Halo Readers, untuk informasi seputar novel-novelku, bisa follow instagramku di @lucyamadeusofficial. Thank you.
"Marvin, setelah sampai di atas nanti, tolong bantu aku untuk memberikan akses lift dan juga akses pintu masuk pada Nona Flynn," ujar Lee ketika mereka berada di dalam lift yang sedang bergerak menuju ke penthouse. Marvin sempat terkejut dengan ucapan Lee, tetapi dengan cepat ia berhasil menyembunyikan hal tersebut. "Baik, Tuan," jawab Marvin. "Eh? Akses lift dan pintu masuk?" timpal Charlene yang terlambat mencerna ucapan Lee, sembari menunjukkan raut wajahnya yang terlihat bingung. Gadis itu menatap ke samping, tempat di mana Lee berada satu langkah di depannya. Hanya bagian belakang tubuh Lee yang bisa ia lihat karena pria itu tidak berniat menoleh. Charlene lantas melirik Marvin, meskipun ia tahu jika hal itu tidak ada gunanya karena Marvin juga pasti tidak akan mengatakan apa-apa tanpa persetujuan dari Lee. Memang baru beberapa hari dia bekerja sebagai asisten Lee, tetapi ia sudah hafal dengan beberapa hal, termasuk karakter Lee dan Marvin. "Kenapa? Kau tinggal di sini, tent
Charlene mengembuskan napas berat kala melihat surat balasan dari bank. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa. Haruskah ia meminta bantuan pada Axel? Tidak. Ia tidak bisa melakukan hal itu. Berulang kali Charlene tergoda untuk meminta bantuan Axel, tetapi berulang kali pula ia mengurungkan niatnya. Namun, ia sendiri juga tidak memiliki jalan keluar. Bank telah menyatakan rumah tersebut akan segera dilelang, jika Charlene tidak membayar cicilannya saat jatuh tempo nanti.Charlene kembali mengembuskan napas berat sebelum menutup layar laptopnya. Ia lantas beranjak dari sofa. Tujuannya adalah ke kamar Lee. Itu merupakan satu-satunya cara yang terpikir oleh Charlene. Ia tidak punya pilihan lain. Charlene pun segera menekan bel beberapa kali begitu tiba di depan kamar Lee. Ia melipat kedua tangannya di dada sembari berjalan mondar-mandir dengan tidak sabaran. Saat pintu tak kunjung juga dibuka, Charlene lantas menekan bel beberapa kali lagi. Ia mundur dan membalikkan tubuhnya. Bruk!
Charlene terbangun di akhir pekan itu karena dering dari ponselnya. Ia menjulurkan tangan untuk meraih ponsel yang ada di samping nakas dengan mata masih menutup. Dalam keadaan setengah sadar, ia menempelkan telepon genggam tersebut ke telinganya tanpa melihat nama yang tertera di layar. "Ada apa? Bukankah ini masih pagi dan hari libur?" tanya Charlene dengan suara yang terdengar malas. Ia tidak tahu untuk apa Lee memanggilnya pagi-pagi begini. "Ehem!" Terdengar suara deheman dari seberang sana. "Aku merindukanmu. Apa tidak boleh?" lanjut suara tadi.Sontak kedua mata Charlene terbuka lebar. Rasa kantuknya mendadak lenyap. "Ax-Axel?" "Iya." Axel menjeda sedetik. "Memangnya kau pikir siapa?" selidik calon suami Charlene itu. Charlene bergegas menyibak selimut dan mengangkat tubuhnya dari tempat tidur. Ia menurunkan kaki telanjangnya ke atas lantai, mendudukkan dirinya di tepi ranjang."Aku pikir tadi adalah bosku," ujar Charlene sembari memijat pelan tengkuknya yang terasa sediki
Lee sebenarnya tidak berencana untuk bangun sepagi biasanya karena di akhir pekan itu, dia tidak memiliki pertemuan ataupun undangan. Namun, telepon dari ibunya, telah membuatnya terjaga. "Lee!" panggil Hana, Ibunya dengan suara yang lantang, membuat pria itu terpaksa menjauhkan ponsel dari telinganya dalam keadaan mata masih tertutup. "Apa kau ingin membuat Ibu menunggu sampai karatan karena kau tidak kunjung menelepon?" Agh! Lee sungguh telah melupakan janjinya itu karena akhir-akhir ini dia terlalu sibuk. Sibuk dengan pekerjaan dan juga sibuk dengan asisten barunya. Charlene. "Kenapa kau tidak menjawab? Sedang mencari alasan, hah?!" tuding Hana. "Hari itu kau pergi dengan terburu-buru, padahal Ibu baru tiba di penthouse-mu dan ingin bicara. Lalu kau bilang akan menelepon ibu. Ternyata kau tidak melakukannya." Hana mengomel panjang lebar. Well, hari di mana terakhir kali Hana datang berkunjung ke penthouse-nya, memang Lee pergi dengan tergesa-gesa menuju ke penjara untuk bertemu
Charlene menutup pintu kamar dan menyandarkan tubuhnya di sana dengan gemetaran. Ia menatap tangannya yang terasa amat sangat dingin. Sulit dia percaya, untuk pertama kalinya ia menampar seseorang dan orang itu adalah bosnya. Charlene tidak menyesali hal itu, karena menurutnya Lee telah terlalu keterlaluan dalam menghina dirinya. Ia tidak tahu apakah Lee akan memecatnya setelah ini. Namun, dia sudah siap jika memang benar-benar harus menjadi gelandangan. Rumahnya telah dilelang. Yang tersisa pada dirinya saat ini hanyalah kehormatannya. Charlene lantas bergegas menuju ke walk in closet untuk mengemasi barang-barang. Ia berniat pergi dari tempat itu sebelum diusir. Lagi pula, siapa yang akan betah tinggal dengan manusia tanpa perasaan seperti Lee Finnegan Montana? Pria itu terlalu mengekangnya. Setelah beberapa waktu berlalu, tampak Charlene menyeret dua kopernya keluar dari kamar untuk menuju lift."Mau ke mana kau?" sergah Lee yang mendadak muncul entah dari mana, sehingga membuat
Charlene membuka pintu kamarnya, meninggalkan Lee di luar sana. Ia menyeret kopernya dan meletakkannya begitu saja di tengah ruangan, sebelum melempar bokongnya dengan kasar ke atas tempat tidur. "Ugh!" keluhnya. Pandangannya lantas beralih ke arah koper-koper miliknya. Ia tidak berencana untuk membereskan koper-koper tersebut. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?" tanya Charlene pada dirinya sendiri. Ia harus memikirkan semuanya dengan matang. Tentu tidak mudah baginya untuk kabur dari kediaman Lee dengan membawa barang-barangnya karena pria itu pasti mengawasinya. Namun, jika ia meninggalkan barang-barang tersebut, rasanya juga tidak mungkin mengingat dia sendiri saat ini sedang tidak memiliki uang untuk membeli barang-barang yang baru. Untuk menyewa tempat tinggal saja, dia tidak sanggup. Charlene memikirkan hal itu sepanjang hari. Bahkan ketika malam tiba, ia hanya bisa berbaring di atas tempat tidur dengan mata nyalang karena tidak bisa tidur. Charlene lantas me
"Lee?" Hana menyelipkan kepalanya dari balik pintu untuk mengintip ke dalam kamar putranya. Pasalnya, ia melihat pintunya tidak terkunci. Tidak biasanya putranya seceroboh itu. Hana lantas melangkah masuk dengan sehati-hati mungkin agar tidak menimbulkan suara. Well, seharusnya Hana tidak perlu cemas karena di luar sudah ada pelayan yang datang serta pengawal yang berjaga. Namun, Hana tetap bersikap waspada. Begitu melewati lorong, pandangan Hana langsung tertuju kepada pakaian-pakaian yang berserakan di atas lantai, termasuk pakaian dalam. Ia kemudian mengarahkan manik matanya ke atas ranjang dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Hana mengangkat pelan kedua tangannya untuk menutup mulutnya yang terbuka. Ia terlalu syok melihat pemandangan di hadapannya. Putranya sedang tertidur di atas ranjang bersama seorang wanita yang tidak Hana kenal. Tubuh keduanya berbalut selimut dan Hana yakin, di balik selimut itu, tubuh keduanya polos. "Honey." Samar-samar Hana mendengar Piet
Charlene balas menarik selimut tipis yang tengah menutupi tubuhnya. Maka terjadilah adegan tarik-menarik selimut antara Charlene dan Lee karena keduanya berusaha menutupi tubuh polos mereka. Jika hanya ada Charlene di ruangan itu, mungkin Lee tidak akan berebut selimut tipis berwarna putih itu dengan sang asisten. Namun, Lee masih cukup sadar untuk menutupi tubuhnya karena ada Hana. Tatapan Lee lantas terarah ke selimut tebal yang teronggok di ujung tempat tidur. Tadi malam ia memang menyingkirkan benda itu, mengingat cuaca cukup panas, sehingga ia merasa tidak membutuhkannya. Kini ia justru membutuhkan selimut tebal itu. Tanpa membuang waktu, ia segera menyambar selimut tersebut untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Sementara Charlene menarik selimut tipis itu semakin erat setelah Lee melepasnya. "Di mana king cobra-nya?!" ulang Lee lagi. Ia sendiri bingung, bagaimana mungkin di kamarnya ada ular? Ia hanya memelihara ikan, bukan ular. Hana juga masih tetap di posisinya dan terlih