Pagi menyapu halaman rumah joglo dengan embun yang masih enggan menguap. Di belakang bangunan utama yang menjulang megah dengan ukiran klasik di tiang-tiang jatinya, sebuah paviliun kecil berdinding bata menjadi tempat tinggal baru Sukma. Perempuan berkulit seputih susu itu telah bangun sebelum fajar. Rambut panjangnya ia sanggul sederhana. Tangannya sibuk menanak nasi di pawon dapur, sementara sayup-sayup suara ayam bersahut-sahutan dari belakang kandang. Tidak ada suara selain gemericik air dan gesekan centong kayu di dandang. Keheningan ini sudah menjadi sahabatnya sejak hari pertama dipindahkan ke belakang. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada keluhan. Sebab di rumah ini, bahkan air mata pun tidak berhak memiliki suara.
Sebuah suara berat terdengar dari dalam rumah utama. "Sukma." Seketika Sukma menoleh dan berlari kecil dengan langkah terjaga. Sesampainya di depan kamar Jagatnata, pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan kain sarung dan kaus singlet. "Carikan kemeja putihku. Yang lengan panjang," ujarnya dingin seperti biasa. Sukma mengangguk pelan. "Iya, Mas." Tidak ada ucapan terima kasih. Hanya diam dan langkah berat yang kembali masuk ke dalam kamar. Saat memberikan baju itu, Jagat menatapnya sepersekian detik. Mata elangnya seakan hendak membaca isi kepala istrinya itu. Lalu, suaranya keluar begitu pelan, tapi menggores tajam. "Selama aku pergi, jagalah sikapmu, Sukma. Aku tidak ingin punya istri pembangkang." Sukma menunduk dalam, tidak berani menyentuh tatapan itu. "Iya, Mas." "Uang untuk membeli bahan pangan dan kebutuhan lainnya yang habis." Jagat memberikan beberapa lembar uang pada istrinya. Beberapa saat kemudian, Sukma menghidangkan sarapan sederhana. Gudeg, telur pindang dan teh tubruk hangat. Semuanya disiapkan sendiri oleh tangan halusnya, tanpa bantuan siapa pun. Jagat makan tanpa banyak bicara. Seperti pagi-pagi sebelumnya, hanya bunyi sendok menyentuh piring yang menjadi musik pengiring mereka. Selepas sarapan, Jagat keluar mengenakan kemeja putih dan celana kain. Ia berjalan menuju garasi, tempat Isuzu Panther Grand Royal menunggu dengan sopir setia duduk di depan. "Kita ke kota. Ada urusan dengan Pak Lurah dan dua juragan dari Imogiri," ujarnya pada supir. Jalanan desa masih sepi. Beberapa petani menyapa sopan saat mobilnya lewat. Semua tau siapa yang sedang duduk di dalam kendaraan itu. Jagatnata Pramoda, sang pewaris tanah tembakau yang luasnya menyamai separuh kecamatan. Setibanya di kota, ia disambut beberapa pria bersarung dan peci hitam. Pembicaraan pun dimulai tentang tanah, hasil panen dan rencana ekspor tembakau kering ke Semarang. Sementara itu, tidak jauh dari pasar Beringharjo, sebuah bangunan tua berdinding semen dan jendela kayu terbuka lebar. Di sanalah, seorang perempuan muda dengan sebuah dress bermotif bunga-bunga selutut masuk pelan-pelan, menuruni anak tangga menuju ruangan yang penuh debu buku. Sukma tau waktunya terbatas. Ia hanya punya satu jam sebelum harus kembali menyiapkan makan siang. Tetapi satu jam itu sudah cukup untuk membuka kembali dunia yang pernah menjadi miliknya. Tangannya menyentuh buku tentang sejarah pendidikan Indonesia. Di sebelahnya, seorang anak kecil duduk membaca buku dongeng. Sukma tersenyum samar. Dunia yang sunyi ini menjadi pelariannya dari kehidupan rumah tangga yang tidak pernah ia pilih. Namun jauh di hatinya, terselip rasa bersalah. Ia sadar, ia telah melanggar batas yang ditetapkan oleh suaminya. Tetapi seperti buku yang terlalu lama ditutup, mimpi pun kadang berteriak ingin dibuka. ୨ৎꫂ❁ Langit di atas kota Jogja mulai berubah kelabu saat jip tua berhenti di halaman rumah besar keluarga Pramoda. Dinding rumah itu menjulang megah, berdiri kokoh sejak masa kolonial dengan pilar-pilar marmer dan taman berhiaskan pohon kamboja tua yang aromanya samar menguar di udara sore. Sukma melangkah pelan di belakang suaminya. Angin sore menerbangkan ujung jarik yang ia kenakan. Suaranya nyaris tidak terdengar di antara gemerisik daun. Tangan lembutnya menggenggam tas kecil, sementara wajahnya yang pucat tetap menunduk—bukan karena takut, tapi karena tidak tau ke mana seharusnya ia menatap dalam dunia yang bukan miliknya. Di ambang pintu, sosok perempuan dengan kebaya cokelat keemasan dan sanggul rapi menyambut mereka. Nyai Roro Pramoda, wanita sepuh yang tubuhnya masih tegak dan sorot matanya menembus batas-batas kesopanan. "Jagat ... Sukma," sapanya dengan senyum tipis. "Akhirnya sempat juga mampir ke rumah ini." Jagat menunduk sopan lalu masuk tanpa berkata-kata. Sukma mengikuti di belakang, membungkuk hormat dengan tenang. Di dalam ruang tamu yang hangat dan penuh aroma kemenyan, teh tubruk disajikan dalam cangkir keramik tua. Nyai Roro duduk di kursi tengah, posisi strategis seperti ratu di atas singgasana. Tangan keriputnya memainkan untaian tasbih dari kayu cendana dan suaranya mengalun lembut. "Ibu senang melihat kalian duduk bersama seperti ini. Sudah berbulan-bulan menikah, suasana rumah pasti sudah mulai terasa hangat, ya?" Tidak ada jawaban. Jagat menyandarkan tubuh pada kursi, matanya menatap jendela. "Ibu dulu waktu punya menantu baru, pasti setiap hari menunggu kabar bahagia. Apalagi kalau pewaris darah keluarga Pramoda." Senyum halus terbit di bibir wanita tua itu, tapi tatapannya mengarah langsung ke Sukma. Sukma nyaris tidak bergerak. Dadanya sesak. Satu-satunya suara yang ia dengar hanyalah detak jantungnya sendiri dan dengung nyinyir halus dalam kepala. Nyai Roro melanjutkan, dengan nada yang nyaris tidak bisa dibantah. "Jagat dulu waktu kecil kuat. Lahirnya pun mudah, Nduk. Semoga cucuku kelak juga begitu." Lalu diam sejenak, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Tapi kalau terlalu lama, kadang orang tua jadi bertanya-tanya. Apa yang salah? Apa yang mandeg?" Untaian kata itu menyatu dalam tenang, tapi tajam. Seperti belati berbalut bunga melati. Jagat tidak menoleh. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia hanya menyesap tehnya perlahan. Sukma meremas ujung jariknya di pangkuan. Dalam hatinya ia ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa tubuhnya bahkan belum disentuh lagi sejak malam itu. Tetapi bagaimana bisa ia bicara? Di rumah ini, perempuan sepertinya tidak punya suara. Lagi-lagi jika belum hamil, hanya si perempuan yang ditanyakan dan dicecar. "Sukma pasti paham, keluarga besar seperti kita tidak bisa terus-terusan menunggu." Nyai Roro tersenyum lagi, lalu meneguk tehnya dengan anggun. Tidak berselang lama, langkah sepatu kulit yang berat dan mantap menggema di lorong rumah besar Pramoda, seperti gema kekuasaan yang menolak pudar ditelan waktu. Rakai Pramoda Adinagara—pria setua bayang-bayang dinasti yang ia bangun, memasuki ruang tengah. Rambutnya telah memutih nyaris seluruhnya, tapi tubuhnya masih tegak, sorot mata elang yang mengintai segala gerak-gerik. Di balik kain lurik dan beskap hitam yang melekat pada tubuhnya, ada jejak masa lalu. Darah dari tanah, keringat dari tambang dan langkah yang pernah menggetarkan meja kekuasaan. Matanya langsung menangkap sosok Jagat dan Sukma di ruang tamu. "Jagat," ujarnya begitu sorot matanya melihat sang putra. "Kenapa baru sekarang datang?" Jagat berdiri dari kursinya dan membungkuk, formal. "Saya sibuk, Romo." Rakai melirik Sukma yang ikut berdiri. Wanita muda berkulit cerah itu terlihat gugup, tapi tetap menjaga sikap. "Dan kamu, Sukma ... sudah berapa lama menjadi istri anakku?" "Enam bulan, Romo," balasnya pelan. "Enam bulan. Tapi perutmu masih datar seperti papan." Kalimat itu keluar dengan tenang, tapi dentingnya memukul jauh ke dalam. Sukma menunduk. Jagat tetap berdiri, tidak membalas. Rakai Pramoda melangkah maju. "Dengarkan baik-baik," ujarnya sambil berhenti tepat di depan mereka. "Perempuan datang dan pergi. Tapi garis keturunan, itu yang abadi." Tatapannya menghantam langsung ke Sukma, seperti batu menimpa kaca tipis. "Aku tidak peduli siapa kamu, darimana asalmu atau apa mimpimu. Kamu menikah dengan anakku karena membayar hutang keluargamu." Lanjut Rakai dengan suara tajam. "Jadi, mau tidak mau juga harus melahirkan pewaris keluarga Pramoda." "Jagat." Rakai kini beralih menatap putranya. "Kalau sampai akhir tahun belum ada kabar baik ... kamu tau, kan, apa yang akan bapakmu ini lakukan." Jagat hanya mengangguk. Setelah itu, Rakai Pramoda melangkah pergi tanpa menoleh—seperti hakim yang telah mengetuk palu. Meninggalkan pasangan muda itu dalam ruang tamu yang mendadak dingin, lebih dingin dari musim penghujan yang sebentar lagi datang.Di kamar utama, sinar matahari menembus sela-sela tirai tipis, menciptakan pola cahaya yang menyentuh ujung ranjang. Di bawahnya, Jagat duduk di tepi tempat tidur, membelakangi Sukma yang masih tertidur. Pria itu mengenakan kain sarung dan kaos putih. Ia duduk diam, tangannya terlipat di atas lutut, wajahnya menatap lantai. Ekspresinya seperti biasa, datar. Tetapi napasnya lebih pelan, tidak seganjal biasanya. Di balik punggungnya, gadis itu masih terlelap. Rambut panjangnya terurai di bantal. Pipi halusnya terlihat lebih damai dari malam-malam sebelumnya. Gadis itu tidak menggeliat, tapi tubuhnya seolah tau, bahwa kehangatan yang semalam terasa, kini tidak ada lagi. Perlahan, Sukma membuka mata. Cahaya pagi menyilaukan, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Ranjang itu masih hangat, tapi kosong di sisinya. Matanya bergerak ke arah pria yang duduk membelakanginya. Tidak ada sapaan. Hanya punggung kokoh yang terlihat tenang, seakan malam tadi hanyalah mimpi
Jagat duduk di sisi ranjang, mengenakan kaus putih tipis dan celana panjang longgar. Bahunya tegap, tubuhnya bersandar pada tiang kayu ranjang, namun pikirannya jauh. Matanya kosong menatap ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Terdengar gemericik air menetes. Lalu sunyi lagi. Lalu suara engsel kayu yang berderit pelan. Pintu kamar mandi terbuka. Gadis muda itu muncul dalam balutan kain jarik yang melilit tubuh rampingnya. Rambut panjangnya basah, sebagian menempel di bahu putihnya, sebagian lagi dibiarkan tergerai ke punggung. Wajahnya tanpa bedak, tapi kulitnya yang bening dan lembap seolah memantulkan cahaya lampu di langit-langit. Sukma tidak langsung menyadari bahwa pria itu sedang menatapnya. Ia berjalan perlahan, menunduk, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Jagat masih diam, tapi matanya tidak berkedip. Tatapannya mengikuti gerakan halus jemari Sukma, turun ke tengkuknya yang basah, lalu ke pundaknya ya
Aroma daun tembakau yang baru dipetik menguar di udara, bercampur aroma tanah basah dan embun yang belum sepenuhnya menguap. Di kejauhan, para pekerja berjalan hilir mudik dengan bakul anyaman di punggung, menyapa dengan anggukan hormat. Jagat melangkah di depan, tubuhnya tegap, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia sesekali mengangguk pada pekerja, memberi arahan singkat dengan suara berat. Di belakangnya, langkah Sukma menyusul. Tidak secepat suaminya, tapi cukup kuat untuk seorang perempuan yang lututnya masih diperban tipis. Suara sandal Sukma menyentuh tanah basah membuat Jagat menoleh sesaat. "Kalau sakit, kamu bisa tunggu di warung kecil di ujung ladang," ujarnya datar, tapi tidak segalak biasanya. Gadis berambut panjang itu tersenyum sambil menggeleng pelan. "Saya baik-baik saja, Mas." Jagat tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan, tapi tidak secepat tadi. Langkahnya secara tidak sadar melambat. Agar tidak terlalu jauh. Di su
Di kamar belakang, ruang kecil yang biasa digunakan Sukma untuk menyetrika dan menyimpan peralatan rumah tangga-lampu minyak menyala redup, memantulkan bayangan samar di dinding. Gadis berkulit seputih susu itu duduk di lantai beralaskan tikar pandan. Rambut panjangnya ia jepit asal dengan tusuk konde kayu. Di hadapannya, baskom kecil berisi air hangat, selembar kain bersih dan sebotol minyak gosok dari warung. Tangannya gemetar saat menarik ujung rok yang menutupi lututnya. Luka goresan masih memerah. Sudutnya mulai membiru. Siang tadi, saat ia membawa kantong belanjaan dan berusaha mengejar langkah panjang suaminya, kakinya tersandung batu dan ia terjatuh. Ia menahan rasa perih saat kain menyentuh luka. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah. Entah kenapa, luka di lututnya terasa begitu nyeri. Rasanya, sakit sekali. Desis kecil keluar tanpa sadar, tapi dengan cepat ia tutup mulutnya sendiri. Rumah ini terlalu senyap dan ia tau, suaranya tidak diinginkan di tengah m
Jalanan basah karena embun dan semalam hujan. Di halaman belakang, suara air dari genteng menetes pelan. Di dalam rumah Pramoda yang megah, dua sosok berdiri dalam diam—seperti patung yang terlalu lama saling menghindar. Wanita muda berkulit seputih susu itu mengenakan blouse lusuh berwarna biru muda dengan rok hitam mengembang selutut. Rambut hitam legamnya dikuncir rendah. Di tangannya ada tas belanja anyaman yang sudah usang, kontras dengan lantai marmer yang dipijaknya. Jagat muncul dari ruang dalam, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung setengah. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin, tapi sorot matanya masih dingin seperti biasanya. Dia melirik jam tangan lalu menatap perempuan itu tanpa senyum. "Kita berangkat sekarang. Jangan lama." Sukma mengangguk cepat. Suaranya nyaris tidak terdengar saat berkata. "Iya. Saya sudah siap dari tadi, Mas." Tidak ada balasan. Mereka berjalan menuju mobil. Sopir sudah menunggu. Di sepanjang
Langit malam menggantung muram di balik kisi jendela kamar mereka. Lampu gantung tua yang menggantung di tengah langit-langit hanya menyala setengah redup, menyorot warna kelabu pada seprai dan dinding kayu kamar. Jagat duduk di tepi ranjang. Tubuhnya condong ke depan, tangan menopang dahi. Sukma masuk dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Suasana canggung langsung menyelimuti ruangan seperti kabut. Biasanya, mereka hanya berbicara jika Jagat memulai dan itupun seperlunya.Sukma menatap punggung Jagat. Nafas pria itu terdengar berat dan pendek. Cahaya lampu memantulkan pucat wajahnya. Leher kemejanya basah oleh keringat, meskipun angin malam cukup dingin."Mas ....." Suara Sukma pelan, nyaris seperti bisikan. Untuk pertama kalinya setelah mereka bersama, Sukma mengawali percakapan. Jagat tidak menjawab. Hanya gerakan kecil di bahunya yang menandakan ia mendengar."Mas kelihatan pucat."Lama tidak ada sahutan. Lalu terdengar suara dingin. "Bukan urusanmu," balas Jagat singkat."Tap