“Jadi kapan putriku bisa pulang?”Luciano duduk di kursi utama ruang meeting rumah sakit bersama dokter di sana. Pakaian keduanya nampak kontras. Satu berjas putih medis, satu lagi mengenakan jas hitam dengan dasi perak.Dia menatap ke layar di depan, di mana CCTV ruang NICU memperlihatkan bayi perempuan yang sedang disusui oleh Karissa.“Aku tidak tega melihatnya selelah itu.” Luciano bicara lebih lirih lagi tanpa menggeser pandangan ke wajah Karissa.Masih cantik dan bersinar. Hanya saja kerutan lelah nampak di sana. Ingin rasanya Luciano mendekat untuk memberi kekuatan, menunjukkan kalau dia tak sendiri.Tapi melakukan itu di tempat umum sama saja bunuh diri. Kabur dari pengawasan anak buah Hector dan mata Sergio juga tidak mudah."Putri Anda bisa pulang setelah kami pastikan dia stabil tanpa ventilator besar dan bisa bernapas dengan alat bantu portabel. Tapi tetap perlu pengawasan 24 jam. Rumah harus steril dan lainnya,” jawab sang dokter.Luciano mengangguk kecil. "Lalu ada jalan
Aroma butter panas dan roti panggang mulai memenuhi udara. Namun, bukan itu yang menghentikan langkah seorang wanita saat hendak masuk ke area dapur luas di mansion.“Kenapa kalian ada di sini?”Emma menatap ada lima pelayan yang seharusnya di dalam untuk membantunya membuat sarapan pagi ini, sekarang justru semua berdiri di depan pintu dapur.“Tuan Damian ada di dalam dan tidak mengizinkan siapa pun membantu. Katanya, beliau ingin memasak sendiri untuk Nyonya Rosetta,” ucap salah seorang pelayan.Alis Emma terangkat. Sudut bibirnya menekuk membentuk senyum nakal. “Oh, jadi Tuan Besar mau mengambil alih dapur pagi ini,” gumamnya, lalu melangkah masuk tanpa permisi.Begitu melihat Damian sedang ada di depan kompor, memunggungi pintu, senyuman Emma makin lebar. Wanita itu mendekat pelan-pelan, lalu memeluk Damian dari belakang.“Kau sedang berusaha memasak sarapan untukku, ya?” bisiknya manja.Damian langsung mengangkat bahu, berusaha melepaskan pelukan itu. “Jangan terlalu percaya diri,
“Papa sudah pulang?” Aiden mendongak menatap ayahnya.“Hm.” Damian sebenarnya datang karena samar mendengar Aiden menyebut nama Luciano. “Tadi kamu bertemu dengan siapa di sekolah?”Aiden melirik ibunya, seolah meminta jawaban yang tepat atas pertanyaan Damian.“Katanya Tuan Luciano datang,” jawab Emma sambil melepas apronnya kemudian membersihkan tangan di keran taman.“Apa dia lakukan di sana?” tanya Damian pada Aiden.Pria kecil itu pun menunjukkan lolipop besar di genggamannya.“Dulu Tuan Luciano pernah menjanjikan permen untuk Aiden.” Emma mendekat setelah mengeringkan tangannya yang baru dicuci.Dia lalu meraih tas kerja yang masih Damian genggam. “Tepatnya saat Aiden sedang dirawat di rumah sakit. Katanya, kalau Aiden sembuh dia akan memberikan permen. Dan –“Kini Emma mengambil permen dari tangan Aiden. “Daddy-nya bukan pria yang melupakan janjinya,” lanjut wanita itu menunjukkan makanan manis berwarna pink pada Damian.Memperlihatkan wujudnya, seolah memang tidak ada yang dis
Seorang anak lelaki berambut kecoklatan, mengenakan rompi sekolah warna krem dan topi kecil miring di kepalanya tiba-tiba berhenti dari main perosotan. Mata Aiden membulat begitu melihat siapa yang terlihat sedang berdiri di depan gerbang.“Daddy!” teriak girang.Bagaimana tidak, Luciano tiba-tiba muncul setelah sekian lama tidak bertemu. Tepatnya setelah Aiden dipertemukan dengan ayah kandungnya, Damian.Kaki-kaki kecil itu langsung melesat turun lewat perosotan dan berlari lucu. Seolah menunjukkan kalau dia memang menantikan kehadiran pria yang sudah merawatnya dari bayi. Seorang guru yang semula berbicara dengan Luciano pun memberi ruang. Hanya mengawasi dengan jarak.“Daddy ....” Tangan kecil itu langsung memeluk kaki panjang Luciano.Meski selama ini pria tampan di depannya tidak pernah terlalu banyak menunjukkan ekspresi, tapi Aiden sudah sangat bahagia.Aiden mendongak, tanpa melepas pelukannya di salah satu kaki Luciano. Iris mata yang cerah itu bergetar karena haru.“Daddy akh
“Ahhh ....” Karissa melenguh dalam tidur saat ada hisapan ringan di dadanya yang sedang membengkak karena kantung ASI.Tidak, ini bukan seperti hisapan bibir dan lidah mungil yang menyentuh nipple-nya. Gerakan ini terlalu panas juga kuat.Ini mimpi?Ya, mungkin. Karissa makin masuk ke dalam mimpinya, merasakan aroma maskulin yang familiar.“Luciano,” bibir itu memanggil tanpa sanggup membuka matanya. Bahkan dia ingin sekali terbangun dari mimpi untuk memastikan apa yang sedang dia alami, tapi efek obatnya terlalu tinggi.“Jangan datang. Aku membencimu ....”Sayangnya gumaman itu berbeda dengan apa yang dirasakan saat ini.Tubuh Karissa yang semula menggigil kini perlahan menghangat, meninggalkan rasa nyaman juga aman. Rasa yang dia butuhkan sekarang.Mimpi panjang itu belum berakhir. Karissa kembali melenguh ketika dada yang lainnya ikut merasakan panas juga basah. Belaian lembut yang melingkar di puncaknya lalu kulitnya seperti tersedot ringan.Persis seperti saat dia menyusui, tapi r
Karissa melipat bukti pembayaran yang baru saja dia terima dari bagian administrasi rumah sakit. Entah mengapa, dadanya terasa lebih sesak daripada sebelumnya. Bukan hanya karena pengeluaran yang makin menipis, tapi karena kehilangan.Cincin itu sudah tak ada lagi di jarinya.“Aku sampai lupa belum makan sedari tadi,” gumamnya saat merasa kepalanya pusing.Bahkan dia sampai berpegangan pada dinding koridor sembari menekan kepala dengan tangannya yang satu.“Anda baik-baik saja, Nyonya?” tanya seorang perawat yang melintas.Karissa mendongak lalu menggeleng samar juga tersenyum tipis. “Aku tidak apa.”“Wajah Anda pucat. Saya harap Anda bisa jaga kesehatan. Bayi Anda membutuhkan ibu yang kuat.” Dia adalah perawat bagian NICU. Jadi sudah hafal pada Karissa.“Terimakasih, Sus.”Karissa kembali berjalan menuju ruang bayi. Dibanding dengan ruangan lain, arah ke NICU jauh lebih sunyi. Jarang dilewati orang.Begitu melintasi koridor, perasaan aneh muncul. Karissa merasa seperti ada yang mengi
“Kami bisa saja mendatangkan dokter terbaik dan alat-alat khusus untuk menunjang kesehatan bayi. Tapi biayanya tidak sedikit, Nyonya.”Ucapan dokter spesialis yang merawat bayinya terngiang di kepala Karissa. Dia berdiri di depan toko perhiasan terbesar di kota itu.Tangan kirinya meremas jemari kanannya, mengusap cincin yang masih melingkar di sana. Ragu adalah satu kata yang cocok untuk Karissa saat ini.Ya, dia masih ingat bagaimana Luciano sangat marah dulu ketika dia menggadaikan cincin pernikahan ini. Tatapan tajam dan aura mengerikannya tak bisa Karissa lupakan.“Ini juga untuk anakmu, Luciano,” gumamnya meyakinkan diri.“Maaf, aku harus menjualnya.”Mata Karissa memanas, melepas cincin itu lalu menggenggamnya kuat-kuat.Dia melihat ke toko itu lagi. Toko dengan dinding kaca tebal yang memantulkan bayangan dirinya. Rambutnya terselip seadanya dan sorot mata sayu karena kurang tidur.Ditarik napas itu panjang, lalu dia keluarkan cepat. Barulah kakinya melangkah masuk.“Selamat pa
“Mana Martha?”Luciano bertanya tanpa menghentikan langkah ketika berjalan keluar dari lift.“Martha seperti biasa, pagi ini sedang menyiapkan makanan,” jawab pengawal menyamai gerakan Luciano dari belakang.“Hm, siapkan mobil. Aku akan pergi setelah sarapan.”“Baik, Tuan.”Pagi itu sinar matahari hanya sebatas pelengkap. Karena nyatanya di musim semi ini entah kenapa cuaca tak menentu. Kadang hangat, lalu tiba-tiba dingin.“Tuan,” sapa Sergio yang sudah lebih dulu berada di ruang makan, berdiri menunggu Luciano.Luciano hanya melirik, melewati jendela-jendela tinggi lalu duduk di kursi utama. Barulah Sergio mengikuti, duduk di kursi lainnya. Sang asisten yang umurnya lebih muda dari Luciano itu memang selalu ada di manapun sang bos berada.“Saya sudah siapkan telur rebus, sup ayam rempah, dan kopi hitam, Tuan,” ucap Martha membungkuk di sisi meja.Jika selama tiga tahun ke belakang, Luciano hanya mau diurus oleh Karissa. Mulai makan hingga membereskan barang pribadinya. Kini, hanya Ma
“A-Apa yang ingin Anda lihat, Nona?’ tanya Martha sedikit gugup tapi dia tutupi dengan senyuman kecil.“Aku hanya perlu memastikan sesuatu,” jawab Karissa masih penasaran. “Kecuali memang ada yang ingin Anda sembunyikan.”Nyonya Wendy atau lebih tepatnya, Martha. Dia terdiam beberapa detik. Dia menatap bimbang. Meski sudah berlapis make up luka bakar, tetap saja takut kalau Karissa bisa menebak wajahnya.“Maaf.” Karissa meminta ijin dan perlahan tangannya terulur untuk menarik ujung selendang. Namun, sebelum selendang itu sempat benar-benar terbuka dia tersentak oleh suara tangisan nyaring.Baby Allerick tiba-tiba menangis karena kehilangan puting susu yang seharusnya masih ada di dalam mulutnya.“Uuuusss ... sayang. Iya ini. Kamu masih lapar, hm?” Karissa buru-buru menyusui sambil mengelus punggung mungil itu dengan penuh kasih.Sedangkan Martha segera mundur setengah langkah. Selendang yang nyaris tergeser itu ia rapatkan kembali ke wajahnya.“Maaf, Nona,” ucap Martha, nadanya pelan