"Kalau kamu bisa mendekati dan menjadikan Rena pacarmu, aku akan menaikkan gajimu dua kali lipat." Alvin sukses membuat Barra ternganga."Kenapa?""Kamu tidak percaya padaku? Bukankah barusan kamu minta naik gaji?" kata Alvin pada sahabatnya, Barra Hendra Prayoga.Perusahaan ini adalah milik keluarga Alvin. Tapi sekarang dia yang dipercaya memegang kendali untuk memimpinnya. Jadi segala keputusan ada di tangan Alvin. Termasuk menaikkan gaji dan jabatan Barra. Barra hanya seorang supervisor saja. Tapi karena mereka berteman sejak sekolah, mereka terlihat sangat akrab. Meskipun sekarang mereka adalah atasan dan bawahan."Kamu pasti bercanda kan, Bos?" Barra menatap manik mata Alvin.Tapi Barra tidak menemukan satupun keraguan disana. Apalagi Barra sangat tahu, sahabatnya itu tidak pernah main-main dengan omongannya."Aku beri waktu untukmu selama tiga bulan. Bila kamu berhasil, dengan segera akan kutepati janji
Entah bagaimana Rena harus menjalani hari-harinya nanti tanpa Bram disampingnya. Sedangkan selama ini hanya Bram orang terdekat dengan dirinya, selain kedua orangtuanya. 7 tahun bukan masa yang pendek untuk Bram dan Rena menjalin hubungan asmara. Selama itu pula mereka seperti tidak pernah terpisahkan. Dimana ada Bram di situ ada Rena. Sepengetahuan Rena, Bram sangat mencintai Rena, begitu pula sebaliknya. Sifat Bram yang otoriter, malah dipikir Rena karena Bram terlalu mencintainya. Tapi dia salah. Itu hanya tipu daya Bram saja. Agar Rena tidak berpindah kelain hati.Rena mempunyai jabatan yang lumayan bagus di sebuah perusahaan. Dia adalah sekretaris pribadi Alvin Pratama, Seorang CEO di perusahaan terkenal.Sementara Bram yang berumur jauh di bawah Rena, masih seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta dikota ini.Bram meninggalkan kampung halamannya untuk menempuh pendidikan. Tadinya dia berniat menyambu
"Kapan Bram akan menikahi kamu, Nak?" Manik mata milik ayah Rena, menatap sayu pada anak semata wayangnya."Ayah, jangan mikir yang berat dulu. Yang penting ayah sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa." Rena mencoba mengalihkan pembicaraan.Rena tahu, sudah lama ayahnya menginginkan dia untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Tapi Bram masih belum siap. Sementara umur Rena terus merangkak naik.Keluarganya yang lain sudah mencoba untuk menjodohkan dia dengan pria lain. Tapi dengan tegas Rena menolak. Rena menganggap itu semua hanya ketakutan dari mereka saja. Dia tetap yakin Bram akan menikahinya, walaupun memang memerlukan waktu yang agak lama.Mimpi tinggal mimpi, janji tinggal janji.Bram pergi dengan wanita idaman dan semua penghianatannya. Dan wanita itu bukan Rena. Tinggal Rena sendiri yang memeluk mimpi dan semua janji itu dengan kesepian."Mana Bram? Kenapa dia tidak pernah datang?" lirih suara lelaki tua itu mencari keberadaan orang yang diharapkan mau menjadi calon menan
"Ren, tolong ke ruanganku sebentar. Bawakan berkas untuk ditandatangani," kata Alvin pada sekretarisnya itu."Sekalian, berkas untuk seminggu kedepannya," lanjut Alvin lagi.Pintu terbuka, wangi parfum yang sangat dikenal Alvin, lebih dulu sampai di indera penciumannya. Itu tanda yang datang adalah sang sekretaris. Sudah seminggu sejak kematian ayahnya, dan Rena baru masuk kembali setelah mengambil cuti. Alvin sudah sangat merindukannya, hingga mengambil kesempatan untuk segera bertemu dengan wanita yang sebenarnya masih mempunyai tempat dihatinya itu.Tapi Rena sudah berubah penampilannya. Tidak ada lagi Rena dengan blazer dan rok pendeknya, rambut yang sering berganti model. Kadang lurus, kadang bergelombang itu, sekarang diikat rapi. Alvin takjub melihatnya, Rena sangat cantik sekali dengan balutan baju dan celana panjang yang menutup tubuhnya. -Ah, Rena. Andai saja dulu kamu tidak menolakku, mungkin saat ini, aku adalah laki-laki paling beruntung di dunia ini.- Batin Alvin. Le
Setelah berbincang sejenak dengan sopir taksi, Barra mengeluarkan dompet dari sakunya. Ternyata dia membayar ongkos taksi yang di pesan Rena tanpa harus Rena naik taksi dan pulang menggunakan kendaraan itu.Rena terpana melihat apa yang dilakukan Barra itu. Dia tidak menyangka kalau ternyata Barra melakukan hal itu, agar Rena bisa pulang naik motor dengannya."Bukankah kata Alvin kita harus bekerja sama? Dimulai hari ini, aku akan mengantar dan menjemputmu pergi dan pulang kerja," kata Barra diiringi senyuman yang jarang diberikan untuk orang lain."Kenapa harus begitu?" Protes Rena."Karena kita harus bisa beradaptasi dengan baik. Jadi didalam pekerjaan nanti, sudah tidak ada rasa canggung lagi," kata Barra sembari menyerahkan sebuah helm yang sudah dipersiapkan untuk Rena.Rena meraihnya. Dia pikir helm yang diberikan Barra untuk dipakainya itu, juga dipakai oleh orang lain. Tentu pacar Barra yang selama ini memakainya.Rena sempat mencium dalam helm itu, tapi kelihatannya helm ini
Lelaki yang duduk manis diatas motor itu melambaikan tangan kepada Rena. Rena yang masih belum sadar seratus persen itu, mengucek mata untuk melihat dengan jelas siapa orang yang melambaikan tangan kepadanya.Setelah dilihat dengan seksama, Rena pun mengenalinya. Dia adalah Barra rekan kerjanya, yang kemarin sore sudah membuat harinya terasa hangat dan bahagia, serta sejenak Rena bisa melupakan masa lalunya itu.Tapi mau apa Barra sepagi ini sudah datang ke sini?Rena pun langsung menyambar jaket dari belakang pintu. Karena dia hanya menggunakan celana tidur panjang dan baju tangan lengan. Tidak mungkin dia menemui Barra dalam keadaan seperti itu. Rena bergegas menemui Barra di luar. Dan menanyakan maksud tujuan Barra datang ke rumahnya, tanpa memberi kabar terlebih dahulu."Selamat pagi ..." sapa Barra.Rena hanya tersenyum sambil menunjukkan barisan giginya yang tertata rapi dan berwarna putih bersih itu."Kenapa pagi-pagi sudah ada di sini? kenapa tidak menghubungiku dulu sih?"
"Rena ... Ren ..." Lelaki itu memaksa masuk ke dalam halaman kantor. Meski langkahnya di halangi oleh satpam perusahaan."Lepaskan aku! Aku hanya ingin bertemu dengan Rena sebentar." dia terus memberontak dan ingin lepas dari cengkraman dua orang satpam yang memegang kedua tangannya.Rena ketakutan, dan kembali masuk ke dalam lobby kantor. Barra yang sudah kembali dengan motornya melihat dari jauh tingkah Rena yang lari terbirit-birit, seperti melihat hantu saja.-Kenapa dia?-Pikir Barra.Lelaki itu malah memberhentikan motornya tepat di depan pintu masuk lobby perusahaan.Barra menunggu Rena keluar lagi. Mungkin ada yang tertinggal di dalam sana, Barra masih berpikir positif.Sampai akhirnya dia melihat ke arah pos satpam, ada dan yang sedang terjadi di sana. Barra memicingkan matanya, lalu berjalan perlahan mendekat tempat dimana Bram sedang memberontak.Dia merasa saat ini bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di perusahaan ini. Sebab seminggu ini Alvin sudah menyerahkan tangg
"Kenapa mobilnya kamu serahkan pada Rena? Bukankah itu mobilmu, Mas?" Lila, istri Bram bertanya pada suaminya."Mas, kenapa kamu diam saja tidak menjawab pertanyaanku? Lalu sekarang kamu menatap kepergian mantan kekasihmu itu dengan pandangan seperti itu. Apa kamu cemburu melihatnya pergi dengan lelaki tampan itu?" Lila terus mendesak Bram untuk menjawab pertanyaannya."Diam lah Lila! Kamu tidak paham apa yang aku rasakan saat ini?" Bram marah karena Lila terus mendesaknya."Loh ... Kamu kok jadi marah sama aku, Mas? Pasti benar dugaanku kan, kalau kamu cemburu melihat mantanmu itu dibonceng oleh lelaki lain. Dasar munafik. Kamu sudah menikah denganku, tapi hatimu tetap pada Rena. Kalau tahu begini, aku menyesal mau jadi istrimu." Lila marah karena Bram terus memandang kepergian Rena."Aku tidak memaksamu untuk menikah denganku. Apa kamu lupa kalau kamu yang sudah menjebakku agar mau menikahimu? Coba kalau kamu tidak datang sebagai perusak hubungan kami, mungkin saat ini aku masih baha