Dudududuuuu ... Apa rencana Sergio yaaa....
"Benar ini kan rumahnya?" Sergio bertanya, begitu mereka sampai di depan bangunan sederhana dengan halaman yang lumayan untuk parkir mobil di dalam gang.Tangan Shiena meraih tas kecil yang ditaruh di dashboard. "Iya betul. Aku pernah ke sini sekali.""Yuk turun," ajaknya pada Sergio yang manggut-manggut dan langsung mengambil topi juga kacamata. Mengikuti langkah Shiena yang lebih dulu beranjak menuju teras rumah itu, Sergio mengedarkan pandangannya. "Kakakmu sudah tahu kalau kamu pulang hari ini?" "Biasanya jam 9 begini dia masih di pasar," terang asisten pribadi Luciano itu sesaat setelah melirik arloji yang melingkar kokoh di pergelangan tangannya.Shiena menggeleng sembari menundukkan badan, mencari-cari sesuatu di deretan pot yang menghiasi pelataran rumah ini. "Dia belum tahu aku pulang sekarang.""Itulah kenapa, aku akan membuatkan surprise buat Kak Ben. Nanti bantu aku hias rumah ya?"Anggukan santai dilempar Sergio sambil melihat-lihat sekitar. Mata yang biasa mengintai it
"Hati-hati ya bawa mobilnya. Tidak usah buru-buru. Santai saja," tutur Karissa setelah semua barang-barang masuk ke dalam mobil.Sergio tersenyum tipis. “Tenang saja, Nyonya. Kecuali kalau dia tiba-tiba menggigit di tengah jalan.”“Kau pikir aku anjing gila?” Shiena bicara dengan dagu terangkat dan mata melotot.Sikapnya itu yang membuat Sergio suka sekali meledek. “Biasa saja, Nona.”"Sudah cukup bercandanya. Kasian Shiena kalau terlalu lama menunggu,” ucap Karissa.Anggukan patuh dilayangkan Sergio. "Kita akan berangkat sekarang.""Ada yang ketinggalan tidak? Semuanya sudah masuk kan?" tanyanya memastikan lagi pada Shiena yang refleks manggut-manggut.Setelah semuanya beres dan terkendali, barulah Shiena dan Sergio melangkah menuju mobil. Diiringi dengan Karissa, Luciano, Valen, dan kedua bocah kecil yang melambaikan tangan dengan pekikan nyaring."Bye byee, Aunty!""Hati-hati, Aunty!"Shiena tersenyum cerah lalu membalas lambaian tangan itu. "Dadaaa!"Ketika Shiena baru akan membuk
Untung saja, Sergio dengan cepat menyahut supaya Karissa dan Luciano tidak sampai bertengkar gara-gara Allerick."Kamu lebih lama mana, mengenal Aunty atau Uncle, hm? Nanti bisa uncle yang bacakan dongeng.”“Ah, ada Uncle Sergio. Dia lebih jago membacakan dongeng. Tenang saja,” ucap Shiena.Allerick menghembuskan napas dengan tampang lempengnya. "Ah malas. Kalau Uncle yang bacakan, yang ada jadi pidato kenegaraan." Kompak, ketiga orang dewasa di sana tertawa renyah. Bahkan Shiena yang tadi sempat berpihak justru berbalik menertawakan kebenaran yang nyaris dilupakannya itu. Membuat Sergio komat-kamit merutuki celotehan menyebalkan keponakannya itu.“Kalau begitu titip salam untuk kakakmu,” ujar Luciano karena kalau terlalu lama menunda, nanti keburu sore dan sampai rumah bisa malam.“Iya, Tuan. Akan saya sampaikan,” sahut Shiena tersenyum lebar.Baru juga hendak menarik koper, Karissa menghentikan lagi seakan masih belum sepenuhnya rela. "Sekarang banget ya?""Tidak bisa ditunda besok
Setelah mengantar Rosetta, Damian juga Aiden ke Bandara untuk terbang ke Italia. Dua pasangan mafia yaitu Luciano dan Karissa pun melanjutkan perjalanan menemui pengacara untuk mengurus perceraian.Tidak lama untuk mengurus semua.Dan tujuan terakhir yaitu pulang ke Mansion Luther, di mana Allerick dan Seraphina sudah lebih dulu ada di sana sejak pagi.Begitu sampai di mansion, Karissa dikejutkan oleh koper-koper yang berjejer di lantai bawah bangunan mewah tersebut."Kau pergi hari ini?" Karissa nyaris meninggikan suaranya pada Shiena yang sedang mengobrol dengan Martha dan Vallen.Shiena menoleh lalu meringis. "Aku sudah mengatakan padamu, Cantik," godanya mencolek dagu Karissa.“Kau mengatakan akan pindah, tapi bukan tiba-tiba begini.” Karissa masih rasanya tidak rela ditinggal Shiena.Selama ini dia jatuh bangun bersama sahabatnya. Jadi sudah terbiasa ada di satu atap yang sama."Aku masih bisa sering-sering datang,” jawab Shiena menyipitkan matanya sambil tersenyum."Kamu yakin?
Karissa mematung. Matanya melebar melihat surat cerai itu terpampang nyata di depannya. Bahkan suaminya sudah membubuhi tanda tangan tanpa bertanya lebih dulu.Namun, sebelum pikirannya bisa merangkai semua dengan logis, suara Luciano kembali terdengar.“Karissa Asterin, menurut sistem hukum negara ini, suamimu masih tercatat atas nama Damian Morgan.” Dia lalu melirik sinis ke saudara kembar yang tiba-tiba disebut namanya.“Dan aku tidak menginginkan nama itu lagi. Yang menjadi suami Karissa Asterin adalah Luciano, bukan Damian Morgan.”PLAK!Map abu-abu itu seketika melayang ke lengan kekar Luciano. Siapa lagi kalau bukan Karissa yang melakukannya.“Kau hampir membuatku mengeluarkan pistol untuk aku arahkan ke kepalamu,” serunya kesal.Luciano mengerjap, menahan sakit kecil yang justru membuatnya tertawa kecil. “Itu bukan reaksi yang kuprediksi.”Karissa mendelik dan mengangkat map tebal itu lagi. “Menurutmu?”Allerick yang sedari tadi fokus mengupas kulit jeruk untuk Seraphina, kini
“Bagaimana aku bisa lupa kalau dia dulu adalah anak buah kepercayaan Luciano,” gumam Damian.Pria itu memejam dengan kepala mendongak. Dia berdiri di depan kaca lebar jendela kamar. Baru 10 menit dia sampai di mansion Luciano ini, setelah tiga hari penuh berkeliaran di kota-kota Inggris untuk mencari Emma.Namun, sayang sekali dia pulang dengan tangan kosong.Padahal dia sudah menyusuri jejak samar yang dianggap petunjuk. Setelah dilacak lebih dalam, semuanya seperti sengaja ditinggalkan untuk menyesatkannya.Satu peta tua yang ditemukan di laci loker terminal pelabuhan, satu tiket kereta dengan nama palsu, dan nota pembelian anggur di kota kecil yang tidak pernah Emma sukai. Semua itu bukan petunjuk melainkan jebakan.Damian menghela napas panjang, perlahan membuka mata. Hingga dia bisa melihat hujan tipis yang mulai turun di luar sana."Kau di mana, Emma?”Pintu kamarnya diketuk pelan membuat Damian menoleh ke belakang. Nampak handle pintu yang bergerak berat, sampai seorang anak mu