang baru saja keluar dari pintu kedatangan domestik. Wanita tua itu hanya tersenyum tipis, sambil mendorong koper berwarna hitam, yang segera diambil alih oleh Zhichun. Ana memperhatikan wanita yang rambut tampak berwarna abu-abu penuh dengan uban, yang di gulung menggunakan tusuk konde terbuat dari batu giok. Saat keduanya saling beradu pandang, Ana buru-buru memalingkan wajahnya. Ia merasa gugup di hadapan wanita tua yang terlihat jutek, galak dan juga cerewet. Wanita tua itu hanya tersenyum tipis, sebelum ia mengikuti langkah cucunya menuju ke mobil yang di parkir di halaman parkir bandara. Wanita tua itu duduk di sebelah kursi kemudi. Sesekali matanya menatap ke arah Ana lewat kaca spion yang berada di atasnya. Hal itu membuat Ana yang telah menyadarinya, menjadi salah tingkah. Mobil bergerak menuju keluar bandara, menembus jalanan yang padat dengan kecepatan rata-
Ana menghembuskan nafasnya dengan perlahan. Ia merasa tubuhnya sangat lemas, setelah ia melakukan transfusi darah. Dengan keadaan yang masih sempoyongan, Ana keluar dari ruangan. Wajahnya terlihat pucat menatap Zhichun yang sejak tadi menunggunya. "Kamu, baik-baik saja?" tanya lelaki itu yang mulai terlihat khawatir. "Ya, aku baik-baik sa ㅡ" Belum sempat Ana melanjutkan ucapannya, tubuhnya mendadak ambruk. Zhichun dengan cepat meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Ia menggendong Ana menuju ke unit gawat darurat untuk segera mendapatkan pertolongan. Petugas Nakes segera mengambil tindakan, memberikan cairan infus pada Ana yang tak sadarkan diri. Sementara Zhichun menunggui wanita itu dengan setia. Ia duduk di sebelah ranjang, tempat di mana Ana terbaring, sambil menatap wanita itu dengan tatapan mata yang dalam. Perhatian Zhichun segera tersita saat ia melihat pintu terbuka. Seorang lelaki muda, bergegas menghampiri ranjang Ana dengan raut wajah gelisah. "Ana? Ba
Ana mengemaskan beberapa pakaiannya untuk ia masukkan ke dalam tas ransel, sebelum ia meninggalkan kamarnya. Langkahnya terhenti saat kedua matanya menangkap sosok lelaki arogan yang berdiri di dekat tangga, menatapnya dengan sorot matanya yang tajam. Sambil meletakkan kedua tangannya di dalam saku celana, lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya menyelidik. Kedua matanya memperhatikan ransel hitam yang dikenakan oleh Ana. "Aku.... aku mau ke rumah sakit," jawabnya tergugup. Ia berusaha menghindari tatapan mata lelaki itu. "Untuk apa kamu pergi ke sana?" Lie Zhichun memicingkan kedua matanya, menatap Ana penuh curiga. "Temanku masuk ke rumah sakit, aku ingin menemaninya." "Temanmu? Siapa? Xiao Nai?" tanya lelaki itu menduga-duga. Kedua mata Ana seketika membelalak dengan lebar. "Bagaimana kamu tahu soal Xiao Nai?" Lie Zhichun tersenyum kecut. "Apakah terlalu sulit untuk mencari tahu tentang lelaki itu? Bahkan keluargamu yang berad
Wanita itu tertegun selama beberapa saat lamanya dengan kedua matanya yang tampak berkaca-kaca. Kedua matanya menatap Ana dan Xiao Nai secara bergantian. Belum sempat kedua orang itu berbicara untuk menjelaskan situasi, Jiang Jia bergegas berlalu dari hadapan keduanya. "Jia!" Baru saja Ana hendak menyusul langkah wanita itu, Xiao Nai dengan cepat menarik tangannya untuk menghentikan langkah Ana, yang segera menoleh menatap lelaki itu dengan penuh keheranan. "Jangan dikejar! Biarkan dia menyendiri untuk sementara waktu. Biarkan dia menenangkan pikirannya," ucap lelaki itu mencoba meyakinkan Ana yang hanya menggigit ujung bibirnya. "Apa benar, semua akan baik-baik saja?" gumam Ana sambil menatap kosong, jalan yang telah dilalui oleh Jiang Jia. *** Ana membuka pintu dengan raut wajahnya yang tampak lelah. Saat ia melangkah masuk ke dalam, ia dikejutkan dengan sosok yang sebelumnya tidak ia sadari berada di sofa. Lelaki yang masih mengenakan setelan jas lengkapnya, ber
Ana menundukkan wajahnya. Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan mata Xiao Nai. "Aku.... aku tidak mungkin menghianati Jia," ucap Ana ragu. "Bagaimana perasaanmu? Apakah kamu sama sekali tidak menyukaiku?" desak Xiao Nai yang tidak sabar menunggu jawaban dari wanita itu. "Ya, sejujurnya aku memang menyukaimu, tapi...." Belum sempat Ana melanjutkan ucapannya, Xiao Nai dengan cepat membungkam mulut Ana dengan sebuah kecupan mendalam di bibirnya, yang membuat Ana membelalakkan kedua matanya dengan lebar. Suasana di cafe yang sunyi tanpa pengunjung, membuat Ana terbawa gelora yang semakin membara. Cukup lama keduanya saling berpagut mesra, yang membuat Ana semakin menikmati kecupan itu. Tring!!! Bunyi lonceng yang tiba-tiba berbunyi, membuat keduanya tersentak, dan dengan cepat saling menjauh. Ada salah seorang pelanggan yang sepertinya melihat apa yang telah mereka lakukan. Hal itu membuat Ana dan Xiao Nai merasa kikuk dan salah tingkah. "Selamat dat
"Ana, Bagaimana menurutmu?" tegur Jiang Jia yang sekali lagi membuyarkan lamunan sahabatnya itu. "Apanya yang bagaimana?" Ana balik bertanya. Ia tampak tersenyum canggung. "Apakah aku katakan saja perasaanku pada Xiao Nai? Atau, tunggu dia nyatakan perasaannya?" Jia menatap wajah Ana dengan penuh harap. "Apa pun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu," ucap Ana dengan keterpaksaan. Sejujurnya ia merasa tidak rela jika Jiang Jia menyatakan perasaan pada Xiao Nai, yang pada akhirnya membuat mereka jadian. "Begitu ya? Kalau kamu mendukungku, aku akan menyatakan perasaanku pada Xiao Nai," ucap Jia dengan penuh semangat. Ana tersenyum kaku. Wajahnya tertunduk dalam. Ia tidak punya kuasa untuk melarang Jia melakukan hal itu. "Kamu ikut aku temui Xiao Nai ya?" ucap Jia secara tiba-tiba yang telah membuyarkan lamunan Ana. "Kamu mau menyatakannya sekarang?" Wanita itu sedikit terkejut mendengar keputusan Jia yang ia anggap terlalu cepat. "Bukankah semakin cepat semakin bagus?