Suasana di dalam mobil seketika menjadi hening dan kaku. Sesekali Ana menoleh ke arah Lie Zhichun yang tampak fokus mengemudikan mobil mewahnya.
Melihat raut wajah lelaki itu yang sangat dingin, membuat Ana tidak berani untuk mengatakan sepatah kata pun. Ia beberapa kali menarik nafas panjang, kemudian kembali ia hembuskan dengan perlahan. Begitu ia lakukan secara berulang, untuk menenangkan perasaannya yang sangat kacau. Ana mengumpulkan segenap keberaniannya untuk bertanya pada lelaki itu, agar ia mendapatkan jawaban dari rasa penasaran yang telah mengganggu pikirannya. "Anu.... Kenapa kamu mendadak meminta aku untuk pindah rumah?" tanyanya dengan sedikit keraguan. Ia melirik wajah Lelaki itu yang sama sekali bergeming. "Lebih mudah mengawasimu. Aku tidak ingin kamu melakukan hal konyol seperti kemarin yang akan membuatku kehilangan muka," jawabnya tanpa memalingkan sedikit pun tatapannya dari jalanan. Ana mengangguk pelan. "Tapi, kenapa kamu memilihku sebagai istri kontrak? Pasti ada banyak wanita cantik, cerdas dan juga wanita kaya yang ada di dekatmu kan? Dari sekian banyak wanita, kenapa kamu memilihku?" Ana menatap wajah Lie Zhichun dengan lekat. Jantungnya berdebar kencang, menunggu jawaban dari lelaki itu. "Entahlah. Kenapa dari sekian banyak wanita, Sekertaris Lie malah memilih wanita aneh sepertimu," jawabnya dengan tegas yang membuat Ana merasa sedikit kecewa. "Jadi, aku adalah pilihan Sekertaris Lie?" Ana kembali bertanya untuk memastikan. Tapi lelaki itu hanya bergeming, yang membuat suasana kembali menjadi kaku. Mobil yang dikendarai oleh Lie Zhichun, telah berhenti di depan sebuah rumah megah yang pada halaman depannya terdapat kolam mancur, yang membuat kedua mata Ana tampak berbinar. Ia terlihat sangat bersemangat. "Ini rumahmu?" Ana menatap wajah Lie Zhichun yang masih terlihat dingin tanpa ekspresi. Lelaki itu berjalan menuju ke pintu untuk membukakan kunci rumahnya. "Masuklah! Aku masih ada urusan di kantor," ucap lelaki itu dengan enggan. "Di rumah ini, kita tinggal dengan siapa?" tanya Ana dengan antusias. Ia menatap wajah Lie Zhichun dengan sorot matanya yang tajam, seolah tidak sabar menunggu jawaban dari lelaki itu. "Tidak ada. Hanya aku dan kamu," jawab lelaki itu dengan singkat. Hal itu membuat Ana seketika terdiam. Raut wajahnya dalam sekejap berubah. Ia menatap Lie Zhichun dengan penuh kekhawatiran. "Apa yang kamu pikirkan? Aku tidak memiliki hasrat padamu. Kamu jangan terlalu percaya diri!" tegas lelaki itu, saat ia menyadari apa yang tengah dipikirkan oleh Ana. "Ingat ya, kamu hanya boleh berada di lantai satu. Aku tidak mengijinkanmu untuk menginjakkan kakimu ke lantai dua. Jika kamu melanggarnya, aku akan mematahkan kedua kakimu," kecam Lie Zhichun dengan nada yang mengancam, sebelum lelaki itu beranjak pergi dari hadapan Ana. *** Ting Tong Ting Tong Suara bel yang berbunyi beberapa kali dengan sangat nyaring, telah membangunkan Ana dari tidurnya. Ia tersentak saat ia menyadari bahwa ia tertidur di sofa dengan TV yang masih menyala. Ana menatap ke arah jam yang tergantung di dinding. Waktu telah menunjukkan pukul 5 sore. Ana segera beranjak dari tempatnya untuk membukakan pintu. "Siapa ya?" tanyanya dengan heran, saat ia melihat seorang wanita yang mengenakan dres berwarna biru elektrik, tampak berdiri membelakanginya sambil menjinjing tas bermerek berwarna cokelat. Wanita itu segera memutar tubuhnya, menatap Ana dengan heran. Ia memperhatikan Ana dari ujung rambut hingga ujung kakinya dengan sorot mata yang tajam. "Seharusnya aku yang bertanya padamu! Siapa kamu? Kenapa kamu ada di rumah putraku?" Wanita itu bertanya dengan nada suaranya yang meninggi. "Jadi.... Kamu adalah mama mertuaku?" tanya Ana hendak memastikan. Ia tampak ragu-ragu memandangi wajah wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya sambil menyilangkan kedua tangannya di atas dada. "Apa maksudmu? Mama mertua? Jangan lancang kamu! Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Kedua mata wanita itu tampak melotot menatap Ana yang mulai merasa khawatir. Ia menundukkan wajahnya untuk menghindari pandangan yang terlihat mengerikan. "Aku tidak tahu." Ana menggelengkan kepalanya dengan lemah. Wanita itu bergeming. Ia memicingkan kedua matanya menatap Ana yang masih tertunduk. "Aku adalah Zhao Erxi, Mama Lie Zhichun ㅡ pewaris Sky Group," jawabnya sambil tersenyum remeh pada Ana. "Aku adalah Ana Maria, istri dari Lie Zhichun," sahut Ana dengan polos, yang membuat wanita itu hampir tumbang karena merasa shock. "Apa kamu bilang? Istri? Sejak kapan putraku menikah denganmu? " Suaranya terdengar lantang, yang membuat Ana kembali menundukkan wajahnya. ***Ana duduk di meja yang berhadapan dengan kaca di Seesaw Coffee, tempat di mana ia sering menghabiskan waktunya, saat ia sedang banyak pikiran.Dengan ditemani secangkir coffee latte yang panas, cocok di saat cuaca mendung dan sedikit dingin. Ana menghirup aroma kopinya, sebelum ia menyeruputnya dengan perlahan.Tanpa ia sadari, sepasang mata tengah mengawasinya. Lelaki dengan tubuh yang tinggi dan sedikit kurus, duduk di depan meja barista sambil terus memperhatikannya. Ia sesekali membenarkan earbuds yang terpasang di telinganya, menunggu panggilan tersambung."Halo?" Suara wanita tua yang sudah tidak asing di telinganya, terdengar menyapanya dari seberang telpon."Halo, nyonya besar? Aku sudah menemukan wanita itu. Sepertinya dia sudah tidak mengingatku. Tadi saat kami bertemu di pintu masuk, dia hanya menatapku sebentar tanpa berbicara apa-apa," ucap Sekertaris Lie menjelaskan dengan panjang dan lebar."Bagaimana dengan cucuku? Apakah dia sudah menemukan calon pengantinnya?" tanya
"Sekertaris Lie, tolong bantu aku untuk mendapatkan seseorang yang memiliki golongan darah AB negatif, yang mau mendonorkan darahnya! Buat pengumuman bahwa kita akan memberikan uang satu milyar untuk orang itu," ucap wanita tua itu dengan antusias. Ia menatap wajah lelaki muda yang berada di sebelahnya dengan tatapan yang penuh dengan harap. Lelaki muda itu hanya menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Baru saja ia hendak pergi, Ana yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka dari balik tembok, memberanikan diri untuk muncul di hadapan mereka, yang membuat perhatian mereka tersita padanya. "Saya bersedia membantu! Kebetulan golongan darah saya AB negatif," ucap Ana yang membuat wanita tua itu membelalakkan kedua matanya dengan lebar. Sebuah senyuman tercetak jelas di raut wajah wanita tua itu. Ia segera meraih tangan Ana yang berdiri di hadapannya, dan menatap wajah wanita itu dengan kedua mata yang berbinar. "Aku tidak tahu siapa kamu? Dari mana asalmu, tapi aku sangat yakin
"Oh! Dari temanku, Nek," sahut Ana gugup. Wanita tua itu hanya manggut-manggut, sebelum ia mengajak Ana untuk kembali duduk di sofa. "Jadi, kamu masih belum ingat dengan Nenek?" tanya wanita tua itu hendak memastikan. Ana hanya menggelengkan kepalanya dengan perlahan. "Kita pernah bertemu di rumah sakit, saat hujan deras. Kalau tidak salah.... Kamu sedang membuat surat kesehatan untuk melamar pekerjaan," ucap wanita tua itu membantu Ana kembali menemukan ingatannya yang telah lama hilang. ~~~~ Hujan deras mengguyur kota Shenzhen di pagi hari. Ana yang setengah basah berlari-lari sambil berusaha menutupi bagian kepalanya. Ia berhenti di depan rumah sakit yang berada di pusat kota, sambil sesekali mengusap rok span hitam yang ia kenakan, yang tampak sedikit basah. Ana berjalan menuju ke bagian pendaftaran. Karena ia pertama kalinya datang ke rumah sakit, ia merasakan sedikit kebingungan di hadapan perawat yang saat itu sedang berjaga. "Ada yang bisa saya bantu,
"Nenek!" Zhichun bergegas menghampiri wanita tua yang mengenakan cheongsam berwarna kuning emas, yang baru saja keluar dari pintu kedatangan domestik. Wanita tua itu hanya tersenyum tipis, sambil mendorong koper berwarna hitam, yang segera diambil alih oleh Zhichun. Ana memperhatikan wanita yang rambut tampak berwarna abu-abu penuh dengan uban, yang di gulung menggunakan tusuk konde terbuat dari batu giok. Saat keduanya saling beradu pandang, Ana buru-buru memalingkan wajahnya. Ia merasa gugup di hadapan wanita tua yang terlihat jutek, galak dan juga cerewet. Wanita tua itu hanya tersenyum tipis, sebelum ia mengikuti langkah cucunya menuju ke mobil yang di parkir di halaman parkir bandara. Wanita tua itu duduk di sebelah kursi kemudi. Sesekali matanya menatap ke arah Ana lewat kaca spion yang berada di atasnya. Hal itu membuat Ana yang telah menyadarinya, menjadi salah tingkah. Mobil bergerak menuju keluar bandara, menembus jalanan yang padat dengan kecepatan rata-
Ana menghembuskan nafasnya dengan perlahan. Ia merasa tubuhnya sangat lemas, setelah ia melakukan transfusi darah. Dengan keadaan yang masih sempoyongan, Ana keluar dari ruangan. Wajahnya terlihat pucat menatap Zhichun yang sejak tadi menunggunya. "Kamu, baik-baik saja?" tanya lelaki itu yang mulai terlihat khawatir. "Ya, aku baik-baik sa ㅡ" Belum sempat Ana melanjutkan ucapannya, tubuhnya mendadak ambruk. Zhichun dengan cepat meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Ia menggendong Ana menuju ke unit gawat darurat untuk segera mendapatkan pertolongan. Petugas Nakes segera mengambil tindakan, memberikan cairan infus pada Ana yang tak sadarkan diri. Sementara Zhichun menunggui wanita itu dengan setia. Ia duduk di sebelah ranjang, tempat di mana Ana terbaring, sambil menatap wanita itu dengan tatapan mata yang dalam. Perhatian Zhichun segera tersita saat ia melihat pintu terbuka. Seorang lelaki muda, bergegas menghampiri ranjang Ana dengan raut wajah gelisah. "Ana? Ba
Ana mengemaskan beberapa pakaiannya untuk ia masukkan ke dalam tas ransel, sebelum ia meninggalkan kamarnya. Langkahnya terhenti saat kedua matanya menangkap sosok lelaki arogan yang berdiri di dekat tangga, menatapnya dengan sorot matanya yang tajam. Sambil meletakkan kedua tangannya di dalam saku celana, lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya menyelidik. Kedua matanya memperhatikan ransel hitam yang dikenakan oleh Ana. "Aku.... aku mau ke rumah sakit," jawabnya tergugup. Ia berusaha menghindari tatapan mata lelaki itu. "Untuk apa kamu pergi ke sana?" Lie Zhichun memicingkan kedua matanya, menatap Ana penuh curiga. "Temanku masuk ke rumah sakit, aku ingin menemaninya." "Temanmu? Siapa? Xiao Nai?" tanya lelaki itu menduga-duga. Kedua mata Ana seketika membelalak dengan lebar. "Bagaimana kamu tahu soal Xiao Nai?" Lie Zhichun tersenyum kecut. "Apakah terlalu sulit untuk mencari tahu tentang lelaki itu? Bahkan keluargamu yang berad
Wanita itu tertegun selama beberapa saat lamanya dengan kedua matanya yang tampak berkaca-kaca. Kedua matanya menatap Ana dan Xiao Nai secara bergantian. Belum sempat kedua orang itu berbicara untuk menjelaskan situasi, Jiang Jia bergegas berlalu dari hadapan keduanya. "Jia!" Baru saja Ana hendak menyusul langkah wanita itu, Xiao Nai dengan cepat menarik tangannya untuk menghentikan langkah Ana, yang segera menoleh menatap lelaki itu dengan penuh keheranan. "Jangan dikejar! Biarkan dia menyendiri untuk sementara waktu. Biarkan dia menenangkan pikirannya," ucap lelaki itu mencoba meyakinkan Ana yang hanya menggigit ujung bibirnya. "Apa benar, semua akan baik-baik saja?" gumam Ana sambil menatap kosong, jalan yang telah dilalui oleh Jiang Jia. *** Ana membuka pintu dengan raut wajahnya yang tampak lelah. Saat ia melangkah masuk ke dalam, ia dikejutkan dengan sosok yang sebelumnya tidak ia sadari berada di sofa. Lelaki yang masih mengenakan setelan jas lengkapnya, ber
Ana menundukkan wajahnya. Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan mata Xiao Nai. "Aku.... aku tidak mungkin menghianati Jia," ucap Ana ragu. "Bagaimana perasaanmu? Apakah kamu sama sekali tidak menyukaiku?" desak Xiao Nai yang tidak sabar menunggu jawaban dari wanita itu. "Ya, sejujurnya aku memang menyukaimu, tapi...." Belum sempat Ana melanjutkan ucapannya, Xiao Nai dengan cepat membungkam mulut Ana dengan sebuah kecupan mendalam di bibirnya, yang membuat Ana membelalakkan kedua matanya dengan lebar. Suasana di cafe yang sunyi tanpa pengunjung, membuat Ana terbawa gelora yang semakin membara. Cukup lama keduanya saling berpagut mesra, yang membuat Ana semakin menikmati kecupan itu. Tring!!! Bunyi lonceng yang tiba-tiba berbunyi, membuat keduanya tersentak, dan dengan cepat saling menjauh. Ada salah seorang pelanggan yang sepertinya melihat apa yang telah mereka lakukan. Hal itu membuat Ana dan Xiao Nai merasa kikuk dan salah tingkah. "Selamat dat
"Ana, Bagaimana menurutmu?" tegur Jiang Jia yang sekali lagi membuyarkan lamunan sahabatnya itu. "Apanya yang bagaimana?" Ana balik bertanya. Ia tampak tersenyum canggung. "Apakah aku katakan saja perasaanku pada Xiao Nai? Atau, tunggu dia nyatakan perasaannya?" Jia menatap wajah Ana dengan penuh harap. "Apa pun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu," ucap Ana dengan keterpaksaan. Sejujurnya ia merasa tidak rela jika Jiang Jia menyatakan perasaan pada Xiao Nai, yang pada akhirnya membuat mereka jadian. "Begitu ya? Kalau kamu mendukungku, aku akan menyatakan perasaanku pada Xiao Nai," ucap Jia dengan penuh semangat. Ana tersenyum kaku. Wajahnya tertunduk dalam. Ia tidak punya kuasa untuk melarang Jia melakukan hal itu. "Kamu ikut aku temui Xiao Nai ya?" ucap Jia secara tiba-tiba yang telah membuyarkan lamunan Ana. "Kamu mau menyatakannya sekarang?" Wanita itu sedikit terkejut mendengar keputusan Jia yang ia anggap terlalu cepat. "Bukankah semakin cepat semakin bagus?