Nanti update lagiiii
“Aku sudah dapat temanya!” seru Allerick sambil memutar tubuh dari meja belajar, tablet kecil di tangannya menghadap ke arah Luciano yang baru saja masuk ke kamar. “My Growing Heart in My Little Home.”Luciano berjalan pelan, duduk di sofa kecil dekat meja. “Itu tema dari sekolah?”“Iya,” jawab Allerick. “Katanya semua anak harus menyampaikan pidato yang berkaitan dengan rumah, keluarga, dan apa yang membuat hati kita tumbuh.”Dari pintu, Sergio muncul tanpa mengetuk, membawa minuman hangat. “Jangan-jangan mereka tahu kamu anak mafia, jadi mereka pilih tema lembut supaya kamu tidak pidato soal strategi militer.”Luciano menoleh tajam. “Sergio.”“Saya tidak salah bicara, Tuan.” Sergio menaruh minuman di meja kemudian mendekati Allerick, melihat isi layar tablet.Jangan ditanya, apa Allerick bisa membaca? Anak jenius ini bahkan sudah bisa berbahasa asing dan menghafal perkalian dan pembagian.“Uncle Sergio, kali ini jangan bercanda. Ini penting. Daddy, ajarkan aku cara berpidato yang be
Tony keluar dari mobil begitu melihat Tuan Muda Wilbert itu keluar dari lobi utama sekolah bergengsi tersebut.Pria kecil itu nampak pasrah melangkah menuju mobil tanpa bicara apapun. Padahal Allerick pasti mengeluarkan suara entah kekesalan atau cerita singkat tentang sesuatu yang dia alami di sekolah.“Silahkan, Tuan.” Tony membukakan pintu mobil dengan heran.Allerick masih lemah, letih, lesu. Seperti anak yang mengidap anemia. Padahal ini masih perkara Karissa yang tidak mengaku kenal padanya di depan Lucas tadi. Allerick masih kesal.Begitu keduanya ada di dalam mobil, Tony menoleh ke belakang. “Tuan Deimos sakit?” tanyanya.Allerick menggeleng dengan posisi bersandar menatap jendela.“Tapi Anda nampak tidak baik-baik saja.”“Aku sedang patah hati jadi malas bicara.”Dahi Tony berkerut. “Anda jatuh cinta?”Allerick menghela napas tajam. “Diamlah, Uncle. Atau aku mengamuk di sini,” jawabnya masih lemas.Tony pasrah. Dia memakai sabuk pengaman dan mobil pun melaku meninggalkan gerba
“Ada yang sedang kamu sembunyikan?” tanya Karissa terus mengamati tirai putih itu.Shiena tertawa hambar sambil mengibaskan tangannya. “Sejak kapan aku menyembunyikan sesuatu darimu?”“Dulu kamu menyembunyikan identitas Allerick,” jawab Karissa dengan nada bercanda dan membuat Shiena jadi meringis.“Aku hanya mencari bros yang dibuatkan oleh Seraphina.” Shiena lalu pura-pura melihat ke sekitar bed beralih ke kolong mejanya.“Itu?” Karissa menunjuk ke bagian dada jas putih Shiena.“Oh, astagaaa!” Gadis itu menepuk jidatnya. “Sepertinya selalu gagal dalam percintaan membuatku jadi pikun begini.”Keduanya pun berbincang. Sampai tak terasa waktu berlalu. Shiena melihat ke jam di tangannya. “Karissa, bukannya sekarang harusnya kamu ada meeting dengan Pak Direktur ya?”Mata Karissa membulat. “Astaga! Saking emosinya sampai lupa tujuanku ke sini!” Dia buru-buru berdiri.“Antingmu?” Shiena baru sadar Karissa hanya memakai satu anting.“Oh ini. Nanti aku akan cerita lebih banyak lagi. Bye!” Ka
“Pasien berikutnya.”Shiena mengangkat wajah dari berkas rekam medis di tangannya. Suara asisten perawat yang memanggil dari luar membuatnya refleks berdiri.Pintu terbuka.Sergio masuk dengan jas abu-abu rapi membuat Shiena membeku sejenak. Dia yakin Sergio datang karena maksud lain.Shiena menoleh ke asisten. “Eh, bisa tolong bantu periksa pasien rawat inap di kamar 306? Yang baru saja melakukan tindakan laparoskopi semalam? Sekalian pantau drain-nya.”“Baik, Dok.” Asisten itu keluar.Begitu pintu tertutup Sergio mendekati meja.Shiena mengamati lalu menaikkan satu alisnya. “Badanmu tidak seperti orang sakit.” Dia meletakkan pulpen di atas meja dan menghampiri tempat tidur periksa. “Tapi jika kamu kangen suasana rumah sakit, silakan berbaring.”Sergio melepas jasnya dengan tenang, meletakkannya rapi di kursi. “Pemeriksaan rutin. Siapa tahu ada luka lama yang belum sembuh.”“Luka hati?” sindir Shiena.Sergio naik ke ranjang periksa. Dia lalu memperlihatkan bekas sayatan yang sudah men
“Aku tidak merasakan bau tembakau dan alkohol,” bisik Karissa saat dia melepas ciumannya. Hanya sedetik, karena detik berikutnya dia menyeringai tipis dan kembali melumat bibi tebal suaminya.Dilempar pistolnya entah ke mana, tangannya bergerak meremas kemeja juga tengkuk Luciano.“Kamu bukan perawan yang belum pernah disentuh, kan, Tuan Wilbert?” ledek Karissa sebab pria itu belum membalas ciumannya.Merasa harga dirinya tersentil, mata Luciano menggelap. Dia membalikkan tubuh Karissa untuk didudukkan ke kursi penumpang. Sesaat mata mereka saling menatap barulah pria itu menyatukan bibir mereka dengan sedikit kasar.Ya, Karissa merasa menang. Dia melenguh kecil di saat ciuman itu begitu menggebu. Saling meluapkan rindu, saling berebut napas dan saling berebut kendali.Tangan Luciano tak tinggal diam. Saat tangan kirinya menahan posisi, tangan kanannya meremas pinggang Karissa dan naik ke atas.Hingga tiba-tiba gerakannya terhenti ketika dia nyaris merobek kain bagian dada. Mata Karis
Karissa tak berniat menengok Lucas. Matanya hanya tertuju pada sosok yang kini berdiri tegak, membelakanginya tapi perlahan berbalik.“Luciano.” Nama itu yang disebut dalam hati.Karissa membeku. Nafasnya tercekat. Jantungnya menggedor tanpa kendali. Rasanya tubuhnya ingin mendekat lalu memeluk, tapi kedua kakinya menolak. Bagaimana tidak, Luciano bahkan hanya diam di sana.Apa dia memang sudah tidak menginginkannya?“Kalian saling kenal?” tanya Lucas melihat keduanya bergantian, sebab dari tatapan itu rasanya beda.Luciano tidak menjawab. Dia hanya memalingkan wajahnya untuk memutus tatapan keduanya segera. Ini benar-benar tidak masuk dalam rencananya. Dia hanya ingin membuat Karissa tidak jadi pergi dengan Lucas. Siapa sangka wanita itu tibat-tiba muncul dan membuatnya kehilangan cara untuk menghilang.Sementara Karissa, dia tidak tau harus berkata apa. Ada begitu banyak kalimat yang ingin dia lontarkan detik ini juga setelah empat tahun mencari dan menunggu kedatangan pria ini."Di