Luciano duduk di ruang gawat darurat dengan perban besar di tangan kanannya. Bajunya berlumuran darah. Matanya merah karena lelah dan takut. Dia baru saja menyerahkan Damian ke ruang operasi.“Kau sudah menghubungi mama?” tanya Luciano pada Sergio yang berdiri di sampingnya.“Sudah, Tuan. Kebetulan Emma juga baru tiba di Italia. Jadi mereka berdua sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.”Luciano mengangguk. Dia keluar dari ruangan lalu menuju ke ruang operasi. Tak lama, suara langkah berlarian terdengar dari ujung lorong. Rosetta dan Emma. Kebetulan pagi itu Emma tiba di Italia atas perintah Rosetta. Tak di sangka, mereka justru mendapatkan berita buruk.“Bagaimana bisa, Luciano? Apa yang sebenarnya terjadi?” Rosetta terlihat sangat khawatir.“Dia menginjak ranjau. Aku tidak bisa menjaganya dengan baik,” jawab Luciano datar. Jawaban yang selalu dia katakan setiap kali Damian terluka ketika bersamanya.Rosetta menggeleng. “Dia yang tak bisa menjaga diri. Lalu ini –“ Dia menyentuh samar
BOOMM!!!Suara ledakan menghantam suasana pagi di area sepi dan terpencil. Tanah bergetar. Asap dan percikan tanah basah terangkat.Luciano terdorong mundur terjatuh ke tanah dengan tangan kanan yang terluka karena terkena serpihan besi.Damian memekik. Tubuhnya tergeletak tak jauh dari kawah kecil bekas ledakan. Kaki kanannya hancur."Damian!" Luciano berusaha bangkit. Meski tubuhnya oleng, dia tetap menyeret langkahnya cepat ke arah Damian.Meski jenis ranjau ini hanya untuk melukai musuh, bukan membunuh. Tapi efek ledakan mampu menghancurkan sesuatu yang menyentuh ranjau tersebut. Dan serpihannya cukup kuat untuk melukai.“Damian, Damian! Kau dengan aku, Damian!” Luciano memukul pipi Damian supaya pria itu membuka mata.“Luciano ....” Damian menggigit bibirnya sendiri menahan sakit luar biasa di sekujur tubuhnya. Terkhusus kaki kanannya dengan darah mengucur deras.“Aku sudah katakan tadi, jangan bergerak!” bentak Luciano frustasi. “Kau sangat bodoh, Damian!”“Lalu kamu akan mengor
Hujan rintik turun membasahi atap seng tua di salah satu gudang pelabuhan yang sudah lama ditinggalkan. Bau logam karat, lumpur, dan sisa bahan bakar masih terasa di udara.Luciano berdiri di depan pintu besi yang setengah berkarat, mengenakan mantel panjang berwarna arang gelap. Tangannya memegang berkas yang baru ia dapat dari anak buahnya, yang berisi denah lengkap lokasi penyimpanan lama milik Klan Luther.“Tuan, Anda yakin tidak mau ditemani?” tanya Sergio dari ponsel yang di pegang oleh tangan kiri Luciano.“Aku hanya perlu mengambil benda itu dan memberikannya pada Karissa,” ucap Luciano sambil membuka pintu pelan.Hawa lembab pun langsung bisa Luciano rasakan.“Kau pantau saja pergerakan Vincent. Jangan sampai menahan Karissa di rumah saat jadwal ke rumah sakit nanti.”“Baik, Tuan! Hati-hati, saya khawatir ada ranjau yang dipasang di sana.”“Ya, sudah pasti. Semakin banyak ranjau, artinya semakin dekat dengan sesuatu yang sangat berharga.”Luciano mematikan ponselnya, kini ber
“Sejak kapan kau memelukku begini setelah selesai menuntaskan hasratmu?” sindiran itu membuat mata Luciano terbuka. Padahal dia hampir saja tertidur.Dia melihat istrinya tersenyum nakal di atas bahu lebarnya.“Jangan meledekku,” ucapnya dan mengecup singkat kening wanita yang masih dia cintai.Waktu menunjukkan jam 12 malam sedangkan mereka baru selesai bermain. Sebuah permainan dewasa yang membuat tubuh Luciano paling berkeringat. Karena itu sekarang King Wilbert belum mengancing kemejanya. Membiarkan jemari lentik Karissa bermain di atas kulit itu. Menyentuh otot juga tato kepala serigala yang katanya bagian yang paling dia suka sejak dulu.“Apa sekarang sudah terlalu jatuh cinta, sampai rela membobol dinding belakang lemari demi bertemu denganku?”Itu adalah sindiran kedua dan lagi-lagi menarik senyuman Luciano.“Aku lapar.”Butuh berapa detik sampai mengangkat sedikit kepalanya, menatap wajah santai pria itu saat mengatakan lapar. “Setelah kamu menghabiskan ASI milik Seraphina, m
“Bawa Baby Seraphina tidur bersamamu.”Shiena mengeja pesan yang Sergio kirim padanya sampai dua kali.“Kode apa lagi ini? Dia suka sekali mengirim perintah hanya satu kalimat. Minimal beri aku penjelasan alasannya apa jadi aku bisa cari alasan.”Dia menggerutu sambil menyibakkan selimut. Tubuhnya padahal sudah hangat di atas ranjang dengan posisi nyaman. Dan kini dia harus turun, memakai sandal berbulunya juga melepas sheet mask yang baru dia pasang 10 menit yang lalu.Di luar kamar, Shiena bisa mendengar obrolan samar Vincent dan anak buah di teras. Ah, dia tak peduli. Gadis itu menguap menuju kamar Karissa lalu mengetuk pelan, takut mengagetkan bayi di dalam.“Sepi, dia sudah tidur kah?” Shiena menempelkan telinga ke daun pintu.Detik selanjutnya handle pintu berputar, Shiena pun mundur satu langkah. Karissa membuka sambil menggendong Baby Seraphina.“Loh, belum tidur?” Pertanyaan itu lebih tertuju pada si bayi yang rupanya masih membuka mata lebar.Tidak ada tanda-tanda mengantuk.
"Bawa Aiden dan Deimos ke kamar atas," titah Luciano pada Martha.Martha pun langsung mengangkat Deimos dengan hati-hati dan meraih tangan Aiden. "Ayo, Sayang. Kita main di atas, ya."Aiden tidak menolak. Dia sudah berapa kali melihat Damian yang sedang marah pada anak buah lalu mengeluarkan pistol, atau memukul. Jadi kejadian di depannya ini tidak membuat dia terlalu syok.Setelah mereka pergi, suasana menjadi jauh lebih sunyi."Kau benar-benar sudah mempersiapkan semua ini," gumam Hector, masih memegang pistol tapi tangannya gemetar karena amarah.Luciano memilih untuk berdiri, maju satu langkah lalu mengambil santai pistol yang sedang Hector arahkan padanya.“Aku bukan pembunuh tanpa alasan, apalagi sampai melukai keluarga sendiri.” Dia mengkode anak buahnya dengan gerakan jemari, lalu semuanya menurunkan senjata bersamaan.“Apapun yang kamu lakukan, aku akan tetap menghormatimu, Opa. Tapi, jika itu sudah berurusan dengan keselamatan anak dan istriku.” Luciano menjeda bersama denga