Share

2. Hukuman

last update Last Updated: 2025-07-10 19:41:15

Tanah merah basah menempel di ujung sandal anyam milik wanita muda berkulit seputih susu itu. Angin sore mengibaskan ujung kain batiknya yang mulai lembap. Langit mulai mendung. Di kejauhan, hamparan tembakau berjajar rapi, bergerak diterpa angin. Aroma khas dedaunan kering menguar di antara barisan batang yang menjulang sebatas pinggang. Tidak jauh dari ladang itu, sebuah rumah joglo berdiri angkuh dengan atap bertumpuk tiga, dihiasi ukiran kayu jati yang menyiratkan kemewahan dan kekuasaan lama. Dari teras rumah joglo, seorang pria berdiri dengan satu tangan bertumpu di pinggang. Posturnya tegap, rahangnya tegas dan sorot matanya yang tajam.

Pria itu adalah Jagatnata Pramoda. Seorang penguasa tanah, juragan yang tidak hanya disegani karena luasnya lahan dan kekayaannya, tapi juga karena ketegasan yang kerap kali berubah menjadi ketakutan. Tatapannya menelusuri setiap inci ketakutan yang berusaha disembunyikan wanita berambut panjang yang sekarang berdiri di bawah anak tangga itu.

"Dari mana saja kamu?" Suaranya rendah, tetapi terdengar dingin dan menusuk.

Sukma yang sejak tadi menunduk, memberanikan diri mendongak. Wajahnya yang manis terlihat pucat. Ia tau, yang menantinya bukan pelukan, bukan kekhawatiran, tapi amarah yang bisa datang kapan saja.

"Saya baru saja dari perpustakaan desa, Mas." Suaranya nyaris tidak terdengar.

Garis rahang pria itu mengencang. "Siapa yang menyuruhmu ke sana?!"

Bentakan itu menggema sampai ke tiang-tiang rumah. Seekor burung di atas genteng terbang panik. Keluarga Pramoda menganut sistem yang tidak tertulis, tapi mengakar kuat. Pria berkuasa, perempuan mengabdi. Itulah dunia yang kini harus ditempati oleh gadis yang dulu bermimpi menjadi guru di sekolah kecil tempat anak-anak desa belajar mengeja dan berhitung. Ia membayangkan dirinya berdiri di depan papan tulis, belajar dan tertawa bersama murid-muridnya. Semua itu hanya menjadi angan yang tidak akan pernah tercapai.

Wanita itu kini menjadi milik seorang juragan. Bukan karena cinta, tetapi karena kewajiban. Jagatnata tidak pernah menyukai perempuan yang berpikir. Baginya, pendidikan untuk istri hanyalah ilusi dari kemunduran. Ia lebih memilih perempuan yang tau diri, yang menunduk dan tidak pernah bertanya. Diam-diam, Sukma menyimpan semangatnya. Pergi ke perpustakaan desa seorang diri ketika Jagat sedang menginspeksi ladang atau mengurus pertemuan dengan para petani. Ia menyelipkan buku-buku kecil di dalam keranjang belanja. Mulai belajar membaca kembali, menulis puisi, menghafal rumus—seakan sedang menambal hidup yang telah compang-camping dirampas keadaan.

Namun hari ini, langkah kecilnya terlambat. Langit terlalu cepat gelap dan Jagat terlalu cepat pulang.

"Jawab!" Jagat menaikkan suaranya. "Kamu pikir kamu siapa bisa pergi seenaknya tanpa izin dariku?!"

Sukma menggigit bibirnya, menahan airmata yang hampir jatuh. "Saya hanya ingin membaca."

"Membaca? Untuk apa? Kamu pikir kamu akan jadi apa, hah? Guru? Profesor? Kamu itu istri juragan, bukan anak sekolahan!"

Sukma menunduk, tapi hatinya tidak tunduk. Ia menahan napas, menyimpan marah dalam dada. Ia bertekad akan terus belajar, sekalipun Jagat dan seluruh dunia melarangnya.

Hujan turun pelan. Rintiknya menari di atas genteng joglo yang megah, menciptakan irama ritmis yang seharusnya menenangkan. Tetapi di dalam kamar berukuran luas dengan ranjang ukiran kayu jati dan lampu gantung antik, suasana justru membeku. Di sudut kamar, Sukma berdiri mematung. Rambut panjangnya sudah kusut, sebagian basah oleh hujan yang belum sempat dikeringkan. Kain batik yang membalut tubuhnya menempel erat karena lembap, membuat tubuh mungilnya terlihat lebih ringkih.

Jagatnata duduk di tepi ranjang. Tangan kekarnya menggenggam sebuah ikat pinggang kulit, ujungnya menggantung di sisi tempat tidur seperti ancaman yang tidak diucapkan. Wajahnya tenang—dan ketenangan itulah yang justru membuat ketakutan menjalar lebih jauh di tubuh Sukma.

"Berapa kali aku bilang, kamu tidak boleh keluar rumah tanpa izinku!"

Suara itu tidak lantang, tapi ada sesuatu dalam intonasinya yang membuat Sukma bergidik ngeri. Ia membuka mulut, tapi suara tertelannya sendiri lebih keras daripada kata-kata yang sempat ingin ia ucapkan. Jagat berdiri. Langkahnya ringan, tapi terasa begitu mengintimidasi. Seakan tanah ikut menahan napas setiap kali kaki juragan itu melangkah. Sukma mundur satu langkah, lalu dua. Hingga akhirnya punggungnya menabrak dinding.

"Kalau kamu tidak bisa diatur dengan kata-kata, maka aku harus memakai cara lain," bisik pria itu dingin.

Ujung sabuk disentakkan ke udara. Angin dari gerakannya mengenai pipi Sukma lebih dulu sebelum suara yang terdengar nyaring seperti tamparan menyambar udara. Tidak mengenai kulit, tapi cukup untuk membuat jantungnya seakan jatuh ke lantai.

"Aku tidak akan menyakitimu, kalau kamu tau tempatmu," ujarnya seraya mencondongkan tubuh ke depan, membuat jarak di antara mereka tidak lebih dari satu helaan napas. Matanya menyala tajam, penuh kuasa.

Sukma menatapnya. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa ketakutan, hatinya berkecamuk. Tetapi, satu hal yang lebih menakutkan dari sabuk itu adalah kenyataan bahwa sejak hari ijab kabul, hidupnya sudah bukan miliknya dan Jagatnata tau itu. Tanpa cinta dan empati. Hanya kekuasaan yang berbicara.

Suara derit pintu ditutup membuat Sukma refleks memejamkan mata. Tubuhnya masih gemetar meskipun tidak satu pun tamparan atau sabetan benar-benar mendarat di kulitnya. Tetapi tatapan itu—tatapan mata seorang pria dengan luka yang tidak pernah benar-benar sembuh, telah lebih menyiksa dari cambuk mana pun. Jagatnata meletakkan sabuk kulit itu ke meja kecil di samping ranjang. Ia tidak berkata-kata, tapi langkahnya, cara ia memutar badannya, bahkan cara ia menyalakan rokok di bibirnya, semuanya seperti pernyataan tidak tertulis. "Aku bisa menghancurkanmu kapan pun aku mau."

Asap rokok mengepul di udara, menari lambat menuju langit-langit yang berhias ukiran bunga. Di balik kabut tipis itu, Sukma diam-diam memandangi punggung bidang suaminya. Ia mencoba membaca pria itu—mencari celah dari dinginnya. Tetapi yang ia temukan hanya bayangan besar dari seseorang yang tidak menginginkannya ada.

"Turunkan pandanganmu. Aku tidak suka ditatap saat marah," ujar Jagat tanpa menoleh—membuat Sukma buru-buru menunduk. Wajahnya kembali mengarah ke lantai kayu yang dingin.

"Aku membayarmu dengan hutang keluargamu. Itu harga yang lebih dari cukup. Jadi, jangan pernah mencoba melawan atau menantangku." Suaranya terdengar berat dan penuh penekanan.

Sukma menelan air liurnya. Ia ingin berkata bahwa dirinya hanya ingin membaca, bahwa ia tidak berniat melawan. Tetapi di rumah ini, alasan bukanlah sesuatu yang pantas keluar dari mulut perempuan seperti dirinya.

"Mulai besok, kamu akan tinggal di bagian belakang. Aku tidak ingin melihatmu berseliweran di serambi atau dekat ruang kerja. Dan kalau kau masih berani pergi ke luar rumah tanpa izin ....."

Jagat menoleh perlahan, matanya tajam menancap seperti belati. "Kamu akan tau bahwa aku bukan pria yang sekadar menakuti lewat kata-kata."

Di saat yang sama, petir menyambar di luar. Suaranya menggema, menyatu dengan detak jantung Sukma yang kian tidak teratur. Jagat berjalan mendekat. Sekali lagi. Kali ini ia berdiri tepat di hadapannya. Jarak mereka nyaris tiada. Pria itu menunduk, mengangkat dagu Sukma dengan satu jari.

"Tapi ingat, aku tidak menyentuh barang yang tidak tau diri." Setelah itu, Jagat melangkah pergi ke kamar sebelah, meninggalkan Sukma sendirian di kamar pengantin yang seharusnya penuh kebahagiaan.

Kini yang tersisa hanya bau asap tembakau dan ketakutan yang mengendap di setiap sudut ruangan. Malam ini, wanita bermata sendu itu tidak menangis. Air matanya habis sejak hari pertama ia dipaksa memakai kebaya pengantin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   10. Kebohongan Kecil

    Di kamar utama, sinar matahari menembus sela-sela tirai tipis, menciptakan pola cahaya yang menyentuh ujung ranjang. Di bawahnya, Jagat duduk di tepi tempat tidur, membelakangi Sukma yang masih tertidur. Pria itu mengenakan kain sarung dan kaos putih. Ia duduk diam, tangannya terlipat di atas lutut, wajahnya menatap lantai. Ekspresinya seperti biasa, datar. Tetapi napasnya lebih pelan, tidak seganjal biasanya. Di balik punggungnya, gadis itu masih terlelap. Rambut panjangnya terurai di bantal. Pipi halusnya terlihat lebih damai dari malam-malam sebelumnya. Gadis itu tidak menggeliat, tapi tubuhnya seolah tau, bahwa kehangatan yang semalam terasa, kini tidak ada lagi. Perlahan, Sukma membuka mata. Cahaya pagi menyilaukan, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Ranjang itu masih hangat, tapi kosong di sisinya. Matanya bergerak ke arah pria yang duduk membelakanginya. Tidak ada sapaan. Hanya punggung kokoh yang terlihat tenang, seakan malam tadi hanyalah mimpi

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   9. Sentuhan yang Tak Biasa

    Jagat duduk di sisi ranjang, mengenakan kaus putih tipis dan celana panjang longgar. Bahunya tegap, tubuhnya bersandar pada tiang kayu ranjang, namun pikirannya jauh. Matanya kosong menatap ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Terdengar gemericik air menetes. Lalu sunyi lagi. Lalu suara engsel kayu yang berderit pelan. Pintu kamar mandi terbuka. Gadis muda itu muncul dalam balutan kain jarik yang melilit tubuh rampingnya. Rambut panjangnya basah, sebagian menempel di bahu putihnya, sebagian lagi dibiarkan tergerai ke punggung. Wajahnya tanpa bedak, tapi kulitnya yang bening dan lembap seolah memantulkan cahaya lampu di langit-langit. Sukma tidak langsung menyadari bahwa pria itu sedang menatapnya. Ia berjalan perlahan, menunduk, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Jagat masih diam, tapi matanya tidak berkedip. Tatapannya mengikuti gerakan halus jemari Sukma, turun ke tengkuknya yang basah, lalu ke pundaknya ya

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   8. Setitik Harapan

    Aroma daun tembakau yang baru dipetik menguar di udara, bercampur aroma tanah basah dan embun yang belum sepenuhnya menguap. Di kejauhan, para pekerja berjalan hilir mudik dengan bakul anyaman di punggung, menyapa dengan anggukan hormat. Jagat melangkah di depan, tubuhnya tegap, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia sesekali mengangguk pada pekerja, memberi arahan singkat dengan suara berat. Di belakangnya, langkah Sukma menyusul. Tidak secepat suaminya, tapi cukup kuat untuk seorang perempuan yang lututnya masih diperban tipis. Suara sandal Sukma menyentuh tanah basah membuat Jagat menoleh sesaat. "Kalau sakit, kamu bisa tunggu di warung kecil di ujung ladang," ujarnya datar, tapi tidak segalak biasanya. Gadis berambut panjang itu tersenyum sambil menggeleng pelan. "Saya baik-baik saja, Mas." Jagat tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan, tapi tidak secepat tadi. Langkahnya secara tidak sadar melambat. Agar tidak terlalu jauh. Di su

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   7. Mengabaikan Perintah

    Di kamar belakang, ruang kecil yang biasa digunakan Sukma untuk menyetrika dan menyimpan peralatan rumah tangga-lampu minyak menyala redup, memantulkan bayangan samar di dinding. Gadis berkulit seputih susu itu duduk di lantai beralaskan tikar pandan. Rambut panjangnya ia jepit asal dengan tusuk konde kayu. Di hadapannya, baskom kecil berisi air hangat, selembar kain bersih dan sebotol minyak gosok dari warung. Tangannya gemetar saat menarik ujung rok yang menutupi lututnya. Luka goresan masih memerah. Sudutnya mulai membiru. Siang tadi, saat ia membawa kantong belanjaan dan berusaha mengejar langkah panjang suaminya, kakinya tersandung batu dan ia terjatuh. Ia menahan rasa perih saat kain menyentuh luka. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah. Entah kenapa, luka di lututnya terasa begitu nyeri. Rasanya, sakit sekali. Desis kecil keluar tanpa sadar, tapi dengan cepat ia tutup mulutnya sendiri. Rumah ini terlalu senyap dan ia tau, suaranya tidak diinginkan di tengah m

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   6. Jatuh Terluka

    Jalanan basah karena embun dan semalam hujan. Di halaman belakang, suara air dari genteng menetes pelan. Di dalam rumah Pramoda yang megah, dua sosok berdiri dalam diam—seperti patung yang terlalu lama saling menghindar. Wanita muda berkulit seputih susu itu mengenakan blouse lusuh berwarna biru muda dengan rok hitam mengembang selutut. Rambut hitam legamnya dikuncir rendah. Di tangannya ada tas belanja anyaman yang sudah usang, kontras dengan lantai marmer yang dipijaknya. Jagat muncul dari ruang dalam, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung setengah. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin, tapi sorot matanya masih dingin seperti biasanya. Dia melirik jam tangan lalu menatap perempuan itu tanpa senyum. "Kita berangkat sekarang. Jangan lama." Sukma mengangguk cepat. Suaranya nyaris tidak terdengar saat berkata. "Iya. Saya sudah siap dari tadi, Mas." Tidak ada balasan. Mereka berjalan menuju mobil. Sopir sudah menunggu. Di sepanjang

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   5. Jangan Berharap

    Langit malam menggantung muram di balik kisi jendela kamar mereka. Lampu gantung tua yang menggantung di tengah langit-langit hanya menyala setengah redup, menyorot warna kelabu pada seprai dan dinding kayu kamar. Jagat duduk di tepi ranjang. Tubuhnya condong ke depan, tangan menopang dahi. Sukma masuk dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Suasana canggung langsung menyelimuti ruangan seperti kabut. Biasanya, mereka hanya berbicara jika Jagat memulai dan itupun seperlunya.Sukma menatap punggung Jagat. Nafas pria itu terdengar berat dan pendek. Cahaya lampu memantulkan pucat wajahnya. Leher kemejanya basah oleh keringat, meskipun angin malam cukup dingin."Mas ....." Suara Sukma pelan, nyaris seperti bisikan. Untuk pertama kalinya setelah mereka bersama, Sukma mengawali percakapan. Jagat tidak menjawab. Hanya gerakan kecil di bahunya yang menandakan ia mendengar."Mas kelihatan pucat."Lama tidak ada sahutan. Lalu terdengar suara dingin. "Bukan urusanmu," balas Jagat singkat."Tap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status