“Kami bisa saja mendatangkan dokter terbaik dan alat-alat khusus untuk menunjang kesehatan bayi. Tapi biayanya tidak sedikit, Nyonya.”Ucapan dokter spesialis yang merawat bayinya terngiang di kepala Karissa. Dia berdiri di depan toko perhiasan terbesar di kota itu.Tangan kirinya meremas jemari kanannya, mengusap cincin yang masih melingkar di sana. Ragu adalah satu kata yang cocok untuk Tamara saat ini.Ya, dia masih ingat bagaimana Luciano sangat marah dulu ketika dia menggadaikan cincin pernikahan ini. Tatapan tajam dan aura mengerikannya tak bisa Karissa lupakan.“Ini juga untuk anakmu, Luciano,” gumamnya meyakinkan diri.“Maaf, aku harus menjualnya.”Mata Karissa memanas, melepas cincin itu lalu menggenggamnya kuat-kuat.Dia melihat ke toko itu lagi. Toko dengan dinding kaca tebal yang memantulkan bayangan dirinya. Rambutnya terselip seadanya dan sorot mata sayu karena kurang tidur.Ditarik napas itu panjang, lalu dia keluarkan cepat. Barulah kakinya melangkah masuk.“Selamat pa
“Mana Martha?”Luciano bertanya tanpa menghentikan langkah ketika berjalan keluar dari lift.“Martha seperti biasa, pagi ini sedang menyiapkan makanan,” jawab pengawal menyamai gerakan Luciano dari belakang.“Hm, siapkan mobil. Aku akan pergi setelah sarapan.”“Baik, Tuan.”Pagi itu sinar matahari hanya sebatas pelengkap. Karena nyatanya di musim semi ini entah kenapa cuaca tak menentu. Kadang hangat, lalu tiba-tiba dingin.“Tuan,” sapa Sergio yang sudah lebih dulu berada di ruang makan, berdiri menunggu Luciano.Luciano hanya melirik, melewati jendela-jendela tinggi lalu duduk di kursi utama. Barulah Sergio mengikuti, duduk di kursi lainnya. Sang asisten yang umurnya lebih muda dari Luciano itu memang selalu ada di manapun sang bos berada.“Saya sudah siapkan telur rebus, sup ayam rempah, dan kopi hitam, Tuan,” ucap Martha membungkuk di sisi meja.Jika selama tiga tahun ke belakang, Luciano hanya mau diurus oleh Karissa. Mulai makan hingga membereskan barang pribadinya. Kini, hanya M
“A-Apa yang ingin Anda lihat, Nona?’ tanya Martha sedikit gugup tapi dia tutupi dengan senyuman kecil.“Aku hanya perlu memastikan sesuatu,” jawab Karissa masih penasaran. “Kecuali memang ada yang ingin Anda sembunyikan.”Nyonya Wendy atau lebih tepatnya, Martha. Dia terdiam beberapa detik. Dia menatap bimbang. Meski sudah berlapis make up luka bakar, tetap saja takut kalau Karissa bisa menebak wajahnya.“Maaf.” Karissa meminta ijin dan perlahan tangannya terulur untuk menarik ujung selendang. Namun, sebelum selendang itu sempat benar-benar terbuka dia tersentak oleh suara tangisan nyaring.Baby Allerick tiba-tiba menangis karena kehilangan puting susu yang seharusnya masih ada di dalam mulutnya.“Uuuusss ... sayang. Iya ini. Kamu masih lapar, hm?” Karissa buru-buru menyusui sambil mengelus punggung mungil itu dengan penuh kasih.Sedangkan Martha segera mundur setengah langkah. Selendang yang nyaris tergeser itu ia rapatkan kembali ke wajahnya.“Maaf, Nona,” ucap Martha, nadanya pelan
“Apa di wilayah ini, kalian yakin Luciano tidak akan menemukan kita?” tanya Karissa pada pengawal saat mereka baru saja keluar dari rumah sakit.“Kami sudah menyisir wilayah, tidak ada yang mencurigakan. Karena di sini jarang ada pendatang, jadi kami bisa memantau lebih mudah wajah orang-orang baru,” jawab pengawal yang duduk di depan.Karissa mengangguk lalu menatap ke jendela kaca. Tempat yang dia tinggali memang tidak terlalu ramai dan tenang.“Bawa aku ke rumah Nyonya Wendy,” titah Karissa.Dua pengawal itu tidak melarang. Sebab selama beberapa kali pertemuan tidak ada yang mencurigakan.Selama perjalanan, Karissa diam. Ada cahaya lain saat dia mengingat wajah Allerick, bayi asing yang dia beri ASI selama beberapa kali pertemuan. Dan dua hari ini tidak bertemu, rasa rindu di hati Karissa membuncah.“Kalian membawa stok ASI yang aku perintahkan?” Karissa baru ingat, selama dua hari tak sempat bertemu, ASI di rumah jadi utuh dan makin menumpuk.“Iya, ada di bagasi, Nyonya.”Jawaban
“Air susu ibu?” Shiena mengerutkan keningnya sambil memperhatikan air berwarna putih kental di botol bayi.Martha terkesiap, dia lupa kalau Shiena belum tau apapun dan wanita itu adalah dokter. Jadi bisa langsung paham jenis susu apa yang ada di dalam botol.“Dia menyewa ibu susu?” tanya gadis itu lagi.Sedangkan di sana juga ada Luciano yang pagi itu sedang memastikan anaknya aman sebelum dirinya berangkat ke Inggris. Pria yang semula sedang membungkuk, memainkan tangan bayinya di dalam box bayi, dia langsung menoleh.“Martha?” Suara bariton yang memanggil wanita paruh baya itu membuat jantung Martha berdegup kencang.“Ampuun! Tuan!”Martha seketika berlutut, takut Luciano salah paham. Shiena langsung mundur dan terkejut. Dan Luciano menegakkan tubuhnya, memperhatikan pelayan yang paling dia percaya itu.“Maafkan saya yang begitu lancang mengambil keputusan sendiri, Tuan!”“Ada apa?”Martha mendongak, sementara tangannya meremas baju pelayan yang dia pakai. “Tuan muda mengalami Biliru
Seperti ada kilatan petir yang menyambar tepat di depan wajah Karissa, dia tercengang. Lalu tertawa hambar.“Daddy bercanda?”Dilihatnya lagi benda itu, Karissa masih terkekeh lalu berdiri menunjukkan benda di tangannya pada Vincent. “Cerita macam apa ini?”“Kecelakaan itu –“ Vincent kembali bicara.“Kecelakaan yang disengaja itu sebenarnya bukan hanya membunuh Eleanor Luther. Tapi juga membunuh Clayton, ayahmu. Sekaligus Tuan-ku.”Lencana di tangan Karissa pun seketika terjatuh, membentur keramik. Wajahnya mendadak pucat.“Daddy?” Dia nyaris tak bersuara saking terkejutnya.Vincent menggeleng. Dahinya berkerut, menahan rasa sakit di dada karena berkata jujur seperti ini sama saja melepas statusnya sebagai ayah Karissa.“Maaf, Sayang. Maaf aku terlalu lama menyembunyikannya,” jawab Vincent sedikit serak.Dia menarik napas dalam-dalam lalu menyentuh kedua lengan Karissa. Supaya anak itu tau, ada kesungguhan dari sorot matanya itu. “Karissa Asterin. Kamu adalah anak yang mereka titipkan
“Ada apa sebenarnya, Dad? Aku sudah lama diam dengan semua maksud daddy yang selalu menghindar dari Luciano dan keluarganya.”Suara keras Karissa membuat Vincent yang sedang memotong kentang di dapur pun menoleh.“Karissa? Kamu pulang?”Sayangnya peralihan topik yang selalu Vincent hadirkan setiap kali Karissa mempertanyakan tentang masalah itu, kali ini tidak akan mempengaruhi tekad Karissa untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.“Katakan, Dad.” Tangan Karissa sampai mengepal, wajahnya pun mengeras karena menahan rasa ingin tau yang tinggi. Sekaligus kekesalannya karena sikap Vincent yang menyembunyikan soal situasi genting putrinya.“Tidak seharusnya kita bicarakan itu di saat seperti ini, Karissa. Fokus saja pada –““Tapi masalah itu yang membuat Daddy mencegah bayiku untuk di rawat di rumah sakit tengah kota, kan?”Vincent menarik napas panjang. Lalu meletakkan pisau dan melepas kentang di tangannya.“Kau benar ingin tau sekarang?” tanyanya masih lembut.“Jika Daddy tetap di
“Kenapa mansion seluas ini aku belum menemukan foto Karissa? Apa Tuan L—“PRANG!Shiena membeku menutup mulut dengan kedua telapaknya dengan mata melebar. Dia sungguh tak sengaja menyenggol guci yang berada di atas meja.Jantungnya makin berdegup tak karuan ketika keributan itu diikuti dengan suara tangisan bayi di kamar yang pintunya tidak ditutup.“Shiena?” Martha menebak saat dia keluar.Belum sampai gadis itu merespon, kini Luciano yang keluar sambil menggendong bayinya. “Shiena, apa yang kamu lakukan!”“Kamu sudah membuat bayiku –“Tangisan pangeran kecil makin keras setelah mendengar bentakan ayahnya.“Sssshhh ....” Pria itu menoleh pada Martha. “Aku harus bagaimana?” terlihat datar, tapi ada gurat kepanikan sedikit di dahi Luciano.“Mari, Tuan. Biar saya gendong.” Martha mengambil alih bayinya dengan hati-hati. Lalu dia bawa masuk lagi ke kamar untuk diberi susu dalam botol.Sergio dari arah berbeda akhirnya muncul dengan napas terengah. “Ada apa ini?” tanyanya menatap Shiena y
Suara tangisan bayi yang menggema di lorong megah mansion milik Hector membuang Luciano mempercepat langkahnya.Dia memberikan jas kerja pada pelayan yang berdiri di depan pintu. Lalu memasuki kamar bayi yang ada di samping kamar utama.“Dia kenapa?” tanyanya melihat bayinya sedang di gendong oleh Martha.“Tidak tau, Tuan. Sepertinya masuk angin.” Martha sudah khawatir sejak tadi.Luciano mendekat, hendak menggendong. “Anda sudah cuci tangan, Tuan?”Ah, dia lupa. “Aku bahkan belum mengganti bajuku,” jawab Luciano yang selalu patuh dengan segala aturan orang lain jika itu berhubungan dengan putranya.“Hei, tunggu papa. Jangan habiskan dulu suaramu.” Setelah bicara dengan senyuman tipisnya, dia berbalik cepat menuju kamarnya.Martha menatap punggung Luciano dengan bangga. Pria yang dia layani sejak remaja itu, kini sudah menunjukkan perubahan yang sangat besar.Yaitu sang mafia yang terkenal kejam itu rupanya bisa menjadi ayah yang sempurna bagi si bayi.Sementara, di mobil yang baru sa