Raka memutuskan pulang setelah tiga hari di Bandung. Tak dihiraukan rengekan Aina yang memintanya tinggal lebih lama. Sungguh pikirannya tak pernah lepas dari Shinta. Dia gelisah, merasakan sikap Shinta yang berubah sejak dua hari kemarin. "Apa karena aku tidak memberi kabar padanya seharian? Ya, Shinta pasti berubah karena itu. Istriku itu pasti marah karena aku tak mengabarinya seharian kemarin," bathinnya. Raka tiba di rumah hampir tengah malam. Shinta sudah terlelap. Dia tak tega membangunkan istrinya yang sedang pulas. Setelah membersihkan diri, Raka naik ke ranjang dan ikut berbaring di samping Shinta. Laki-laki itu melingkarkan tangannya pada perut wanita yang beberapa hari ini selalu memenuhi kepalanya. "I miss you," bisiknya, kemudian mengecup kening Shinta cukup lama. ----- Shinta terjaga saat pagi tiba. Dirinya terkejut ketika merasakan hembusan napas teratur di belakang tengkuknya. Sebuah tangan kekar melingkar erat di perutnya. Perlahan dia membalikkan tubuh. Saat i
"Shinta, kenapa kamu tidak meminta pendapatku dulu? Kenapa langsung tanda tangan kontrak?" tanya Raka kesal. "Aku yakin dengan perusahaan ini, Mas." Raka menghela napas kasar "Baiklah. Aku akan menemanimu hari ini." Shinta tak menyahut. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa pemilik perusahaan itu adalah Reinhard. Tak ingin berdebat dengan suaminya pagi ini, Shinta memilih diam. Biar nanti Raka akan mengetahuinya sendiri. Setelah memastikan Kaisar baik-baik saja, Shinta mencium bocah lucu menggemaskan yang masih terlelap di atas tempat tidurnya. Anak laki-lakinya itu sudah mulai pandai berbicara. Satu hal yang membuatnya selalu merindukan bocah lucu itu. "Ayo berangkat, Mas!" ajak Shinta setelah mereka sarapan. "Kenapa terburu-buru, Sayang?" Raka masih sibuk dengan ponselnya. "Aku hanya berusaha untuk disiplin. Bukankah kamu yang mengajarkanku begitu?" Raka menyadari, Maira sekarang sangat berbeda dengan Maira yang dulu. Kini istrinya itu tampak lebih elegan, profesional dan berke
Raka berjalan maju beberapa langkah untuk mengetahui lebih jelas. Tiba-tiba wajahnya menggelap dengan kedua tangannya mengepal kencang. Jantungnya berdetak cepat dengan napas yang memburu. "Rein ...!" geramnya. Dari jarak beberapa meter Raka memperhatikan kedekatan antara istrinya dan Rein. Suami Shinta itu duduk pada meja yang agak tersembunyi dan tidak mudah terlihat dari tempat Shinta dan Rein duduk. Memang tidak ada yang istimewa. Namun Shinta terlihat sangat rileks dan nyaman berbincang dengan Rein. Raka heran. Kenapa Istrinya itu sama sekali tidak takut pada Rein. Jelas-jelas pria itu pernah menjadi ancaman untuknya. Bahkan Rein pernah masuk penjara. Raka bangkit hendak menghampiri mereka. Namun tiba -tiba langkahnya terhenti. Bagaimana jika Rein nanti membongkar rahasianya pada Shinta? Bagaiman jika Rein menceritakan pertemuannya di Bandung kemarin? Akhirnya Raka memutuskan mengurungkan niatnya untuk menghampiri istrinya. Setelah menyadari begitu banyak panggilam tak ter
Shinta melihat kekecewan pada Rein. Dia dapat merasakannya. Namun memang itu jawaban yang harus dia katakan. "Baiklah. Terima kasih untuk meeting kali ini. Aku tunggu kabar berikutnya." Shinta berdiri dan bersiap hendak pergi. "Aku antar!" Rein ikut berdiri "Tidak usah. Seperti biasa, Aku pakai supir."tegas shinta seraya menangkupkan kedua tangannya di dada, kemudian berbalik meninggalkan Rein. Pria tampan yang tingginya di atas rata-rata itu hanya bisa menatap punggung wanita yang selalu mengisi hatinya, hingga menghilang di balik pintu kaca restauran ini. --------- "Maira, aku ingin bicara." Raka tiba-tiba masuk dan menghampiri Shinta yang masih berkutat dengan laptopnya. "Siapa sebenarnya pemilik Anggada Jaya?" tanya Raka berapi-api. Pria itu tak bisa menyembunyikan emosinya. Sementara Shinta masih tenang. Pandangannya masih fokus pada layar laptop di hadapannya. "Mas mau tau aja apa mau tau banget?" jawab Shinta berusaha meredam emosi suaminya. Dia menduga Raka sudah tah
Raka kembali mengatakan hendak ke Bandung pagi ini. Seperti biasa, Shinta membantu menyiapkan pakaian dan segala sesuatu untuk keperluan suaminya.Walaupun sebagai pemilik tunggal sebuah perusahaan besar, Shinta tetaplah seorang istri. Dia masih punya kewajiban mengurus suaminya. Inilah salah satu yang membuat Raka kagum pada wanita itu. Shinta selalu mengurusnya dengan baik. "Berapa hari, Mas?" tanya wanita itu seraya menutup koper yang sudah selesai ditata isinya. "Mungkin tiga hari," sahut Raka yang masih sibuk membalas pesan pada ponselnya. Shinta yang sejak tadi juga sudah rapi dengan pakaian kantornya, juga akan bersiap-siap hendak ke kantor. "Nyetir sendiri lagi, Mas?" Raka mengangguk. Shinta sudah menduga jawaban dari Raka. Tentu Raka tak ingin diketahui siapapun tentang apa yang dia lakukan di Bandung. Diam-diam Shinta telah memesan taksi dan meminta pengemudinya menunggu di seberang rumahnya. Setelah selesai sarapan, Raka yang nampak terburu-buru bergegas pergi. Tan
Sungguh ia tak percaya akan melihat Aina di sini. Jantungnya berdetak cepat melihat Aina yang tampak jauh lebih cantik dan seksi. Hatinya semakin gelisah ketika langkah wanita itu menuju arah meja tempat suaminya berada. Hatinya memanas kala suaminya berdiri menyambut kedatangan wanita berpakaian ketat dan terbuka itu. Tak terasa air mata mulai mengalir dari kedua sudut netranya. Kali ini hatinya terasa remuk redam saat kemudian wanita itu menghambur ke dalam pelukan suaminya. Mereka begitu mesra. Shinta merasakan dadanya penuh sesak, seakan dihimpit batu besar. Aina, wanita masa lalu Raka. Wanita yang dulu sangat dekat dengan suaminya ketika mereka kuliah di luar negri. Sampai-sampai Aina hamil oleh Raka. Beruntung Aina keguguran, hingga perbuatan yang memalukan itu tidak sampai terdengar oleh keluarga mereka. Namun wanita itu tak pernah bisa melupakan Raka. Apapun akan dia lakukan untuk bisa kembali bersama Raka. Sepasang manusia yang sedang bermesraan itu tak menyadari ada hat
"Raka, jika kamu tetap mengejar perempuan itu, Aku akan bongkar semua rahasiamu sekarang juga!" Raka terperanjat, tiba-tiba saja Aina sudah berada di belakangnya. "Dia istriku, Aina!" sahut Raka dengan suara meninggi. "Aku juga istrimu! Apa kamu lupa, hah?"Aina berdiri dengan sombong seraya melipat kedua tangannya di bawah dada. Sorot matanya tajam semakin tampak angkuh dengan gaya rambutnya yang berkibar. Raka meremas rambutnya sendiri. Dalam hatinya tak henti-hentinya merutuki diri yang tak sanggup melawan Aina. Ancaman demi ancaman yang perempuan itu ucapkan membuatnya tak berdaya hingga mengabaikan Shinta, Istri sahnya. Raka dan Aina kembali ke meja mereka. Dalam hatinya Raka berdoa semoga Shinta baik-,baik saja. Dia yakin Istrinya ke Bandung pasti dengan supir. Mungkin dia akan menghubungi supirnya itu nanti untuk menanyakan keadaan Shinta. "Aina, sampai kapan kamu selalu akan mengancamku seperti ini? Semua keinginanmu sudah aku turuti. Bahkan aku rela menikahimu, meningg
"Siapkan laporan keuangan selama enam bulan terakhir. Aku ingin lebih detail dan rinci. Bukan garis besar seperti yang kamu berikan beberapa hari yang lalu." Said tampak kebingungan. Wajahnya memucat.Tubuhnya mulai gemetar. Shinta terheran dan menatap tajam pada pria tinggi berkacamata itu. "Kenapa diam? Ada apa sebenarnya?" Shinta melipat tangannya di dada dan memiringkan kepalanya. Sorot mata tajam seakan menyelidik, masih tertuju pada Said. "Eeh ... t-tidak ada apa-apa, Bu. S-saya siapkan dulu. Permisi!" Said memutar badannya dan langsung melangkah keluar. "Sudah kuduga. Pasti ada yang tidak beres," pikir Shinta. Shinta Humaira, mulai hari ini dia akan datang ke kantor setiap hari setelah mencurigai adanya skandal antara suaminya dan Aina, wanita masa lalu Raka. Sebagai pemilik tunggal PT Eternal Group, Shinta akan memeriksa satu persatu kondisi keuangan semua anak perusahaannya. Pagi itu, tanpa kehadiran Raka, Shinta hendak mengadakan rapat besar dengan semua pimpinan da