Share

5. Jangan Berharap

Penulis: thxyousomatcha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-10 19:42:37

Langit malam menggantung muram di balik kisi jendela kamar mereka. Lampu gantung tua yang menggantung di tengah langit-langit hanya menyala setengah redup, menyorot warna kelabu pada seprai dan dinding kayu kamar. Jagat duduk di tepi ranjang. Tubuhnya condong ke depan, tangan menopang dahi. Sukma masuk dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Suasana canggung langsung menyelimuti ruangan seperti kabut. Biasanya, mereka hanya berbicara jika Jagat memulai dan itupun seperlunya.

Sukma menatap punggung Jagat. Nafas pria itu terdengar berat dan pendek. Cahaya lampu memantulkan pucat wajahnya. Leher kemejanya basah oleh keringat, meskipun angin malam cukup dingin.

"Mas ....." Suara Sukma pelan, nyaris seperti bisikan. Untuk pertama kalinya setelah mereka bersama, Sukma mengawali percakapan.

Jagat tidak menjawab. Hanya gerakan kecil di bahunya yang menandakan ia mendengar.

"Mas kelihatan pucat."

Lama tidak ada sahutan. Lalu terdengar suara dingin. "Bukan urusanmu," balas Jagat singkat.

"Tapi kalau Mas sakit—"

"Aku bilang tidak usah," potongnya pelan dan tegas.

Sukma diam sejenak. Tangannya menggenggam ujung kain sarungnya. "Tapi aku istrimu ....."

Jagat menoleh, matanya menatap ke arah Sukma tajam. "Sekadar istri, itupun karena perjanjian. Jangan berpura-pura peduli," gumamnya. Lalu ia merebahkan diri ke ranjang, membelakangi Sukma.

Sukma menunduk. Ia menarik napas dalam, lalu naik ke ranjang, memunggungi pria itu dengan jarak yang tetap mereka jaga sejak awal. Detik jam dinding terdengar seperti genderang perlahan. Sukma terbangun oleh suara rintih tertahan, ia menoleh. Jagat gelisah. Tubuhnya menggigil dan keringat membasahi pelipisnya. Nafasnya terburu dan tangannya mencengkeram kain seprai seperti berusaha menahan sakit.

Sukma bangkit. "Mas?" bisiknya. Jagat tidak menjawab. Ia menyentuh dahi pria itu. Panas.

Tanpa pikir panjang, Sukma melangkah cepat ke dapur. Mengisi mangkuk kecil dengan air, membawa kain bersih dan segelas teh jahe. Tanpa berkata apa-apa, Sukma duduk di samping Jagat.

"Apa yang kamu lakukan?" gumam Jagat. Suaranya terdengar parau.

"Mengkompres biar demamnya cepat turun."

"Aku tidak butuh."

Sukma mendekat. Menangkup pelan kening Jagat dengan tangan lembutnya. "Kali ini saja, jangan larang Saya."

Jagat memejamkan mata. Kain dingin itu menyentuh keningnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak menepis. Angin malam menggerakkan tirai. Kamar sunyi. Hanya suara jangkrik dan napas berat Jagat yang terdengar. Sukma sudah hampir terlelap di sisi ranjang, selimut sampai dada. Tubuhnya lelah. Sejak tadi, ia terus terjaga untuk merawat Jagat. Hingga igauan suaminya itu membuat kantuk Sukma seketika menghilang.

"Kinasih ....."

Sukma tertegun. Ia diam, tidak bergerak.

"Jangan tinggalkan aku." Suaranya pelan, tapi penuh luka.

Sukma memutar tubuhnya perlahan. Menatap punggung Jagat yang basah keringat. Ia tidak lagi demam tinggi, tapi panas tubuhnya masih terasa. Namun, yang lebih menyakitkan bagi Sukma adalah nama itu.

Kinasih.

Nama yang tidak pernah disebut di rumah ini, tapi kini keluar dari mulut suaminya dalam keadaan tidak sadar. Sukma menggigit bibir. Matanya tidak berkedip, tapi ada air yang menggenang. Bukan karena cemburu, tapi karena sadar—cintanya bahkan belum dimulai, tapi telah kalah lebih dulu.

୨ৎꫂ❁

Jagat masih terbaring. Napasnya lebih ringan, tapi tubuhnya belum kuat. Di meja kecil di samping tempat tidur, Sukma duduk sambil memegang mangkuk bubur yang masih hangat. Ia meniup sendok perlahan, lalu menyuapkannya ke bibir Jagat.

"Mas harus makan."

Jagat membuka mata. Samar. Tubuhnya lemah dan ia tidak menolak. Sendok pertama. Lalu kedua. Sukma tetap diam. Hanya menyuapkan dengan telaten. Tubuhnya tetap kuat, meskipun ia terus terjaga semalaman. Benar-benar tidak tidur.

"Mas mau nambah lagi?" tanya Sukma begitu bubur habis.

"Tidak," balasnya singkat. Setelah Sukma memberi obat, Jagat memutuskan untuk memejamkan mata.

Sukma masih berada di posisinya, menyandarkan tubuh di kursi. Kepalanya ia letakkan ke sisi tempat tidur. Di sana—dengan rambut awut-awutan dan selendang tergelincir ke bahu—ia tertidur dalam diam. Tidak berselang lama, Jagat membuka mata. Langit-langit kamar masih sama, langit kelabu yang menggantung berat. Tetapi matanya tidak menatap ke sana. Pandangannya langsung tertarik pada sosok Sukma yang tertidur di kursi tepat di sisi tempat tidur.

Pria itu menggerakkan kepalanya sedikit. Pandangannya menyusuri wajah Sukma. Rambut hitamnya berantakan, sebagian menutupi pipi. Wajah itu lelah, sangat lelah. Tetapi ada kedamaian di sana. Dalam diam, ia melihat hal yang tidak pernah ia beri waktu untuk dilihat sebelumnya. Tenggorokan Jagat tercekat. Ada sesuatu yang mengganjal—bukan sakit fisik, tapi rasa yang lebih dalam. Aneh. Ia tidak terbiasa dirawat. Apalagi oleh seseorang yang tidak pernah ia beri tempat dalam hatinya. Tangannya perlahan terulur, sedikit ragu. Lalu menyentuh helaian rambut Sukma yang menutupi pipinya dan ia selipkan ke belakang telinga perempuan itu.

Sukma tidak bangun.

Jagat menarik napas dalam. Dadanya masih berat, tapi kali ini bukan karena demam. Ada rasa bersalah yang menyelinap. Ia teringat kata-katanya dulu—tentang Sukma yang hanya alat, tentang tidak pernah ada cinta. Kata-kata dingin yang ia pakai untuk membentengi luka sendiri. Sukma bergerak sedikit. Mendengus pelan dalam tidur. Tangannya yang menggenggam selimut terlepas begitu saja. Refleks membuat Jagat menunduk, mengambil tangan itu dan memegangnya. Ia tidak tau kenapa. Hanya ingin memegang sesuatu yang nyata. Pagi ini, yang nyata adalah perempuan yang tertidur karena menjaga dirinya semalaman, tanpa diminta. Tanpa imbalan. Lama Jagat menatap wajah itu. Dalam diam, untuk pertama kalinya, ia merasa ingin mengenalnya. Bukan sebagai istri yang dipaksa. Bukan sebagai wanita yang dipilihkan keluarga. Tetapi, sebagai manusia yang telah begitu sabar mengisi ruang kosong yang tidak pernah ia sadari selama ini.

Sukma bangun dan menyadari tangan mereka bersentuhan. Ia sempat tertegun, bahkan tanpa sadar tersenyum sedikit. Mengabaikan pikirannya, ia cepat-cepat membereskan kain kompres, menyingkirkan mangkuk bubur kosong dan bersiap meninggalkan kamar agar Jagat bisa istirahat lagi. Namun, begitu Jagat membuka mata dan melihat Sukma, ekspresinya langsung berubah. Dingin. Jarak itu kembali. Sikap dan pikirannya benar-benar berbanding balik dengan yang ia lakukan beberapa saat lalu.

"Tidak usah terlalu repot. Aku tidak meminta untuk dilayani," ujar Jagat sembari duduk dan menjauhkan tangan Sukma yang sempat menyentuh bahunya saat membantu berdiri.

Sukma menunduk. "Saya hanya ....."

"Tidak perlu berlagak seolah kamu istriku. Kita sama-sama tau, ini hanya hutang," potong Jagat. "Tadi malam, jangan ditafsirkan aneh-aneh."

Boom. Kalimat itu mematahkan harapan kecil yang mulai tumbuh di hati Sukma.

"Kalau sudah selesai, keluar. Aku ingin sendiri." Lanjut Jagat sembari menarik selimut menutupi tubuhnya.

Sukma diam. Ia menggenggam ujung bajunya sendiri, menahan perasaan yang ingin tumpah. Ia menunduk, memungut mangkuk bubur kosong tanpa kata, tanpa protes dan keluar kamar dengan perasaan campur aduk. Di luar kamar, saat Sukma menutup pintu pelan-pelan, ia tidak menangis. Pandangan matanya kosong, seperti perempuan yang baru saja mengingatkan diri sendiri.

"Jangan berharap apa pun. Kamu bukan siapa-siapa."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   30. Sentuhan Cinta

    Jagat duduk di sisi ranjang, menatap Sukma yang tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Ada sesuatu yang berbeda malam ini—tatapan Jagat lebih lembut, lebih dalam, seakan ingin menembus lapisan hati Sukma yang paling rapuh. Sukma merasakan tatapan itu. Jemarinya yang semula sibuk dengan ikatan rambutnya terhenti, lalu ia menoleh, tersenyum tipis.“Mas, kenapa lihat Saya begitu terus? Ada yang salah?” tanyanya pelan penuh canggung, tapi manis.Jagat tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya berdiri, melangkah pelan menghampiri Sukma, lalu berhenti tepat di belakang tubuh mungil istrinya itu. Dari pantulan cermin, Sukma bisa melihat sorot mata suaminya yang begitu teduh. Jemari Jagat terulur, menyingkirkan rambut yang menjuntai di bahu Sukma, lalu menyentuh lembut kulit lehernya.“Tidak ada yang salah,” bisiknya dekat telinga. “Aku hanya tidak percaya, bagaimana aku bisa beruntung memilikimu.”Sukma merona, pipinya bersemu merah. Hatinya berdebar hebat, tapi di saat yang sama ia mer

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   29. Jatuh Cinta

    Jagat akan pergi ke kota, tapi sebelum itu dia akan mengantarkan Sukma terlebih dulu ke rumah orang tuanya. Sudah lama, Sukma tidak mengunjungi mereka dan hari ini adalah waktunya. Sebuah perasaan yang Sukma sendiri tidak bisa jelaskan saking senangnya. Bahkan ia tidak henti-hentinya menatap Jagat yang sedang menyetir dengan binar di matanya, sembari mengatakan terima kasih berulang kali. "Terima kasih, Mas ... terima kasih." Sukma menatap pria itu dengan senyuman manis yang menggemaskan. Pria itu melirik sekilas, melihat wajah Sukma yang berbinar seperti itu entah kenapa membuatnya gemas dan ingin mengurung istrinya itu saja. "Entah sudah yang keberapa kalinya, kamu mengatakan terima kasih, Sukma.""Karena Saya tidak tau lagi bagaimana harus membalas ini semua, Mas." Ya. Tepatnya setelah mereka menikah, ini yang kedua kalinya Sukma mengunjungi mereka. Padahal jarak rumah mereka cukup dekat. Tetapi, ketidakberdayaannya menjadi istri seorang Jagatnata Pramoda membuatnya tau diri untu

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   28. Burung Kakaktua

    Di halaman belakang balai desa, para Ibu-ibu sibuk menyiapkan perlengkapan untuk acara kenduri sedekah bumi yang akan digelar malam nanti. Sukma duduk di antara barisan Ibu-ibu, tangannya cekatan memotong kacang panjang, sesekali menatap para Ibu-ibu yang sedang mengobrol. Rambutnya diikat sederhana, keringat kecil membasahi pelipisnya."Ayo, Mbak Sukma ... cepet motong sayurnya, nanti bisa kalah ini sama Bu Darmi," celetuk Bu Yati sambil terkekeh.Sukma tersenyum ramah. "Kalau kalah, nanti Saya traktir es dawet, Bu."Tawa kecil terdengar dari beberapa mulut. Obrolan pun mengalir ringan—tentang harga cabai, musim hujan yang tidak menentu, sampai anak-anak muda yang makin sulit diatur. Namun, seperti biasa, ada saja percakapan yang menyimpang arah."Eh, tapi ngomong-ngomong soal anak muda," ujar Bu Rini setengah berbisik, setengah menyindir halus. "Juragan Jagat sama Nak Sukma ini sudah berapa lama menikah? Kok sepertinya adem-adem saja, tidak ada kabar gembira.""Loh iya, Bu Rini. Say

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   27. Sebuah Usaha

    Sukma sedang menyapu lantai halaman ketika langkah Jagat terdengar dari arah dapur. Ia menoleh—mata mereka bertemu sejenak. Ada sesuatu di dalam sorot itu. Bukan tekanan, juga bukan pula keterpaksaan."Sudah selesai?" tanya Jagat dengan suara pelan.Sukma mengangguk, lalu meletakkan sapunya di sudut dinding. Mereka masuk ke kamar tanpa banyak kata. Hawa malam yang begitu dingin, entah kenapa membawa ketenangan yang menenangkan. Jagat menyalakan lampu meja, cahayanya temaram, cukup untuk memperlihatkan wajah Sukma yang terlihat gugup dengan pipinya yang bersemu merah. Jagat duduk di tepi ranjang, menghela napas pelan. Sukma berdiri beberapa langkah darinya, meremas jemarinya sendiri. Ia tau, malam ini bukan sekadar pelampiasan hasrat, tetapi sebuah keputusan, usaha dan juga harapan. Meskipun ini juga bukan yang pertama kalinya mereka melakukan hubungan suami istri, tapi entah kenapa tetap saja membuat gugup."Nduk," ujar Jagat sembari menatap Sukma. "Kalau kamu belum siap, kita bisa me

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   26. Gundik dan Ayahnya

    Setelah sekian lama, hal yang sangat-sangat Jagat tidak sukai kembali terjadi. Makan malam bersama gundik ayahnya dan anaknya. Entah apa yang di pikiran Rakai, saat membuat acara makan malam bersama seperti ini. Jagat melirik ke arah Ibunya. Ambarwati atau yang biasanya dikenal Nyi Roro Pramoda, istri sah keluarga Pramoda itu terlihat tenang. Wajahnya terlihat datar, tanpa rasa keberatan sedikitpun. Meskipun Jagat tau, Ibunya itu sangat membenci hal ini. Lalu, tatapan Jagat beralih pada Rita dan Juan. Gundik dan juga anaknya yang datang memenuhi undangan makan malam dari kepala keluarga Pramoda. "Terima kasih, Mas. Undangan makan malamnya. Sudah lama, kita tidak makan malam bersama seperti ini." Rita, wanita berusia 48 tahun itu tersenyum. Ia menatap Rakai dengan hangat. Tidak ada raut bersalah ataupun malu."Tidak perlu berbasa-basi. Ada kepentingan apa Romo memanggil kami malam ini?" Dalam keheningan yang cukup lama, setelah Rita bersuara, Jagat memberanikan diri untuk ikut bersuar

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   25. Perpisahan

    Sukma baru saja menyelesaikan masakannya, ketika beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu. Saat ia hendak berjalan menuju depan, Jagat sudah terlebih dulu keluar dari kamar dan bergegas untuk membuka pintu. Wajahnya tetap datar, bahkan terlihat semakin tidak ramah karena seseorang telah mengetuk pintu pagi-pagi dan baginya, itu sangat mengganggu. Jagat semakin memperlihatkan ketidaksukaannya, saat pintu sepenuhnya terbuka dan memperlihatkan sosok yang sudah bertamu pagi-pagi. Juan Pramoda, adik tirinya sekaligus anak gundik yang sudah menghancurkan keluarga harmonisnya. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Jagat tanpa berbasa-basi. Usia laki-laki itu 9 tahun di bawah Jagat. Belum menikah dan hobi bersenang-senang. Terutama mempermainkan hati para wanita. Itulah sebab Jagat semakin membenci Juan dan Rita—Ibu laki-laki itu sekaligus gundik ayahnya. Mereka itu hama, begitu memuakkan. Tingkah onarnya, sering kali membuat malu keluarga. Entah jampi-jampi apa yang telah diberikan wa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status