"Silvia ... Siapa Silvia?" Nama itu berulang kali di sebutkan Mas Barra saat melakukan kewajibannya tadi."Apa dia wanita dari masa lalu Mas Barra, atau dia masih menyimpan rasa pada wanita bernama Silvia itu?" Ah, aku galau memikirkannya. Tapi Mas Barra, yang baru saja melakukan kewajibannya sebagai suami itu, sekarang sedang tertidur Pulas disampingku. Bau minuman masih menyengat dari tubuhnya. Apa Mas Barra melakukan itu dengan sadar kepadaku? Atau hanya karena terpengaruh minuman keras yang menyenangkannya saat mabuk berat tadi?Ah, aku sedih membayangkannya. Sekarang suamiku itu tertidur dengan senyuman di bibirnya. Baru saja aku akan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tiba-tiba Mas Barra mengigau. Dan yang membuat aku terkejut adalah, dia tetap menyebutkan nama Silvia di dalam tidur nyenyaknya itu. Aku tertegun sambil memandang wajah tampan suamiku. rasa penasaran masih menggelayut di pikiranku. Tiba-tiba sebuah dering ponsel milik Mas Barra berbunyi dan memb
"Ren, besok ibuku datang," kata Barra sambil tetap fokus menyetir mobil. Mereka memang sekarang berangkat dan pulang kerja memakai mobil yang dulu dipakai oleh Bram "Loh kok bisa secepat itu mas?" Rena terkejut mendengar ucapan Barra "Iya, dong. Kan memang aku usahakan secepat itu ibu bisa pindah ke sini." "Oh, iya. Aku minta kunci rumah itu dong. Biar aku suruh Bi Inem yang membersihkan rumah itu, sebelum ibu datang," kata Barra lagi."Bi, Inem? Kenapa mesti beliau?" "Memangnya aku tidak boleh meminjam Art-mu sebentar untuk membersihkan rumah itu? Toh, dia juga kerja di rumahmu. Jangan takut nanti aku kasih uang tip yang lumayan banyak untuknya." Barra sepertinya menggampangkan semua cara."Bukan begitu, Mas. Bi Inem itu sekarang sedang repot. Anaknya juga akan pindah ke sini. Dan dia sibuk membersihkan rumahnya sendiri. Jadi tidak ada waktu untuk kesana kemari apa lagi sampai harus membersihkan rumah itu." Rena memberikan alasan pada Barra. Sebenarnya dia tidak setuju kalau h
"Ren, pulang kerja aku langsung jemput Ibu. Kamu pulang sendiri saja. Aku usahakan malam langsung balik ke kota lagi. Dan paginya bisa langsung kerja. Jadi kamu gak perlu menunggu aku, kalau mau, duluan aja berangkat kerja.]Begitu isi pesan dari Barra.Rena mengerutkan dahinya. Tidak habis pikir dengan pola pikir suaminya itu. Kalau memang dia memutuskan untuk pulang ke kampung menjemput ibunya, kenapa tidak langsung menemui Rena di ruangannya?Mereka itu kan bekerja di tempat yang sama. Apa susahnya meluangkan waktu sebentar untuk pamit baik-baik dengan istrinya.Rena hanya membuka dan membaca pesan itu tanpa membalasnya. Dia tahu Barra juga tidak menginginkan balasan darinya. Bahkan mengajaknya turut serta pun tidak ada."Ren, ke ruanganku sebentar, ya?" Tiba-tiba Alvin menghubunginya. Alvin memang hari ini terlambat datang. Untuk itu dia sudah memerintahkan Barra untuk mewakilinya di pertemuan dengan klien baru perusahaan ini.Rena yang sebenarnya masih kesal dan tidak enak hati,
"Barra dengan seorang wanita dan seorang bocah laki-laki sedang berbelanja di sana. Siapa orang itu, Ren?" tanya Bu Diana."Waktu itu kan Ibu melihatnya, kenapa Ibu tidak langsung menegur dan bertanya siapa perempuan yang bersamanya itu?" Tentu saja Rena juga tidak tahu siapa perempuan yang bersama suaminya itu."Waktu itu Ibu sudah selesai belanja dan berada dalam mobil. Sebenarnya Ibu ingin turun lagi dan menghampiri Barra di sana, tapi Pak Burhan keburu menjalankan mobil dan masuk ke jalan raya." elak Bu Diana.Padahal sebenarnya Bu Diana tidak berani menghampiri Barra, karena di dalam pusat grosir itu banyak orang yang belanja. Melihat takut, silap kata malah jadi masalah."Setahuku Barra membawa ibunya dari kampung bersama dengan seorang adik sepupunya yang baru saja di ceraikan oleh suaminya. Katanya akan dibawa ke sini sekalian menjaga ibunya." Rena mencoba mengingat apa kata suaminya itu."Oh, begitu. Wanita yang bersamanya itu bisa jadi sepupunya itu.""Menurut Ibu, masa depa
Rena masuk ke dalam rumah itu. Karena memang Rena punya kunci sendiri. Kunci yang satu lagi sudah diambil Barra, sebelum dia menjemput ibu dan sepupunya."Assalamualaikum." Rena mengucapkan salam ketika masuk ke dalam rumah itu.Wanita tua yang duduk di kursi roda, bersuara tidak jelas seperti menjawab salam Rena. Dan terlihat bibir itu seperti bergerak. Kelihatannya karena penyakit stroke yang dimilikinya, ibu Barra tidak bisa bicara dengan baik."Ibu, saya Rena." Rena mencoba membangun komunikasi dengan memperkenalkan diri pada wanita tua yang duduk di kursi roda itu. Tapi, ternyata beliau hanya memandang Rena, tanpa reaksi apapun lagi."Mas, Barra mana, Bu?" tanya Rena.Beliau menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin itu pertanda beliau tidak tahu di mana anak laki-lakinya itu berada."Tapi tadi dia di sini juga?" tanya Rena lagi.Kali ini beliau menganggukkan kepalanya. Hal itu cukup buat Rena mengetahui bahwa Barra tadi memang ada di dalam rumah ini."Ibu, sudah mandi?" Beliau me
"Sorry, Bos. Aku terlambat datang. Soalnya tadi harus mengurus ibuku dulu.""It,s oke, Barra. Yang penting kamu datang hari ini. Soalnya ada tugas yang harus kamu kerjakan." kata Alvin."Apa itu Bos?""Aku ingin kamu mengaudit perusahaan di kantor cabang. Dan untuk itu aku tugaskan kamu di sana selama satu minggu." Barra tersentak mendengar omongan pimpinan perusahaan itu."Satu Minggu? Apa tidak bisa di kurangi, Bos?"Sepertinya Barra kurang suka dengan dinas ke luar kotanya ini. Karena dengan begini berarti dia harus berjauhan dengan Silvia. Padahal dia baru saja membuat Silvia dekat dengannya."I'am sorry, bro. Aku tahu ini masih masa bulan madu kalian. Tapi aku terpaksa melakukan ini. Karena di perusahaan cabang itu sedang terjadi masalah keuangan yang sangat besar. Dan kamu sebagai manajer keuangan di perusahaan pusat ini, wajib mengaudit keuangan di sana. Aku percaya padamu kamu mampu melaksanakan tugas ini dengan baik."Alvin berpikir Barra keberatan pergi, karena masih menjadi
Mulai malam ini aku tidur di rumah ini untuk seminggu ke depan sampai Mas Barra selesai dinas luar kota. Dia tidak tahu aku akan tidur di sini. Dia pikir ibu akan di sini bersama perawat yang aku cari untuk seminggu ke depan.Sebetulnya aku bisa saja membiarkan Imah, perawat yang ku booking untuk merawat ibu ini disini menjaga Ibu sendirian. Tapi entah kenapa, aku tidak tega melihat mereka hanya berdua saja di sini. Sebabnya aku memutuskan ikut tinggal di sini saja. Serta melawan rasa traumaku atas rumah ini.Ibu mertua sudah tidur dari tadi di kamarnya. Begitu juga Imah. Dari sore ini aku bersama mereka dan aku melihat Imah begitu telaten mengurus ibu mertuaku. Sepertinya aku bisa mempertimbangkannya untuk terus bekerja di sini. Karena dia memang spesialis merawat orang jompo. Bukan seperti sepupu Mas Barra itu. Yang sampai sekarang pun aku belum pernah berjumpa dengannya.Sebetulnya aku trauma berada di rumah ini. Rumah yang membawa kenangan buruk untukku. Rumah yang ku rencanakan
"Bu, Rena tidak mengerti maksud apa yang Ibu ucapkan." Aku tidak tahu harus berbuat apalagi. Sementara ibu mertuaku tetap berusaha berkomunikasi dengan kami. Tetap saja kami tidak mengerti apa yang diucapkannya."Nanti Rena cari pengobatan buat Ibu. Jadi Ibu harus semangat untuk sembuh, ya? Agar kita bisa bercerita dan bercengkrama."Aku berusaha menyenangkan hati mertuaku. Setelah ini akan aku cari tempat terapi yang bagus untuk kesembuhannya. Aku optimis beliau bisa sembuh kalau dapat penanganan yang tepat.Terlihat semburat senyum di bibir tuanya itu. Aku sedikit lega, bisa membuatnya tersenyum. Walaupun usia senja dan terkurung di tubuh lumpuh seperti itu, wajah ibu mertuaku ini masih terlihat sangat cantik. Mungkin dulu di usia mudanya beliau termasuk wanita yang berparas cantik. Dan aku yakin, Mas Barra yang tampan itu karena ibunya juga cantik."Imah, besok aku akan cari-cari informasi tentang di mana tempat terapi yang bagus untuk penderita stroke. Dan aku mau kamu mendampin