Langit malam menggantung muram di balik kisi jendela kamar mereka. Lampu gantung tua yang menggantung di tengah langit-langit hanya menyala setengah redup, menyorot warna kelabu pada seprai dan dinding kayu kamar. Jagat duduk di tepi ranjang. Tubuhnya condong ke depan, tangan menopang dahi. Sukma masuk dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Suasana canggung langsung menyelimuti ruangan seperti kabut. Biasanya, mereka hanya berbicara jika Jagat memulai dan itupun seperlunya.
Sukma menatap punggung Jagat. Nafas pria itu terdengar berat dan pendek. Cahaya lampu memantulkan pucat wajahnya. Leher kemejanya basah oleh keringat, meskipun angin malam cukup dingin. "Mas ....." Suara Sukma pelan, nyaris seperti bisikan. Untuk pertama kalinya setelah mereka bersama, Sukma mengawali percakapan. Jagat tidak menjawab. Hanya gerakan kecil di bahunya yang menandakan ia mendengar. "Mas kelihatan pucat." Lama tidak ada sahutan. Lalu terdengar suara dingin. "Bukan urusanmu," balas Jagat singkat. "Tapi kalau Mas sakit—" "Aku bilang tidak usah," potongnya pelan dan tegas. Sukma diam sejenak. Tangannya menggenggam ujung kain sarungnya. "Tapi aku istrimu ....." Jagat menoleh, matanya menatap ke arah Sukma tajam. "Sekadar istri, itupun karena perjanjian. Jangan berpura-pura peduli," gumamnya. Lalu ia merebahkan diri ke ranjang, membelakangi Sukma. Sukma menunduk. Ia menarik napas dalam, lalu naik ke ranjang, memunggungi pria itu dengan jarak yang tetap mereka jaga sejak awal. Detik jam dinding terdengar seperti genderang perlahan. Sukma terbangun oleh suara rintih tertahan, ia menoleh. Jagat gelisah. Tubuhnya menggigil dan keringat membasahi pelipisnya. Nafasnya terburu dan tangannya mencengkeram kain seprai seperti berusaha menahan sakit. Sukma bangkit. "Mas?" bisiknya. Jagat tidak menjawab. Ia menyentuh dahi pria itu. Panas. Tanpa pikir panjang, Sukma melangkah cepat ke dapur. Mengisi mangkuk kecil dengan air, membawa kain bersih dan segelas teh jahe. Tanpa berkata apa-apa, Sukma duduk di samping Jagat. "Apa yang kamu lakukan?" gumam Jagat. Suaranya terdengar parau. "Mengkompres biar demamnya cepat turun." "Aku tidak butuh." Sukma mendekat. Menangkup pelan kening Jagat dengan tangan lembutnya. "Kali ini saja, jangan larang Saya." Jagat memejamkan mata. Kain dingin itu menyentuh keningnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak menepis. Angin malam menggerakkan tirai. Kamar sunyi. Hanya suara jangkrik dan napas berat Jagat yang terdengar. Sukma sudah hampir terlelap di sisi ranjang, selimut sampai dada. Tubuhnya lelah. Sejak tadi, ia terus terjaga untuk merawat Jagat. Hingga igauan suaminya itu membuat kantuk Sukma seketika menghilang. "Kinasih ....." Sukma tertegun. Ia diam, tidak bergerak. "Jangan tinggalkan aku." Suaranya pelan, tapi penuh luka. Sukma memutar tubuhnya perlahan. Menatap punggung Jagat yang basah keringat. Ia tidak lagi demam tinggi, tapi panas tubuhnya masih terasa. Namun, yang lebih menyakitkan bagi Sukma adalah nama itu. Kinasih. Nama yang tidak pernah disebut di rumah ini, tapi kini keluar dari mulut suaminya dalam keadaan tidak sadar. Sukma menggigit bibir. Matanya tidak berkedip, tapi ada air yang menggenang. Bukan karena cemburu, tapi karena sadar—cintanya bahkan belum dimulai, tapi telah kalah lebih dulu. ୨ৎꫂ❁ Jagat masih terbaring. Napasnya lebih ringan, tapi tubuhnya belum kuat. Di meja kecil di samping tempat tidur, Sukma duduk sambil memegang mangkuk bubur yang masih hangat. Ia meniup sendok perlahan, lalu menyuapkannya ke bibir Jagat. "Mas harus makan." Jagat membuka mata. Samar. Tubuhnya lemah dan ia tidak menolak. Sendok pertama. Lalu kedua. Sukma tetap diam. Hanya menyuapkan dengan telaten. Tubuhnya tetap kuat, meskipun ia terus terjaga semalaman. Benar-benar tidak tidur. "Mas mau nambah lagi?" tanya Sukma begitu bubur habis. "Tidak," balasnya singkat. Setelah Sukma memberi obat, Jagat memutuskan untuk memejamkan mata. Sukma masih berada di posisinya, menyandarkan tubuh di kursi. Kepalanya ia letakkan ke sisi tempat tidur. Di sana—dengan rambut awut-awutan dan selendang tergelincir ke bahu—ia tertidur dalam diam. Tidak berselang lama, Jagat membuka mata. Langit-langit kamar masih sama, langit kelabu yang menggantung berat. Tetapi matanya tidak menatap ke sana. Pandangannya langsung tertarik pada sosok Sukma yang tertidur di kursi tepat di sisi tempat tidur. Pria itu menggerakkan kepalanya sedikit. Pandangannya menyusuri wajah Sukma. Rambut hitamnya berantakan, sebagian menutupi pipi. Wajah itu lelah, sangat lelah. Tetapi ada kedamaian di sana. Dalam diam, ia melihat hal yang tidak pernah ia beri waktu untuk dilihat sebelumnya. Tenggorokan Jagat tercekat. Ada sesuatu yang mengganjal—bukan sakit fisik, tapi rasa yang lebih dalam. Aneh. Ia tidak terbiasa dirawat. Apalagi oleh seseorang yang tidak pernah ia beri tempat dalam hatinya. Tangannya perlahan terulur, sedikit ragu. Lalu menyentuh helaian rambut Sukma yang menutupi pipinya dan ia selipkan ke belakang telinga perempuan itu. Sukma tidak bangun. Jagat menarik napas dalam. Dadanya masih berat, tapi kali ini bukan karena demam. Ada rasa bersalah yang menyelinap. Ia teringat kata-katanya dulu—tentang Sukma yang hanya alat, tentang tidak pernah ada cinta. Kata-kata dingin yang ia pakai untuk membentengi luka sendiri. Sukma bergerak sedikit. Mendengus pelan dalam tidur. Tangannya yang menggenggam selimut terlepas begitu saja. Refleks membuat Jagat menunduk, mengambil tangan itu dan memegangnya. Ia tidak tau kenapa. Hanya ingin memegang sesuatu yang nyata. Pagi ini, yang nyata adalah perempuan yang tertidur karena menjaga dirinya semalaman, tanpa diminta. Tanpa imbalan. Lama Jagat menatap wajah itu. Dalam diam, untuk pertama kalinya, ia merasa ingin mengenalnya. Bukan sebagai istri yang dipaksa. Bukan sebagai wanita yang dipilihkan keluarga. Tetapi, sebagai manusia yang telah begitu sabar mengisi ruang kosong yang tidak pernah ia sadari selama ini. Sukma bangun dan menyadari tangan mereka bersentuhan. Ia sempat tertegun, bahkan tanpa sadar tersenyum sedikit. Mengabaikan pikirannya, ia cepat-cepat membereskan kain kompres, menyingkirkan mangkuk bubur kosong dan bersiap meninggalkan kamar agar Jagat bisa istirahat lagi. Namun, begitu Jagat membuka mata dan melihat Sukma, ekspresinya langsung berubah. Dingin. Jarak itu kembali. Sikap dan pikirannya benar-benar berbanding balik dengan yang ia lakukan beberapa saat lalu. "Tidak usah terlalu repot. Aku tidak meminta untuk dilayani," ujar Jagat sembari duduk dan menjauhkan tangan Sukma yang sempat menyentuh bahunya saat membantu berdiri. Sukma menunduk. "Saya hanya ....." "Tidak perlu berlagak seolah kamu istriku. Kita sama-sama tau, ini hanya hutang," potong Jagat. "Tadi malam, jangan ditafsirkan aneh-aneh." Boom. Kalimat itu mematahkan harapan kecil yang mulai tumbuh di hati Sukma. "Kalau sudah selesai, keluar. Aku ingin sendiri." Lanjut Jagat sembari menarik selimut menutupi tubuhnya. Sukma diam. Ia menggenggam ujung bajunya sendiri, menahan perasaan yang ingin tumpah. Ia menunduk, memungut mangkuk bubur kosong tanpa kata, tanpa protes dan keluar kamar dengan perasaan campur aduk. Di luar kamar, saat Sukma menutup pintu pelan-pelan, ia tidak menangis. Pandangan matanya kosong, seperti perempuan yang baru saja mengingatkan diri sendiri. "Jangan berharap apa pun. Kamu bukan siapa-siapa."Di kamar utama, sinar matahari menembus sela-sela tirai tipis, menciptakan pola cahaya yang menyentuh ujung ranjang. Di bawahnya, Jagat duduk di tepi tempat tidur, membelakangi Sukma yang masih tertidur. Pria itu mengenakan kain sarung dan kaos putih. Ia duduk diam, tangannya terlipat di atas lutut, wajahnya menatap lantai. Ekspresinya seperti biasa, datar. Tetapi napasnya lebih pelan, tidak seganjal biasanya. Di balik punggungnya, gadis itu masih terlelap. Rambut panjangnya terurai di bantal. Pipi halusnya terlihat lebih damai dari malam-malam sebelumnya. Gadis itu tidak menggeliat, tapi tubuhnya seolah tau, bahwa kehangatan yang semalam terasa, kini tidak ada lagi. Perlahan, Sukma membuka mata. Cahaya pagi menyilaukan, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Ranjang itu masih hangat, tapi kosong di sisinya. Matanya bergerak ke arah pria yang duduk membelakanginya. Tidak ada sapaan. Hanya punggung kokoh yang terlihat tenang, seakan malam tadi hanyalah mimpi
Jagat duduk di sisi ranjang, mengenakan kaus putih tipis dan celana panjang longgar. Bahunya tegap, tubuhnya bersandar pada tiang kayu ranjang, namun pikirannya jauh. Matanya kosong menatap ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Terdengar gemericik air menetes. Lalu sunyi lagi. Lalu suara engsel kayu yang berderit pelan. Pintu kamar mandi terbuka. Gadis muda itu muncul dalam balutan kain jarik yang melilit tubuh rampingnya. Rambut panjangnya basah, sebagian menempel di bahu putihnya, sebagian lagi dibiarkan tergerai ke punggung. Wajahnya tanpa bedak, tapi kulitnya yang bening dan lembap seolah memantulkan cahaya lampu di langit-langit. Sukma tidak langsung menyadari bahwa pria itu sedang menatapnya. Ia berjalan perlahan, menunduk, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Jagat masih diam, tapi matanya tidak berkedip. Tatapannya mengikuti gerakan halus jemari Sukma, turun ke tengkuknya yang basah, lalu ke pundaknya ya
Aroma daun tembakau yang baru dipetik menguar di udara, bercampur aroma tanah basah dan embun yang belum sepenuhnya menguap. Di kejauhan, para pekerja berjalan hilir mudik dengan bakul anyaman di punggung, menyapa dengan anggukan hormat. Jagat melangkah di depan, tubuhnya tegap, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia sesekali mengangguk pada pekerja, memberi arahan singkat dengan suara berat. Di belakangnya, langkah Sukma menyusul. Tidak secepat suaminya, tapi cukup kuat untuk seorang perempuan yang lututnya masih diperban tipis. Suara sandal Sukma menyentuh tanah basah membuat Jagat menoleh sesaat. "Kalau sakit, kamu bisa tunggu di warung kecil di ujung ladang," ujarnya datar, tapi tidak segalak biasanya. Gadis berambut panjang itu tersenyum sambil menggeleng pelan. "Saya baik-baik saja, Mas." Jagat tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan, tapi tidak secepat tadi. Langkahnya secara tidak sadar melambat. Agar tidak terlalu jauh. Di su
Di kamar belakang, ruang kecil yang biasa digunakan Sukma untuk menyetrika dan menyimpan peralatan rumah tangga-lampu minyak menyala redup, memantulkan bayangan samar di dinding. Gadis berkulit seputih susu itu duduk di lantai beralaskan tikar pandan. Rambut panjangnya ia jepit asal dengan tusuk konde kayu. Di hadapannya, baskom kecil berisi air hangat, selembar kain bersih dan sebotol minyak gosok dari warung. Tangannya gemetar saat menarik ujung rok yang menutupi lututnya. Luka goresan masih memerah. Sudutnya mulai membiru. Siang tadi, saat ia membawa kantong belanjaan dan berusaha mengejar langkah panjang suaminya, kakinya tersandung batu dan ia terjatuh. Ia menahan rasa perih saat kain menyentuh luka. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah. Entah kenapa, luka di lututnya terasa begitu nyeri. Rasanya, sakit sekali. Desis kecil keluar tanpa sadar, tapi dengan cepat ia tutup mulutnya sendiri. Rumah ini terlalu senyap dan ia tau, suaranya tidak diinginkan di tengah m
Jalanan basah karena embun dan semalam hujan. Di halaman belakang, suara air dari genteng menetes pelan. Di dalam rumah Pramoda yang megah, dua sosok berdiri dalam diam—seperti patung yang terlalu lama saling menghindar. Wanita muda berkulit seputih susu itu mengenakan blouse lusuh berwarna biru muda dengan rok hitam mengembang selutut. Rambut hitam legamnya dikuncir rendah. Di tangannya ada tas belanja anyaman yang sudah usang, kontras dengan lantai marmer yang dipijaknya. Jagat muncul dari ruang dalam, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung setengah. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin, tapi sorot matanya masih dingin seperti biasanya. Dia melirik jam tangan lalu menatap perempuan itu tanpa senyum. "Kita berangkat sekarang. Jangan lama." Sukma mengangguk cepat. Suaranya nyaris tidak terdengar saat berkata. "Iya. Saya sudah siap dari tadi, Mas." Tidak ada balasan. Mereka berjalan menuju mobil. Sopir sudah menunggu. Di sepanjang
Langit malam menggantung muram di balik kisi jendela kamar mereka. Lampu gantung tua yang menggantung di tengah langit-langit hanya menyala setengah redup, menyorot warna kelabu pada seprai dan dinding kayu kamar. Jagat duduk di tepi ranjang. Tubuhnya condong ke depan, tangan menopang dahi. Sukma masuk dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Suasana canggung langsung menyelimuti ruangan seperti kabut. Biasanya, mereka hanya berbicara jika Jagat memulai dan itupun seperlunya.Sukma menatap punggung Jagat. Nafas pria itu terdengar berat dan pendek. Cahaya lampu memantulkan pucat wajahnya. Leher kemejanya basah oleh keringat, meskipun angin malam cukup dingin."Mas ....." Suara Sukma pelan, nyaris seperti bisikan. Untuk pertama kalinya setelah mereka bersama, Sukma mengawali percakapan. Jagat tidak menjawab. Hanya gerakan kecil di bahunya yang menandakan ia mendengar."Mas kelihatan pucat."Lama tidak ada sahutan. Lalu terdengar suara dingin. "Bukan urusanmu," balas Jagat singkat."Tap