"Minum sampai habis. Jangan pakai gula. Pahit itu bagian dari pengorbanan," ujar Nyai Roro dengan pandangan tidak lepas menatap menantunya itu.
Bau jamu pekat menyeruak memenuhi rongga hidung saat Sukma meneguk habis cairan cokelat tua dari tempurung kelapa. Tenggorokannya perih, matanya berair, tapi tidak ada ruang untuk menolak. Di hadapannya, Nyai Roro Pramoda duduk anggun di kursi rotan ukiran lawas. Wanita tua itu mengenakan kebaya brokat gading dan kain batik sogan dengan rambut disanggul rapi. Di balik sorot matanya yang terlihat tenang, mengintai dominasi tidak kasat mata. "Kamu tau kenapa ibu-ibu Jawa itu kuat? Karena kami paham kodrat," ujarnya pelan, tapi menusuk. "Tidak usah banyak berpikir, Sukma. Tubuhmu sekarang adalah alat. Dan alat harus berfungsi." Sukma menunduk. Jari-jarinya meremas dress yang dipakainya. "Mulai malam ini, kamu tidak boleh tidur sendiri. Makanan asin kamu hindari. Malam jumat Legi, kamu wajib mandi kembang sebelum subuh. Dan jangan pernah menolak, jika Jagat menyentuhmu." Lanjut Nyai Roro, masih dengan senyum tipis. "Kalau bisa, tanpa Jagat meminta terlebih dulu. Kamu yang terlebih dulu mengambil alih." "Nggih, Ibu," balas Sukma lirih. "Kamu anak baik, Sukma. Jangan buat keluarga ini malu hanya karena kamu mandul." ୨ৎꫂ❁ Hujan turun, membuat suasana malam semakin dingin. Lampu minyak berpendar kuning di sudut kamar berukir jati. Di balik tirai renda, Sukma duduk diam di pinggir dipan, mengenakan kain batik halus dan kebaya yang baru saja dilipat Nyai Roro untuk malam khusus. Pintu terbuka. Aroma tembakau menyelinap lebih dulu, sebelum sosok tinggi tegap pria itu muncul. Jagatnata. Tubuhnya dibalut kain sarung dan kaos dalam. Tatapannya dingin seperti biasa. Sukma tidak bicara, tidak menyambut. Ia hanya menunduk. Jagat menutup pintu tanpa suara. Beberapa langkah mendekat. Tirai ditarik kasar. Tidak ada ciuman, tidak ada bisikan. Hanya tangan lelaki itu yang mengangkat dagu Sukma dan menatapnya sejenak-bukan dengan hasrat, tapi seperti menilai barang di pasar. "Kita harus menyelesaikan kewajiban," ujarnya datar. Tangannya menyentuh kulit Sukma, dingin dan tanpa emosi. Seolah ia tidak sedang menyentuh manusia. Ia seperti sedang melakukan rutinitas, seperti menyiram tanaman atau menghitung laba. Sukma menggigil, bukan karena dingin. "Jangan pernah berharap lebih dari pernikahan ini," gumam Jagat di telinganya saat menindih tubuhnya. "Kamu tidak lebih dari budak ... budak untuk melahirkan pewaris keluarga Pramoda." Sukma menutup mata. Di balik kelopak itu, tidak ada kenikmatan. Tidak ada cinta. Hanya kehampaan. Setelahnya, Jagat bangkit tanpa kata. Ia kembali ke sisi ranjangnya, memunggungi Sukma. "Matikan lampu. Aku tidak suka tidur terang." Sukma mengulurkan tangan ke arah lentera, memutar sumbunya perlahan. Cahaya padam. Dan kegelapan malam menjadi saksi, bagaimana sebuah pernikahan bisa terasa lebih sepi dari kuburan. Waktu bergulir pelan. Jam dinding kuno berdetak lembut, satu-satu, seakan ikut merasakan sunyi yang membatu di dalam kamar pengantin itu. Sukma berbaring miring, punggungnya menghadap Jagat. Matanya terbuka lebar menatap tembok, meskipun gelap. Tubuhnya masih terasa dingin, meskipun selimut menutupi hingga pundak. Tetapi yang paling dingin bukanlah udara malam, melainkan hati yang remuk dan rasa jijik pada tubuh sendiri. Sukma mengangkat tangannya, menyentuh lehernya sendiri pelan. Ada sisa napas Jagat di sana. Sentuhan yang tidak diinginkan. Sentuhan yang tidak diminta. Air matanya menetes diam-diam ke bantal, menahan agar tangisannya tidak semakin pecah. "Apa salahku sampai begini, Gusti? Apa hanya karena aku lahir dari keluarga miskin? Karena aku perempuan?" Sukma memejamkan mata, tapi tidur tidak kunjung datang. Yang ada hanya bayangan tubuh suaminya. Berat, asing dan dingin. Ia ingin mandi, tapi sudah larut malam. Jika ketahuan keluar kamar, Nyai Roro akan tau. Ibu mertuanya itu memiliki mata dan telinga di mana-mana, meskipun mereka tidak tinggal di satu atap rumah yang sama. Di sisi lain ranjang, Jagat juga tidak tidur. Matanya menatap plafon, rahangnya mengeras. Ia menggenggam selimut rapat, merasa napasnya berat. "Bodoh," geramnya dalam hati. "Kenapa aku harus melakukan ini?" Jagat mengingat tatapan bapaknya siang tadi. Tatapan Rakai Pramoda yang tidak pernah membentak, tapi mampu mengiris. "Kamu laki-laki. Bukan pengecut. Apa kamu ingin anak-anakmu kelak lahir dari perut perempuan lain? Hanya karena kamu terlalu lemah untuk menyentuh istrimu sendiri?" Jagat mendengus pelan. Ia mengingat tubuh Sukma, begitu rapuh dan tanpa penolakan. Untuk pertama kalinya, Jagat merasa jijik, bukan pada Sukma, tapi pada dirinya sendiri. Namun, gengsi menahannya untuk mengakui. Ia melirik Sukma yang diam seperti patung. Lama mereka terdiam, hingga akhirnya Jagat merasakan tubuh Sukma yang sedikit bergetar. Ia tau, istrinya itu menangis. Tetapi Jagat memilih untuk mengabaikannya. "Dia pasti membenciku." Pikirnya. Dua jiwa terpenjara dalam pernikahan tanpa cinta. Terpisah satu jengkal, tapi terasa seperti dua dunia yang tidak akan pernah saling menyentuh—kecuali saat diperintah. ୨ৎꫂ❁ Matahari menyelinap di antara pepohonan jati, menyiram jalan tanah yang berkelok menuju hutan kecil di ujung kebun milik keluarga Pramoda. Jagat yang biasanya hanya bepergian sendiri dengan Jeep tuanya, hari ini secara tidak sengaja mengajak Sukma. Bukan karena keinginan, tapi Nyai Roro menyuruhnya. Katanya, "Bawa istrimu melihat tanah-tanah kita. Supaya dia tau apa yang harus diwariskan." Di sepanjang jalan, mereka nyaris tidak bicara. Hanya suara mesin dan angin yang bersuara. Sampai akhirnya Jeep berhenti di tepi sungai kecil di tengah hutan pinus—salah satu tanah milik Pramoda yang belum diolah. "Turun," ujar Jagat datar. Sukma menurut, melangkah hati-hati. Sandalnya sedikit tenggelam di tanah empuk. Udara segar menerpa wajahnya dan untuk sesaat tubuhnya seperti bebas dari belenggu rumah utama dan segala tekanan jamu serta malam-malam dingin itu. Ia berjalan menjauh dari Jagat yang masih berdiri di dekat mobil dan menemukan sekumpulan bunga liar bermekaran di bawah pohon randu. Sekejap, ekspresi Sukma berubah. Bukan wajah istri yang patuh, tapi seperti seorang gadis kecil yang baru pertama kali melihat pelangi. "Masih ada bunga ini ternyata," gumamnya pelan. Ia lalu jongkok, menyentuh kelopak-kelopak lembut itu. "Dulu, Saya suka main masak-masakan memakai bunga ini. Sampai-sampai Ibu selalu marah karena baju jadi kotor." Jagat menoleh. Ia belum pernah mendengar nada seperti itu dari Sukma. Ringan, tidak ada beban dan tidak ada ketakutan. Tanpa sadar, ia memperhatikannya lebih lama. Sukma lalu berdiri dan meraih satu tangkai bunga berwarna ungu muda. Ia menyelipkannya ke telinga kanan, lalu tertawa kecil. "Lucu tidak, Mas?" ujarnya begitu saja tanpa bisa mengkontrol kalimat yang keluar dari mulutnya. Jagat mengerjap. Lalu berpaling. "Sudahlah. Kita ke bawah. Aku harus tandatangan dokumen di gubuk Pak Turmuji." Sukma menunduk, malu. Ia mengusap bunga itu dan segera mencabutnya. Tetapi tawa kecilnya tadi belum hilang. Masih menggantung samar di antara desir daun-daun pinus. Di perjalanan pulang, suasana kembali diam. Tetapi kini, Jagat beberapa kali melirik lewat sudut matanya. Ia melihat Sukma memejamkan mata, tertidur sebentar. Kepalanya terangguk-angguk pelan karena guncangan Jeep. Ada noda lumpur di ujung rok dan helaian rambutnya berantakan tertiup angin. Untuk pertama kalinya, Jagat sadar betapa muda sebenarnya istrinya. Betapa ia belum sempat tumbuh. Betapa pernikahan, rumah besar dan tekanan keluarga telah mencuri seluruh masa mudanya. Meskipun Jagat tidak berkata apa pun, ada satu rasa yang tumbuh diam-diam. Bukan cinta. Belum. Namun, sejenis pengakuan. Bahwa Sukma bukan hanya istri. Ia juga seorang anak muda yang seharusnya berlari, menari dan tertawa. Buka hanya duduk diam menunggu perintah.Jagat duduk di sisi ranjang, menatap Sukma yang tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Ada sesuatu yang berbeda malam ini—tatapan Jagat lebih lembut, lebih dalam, seakan ingin menembus lapisan hati Sukma yang paling rapuh. Sukma merasakan tatapan itu. Jemarinya yang semula sibuk dengan ikatan rambutnya terhenti, lalu ia menoleh, tersenyum tipis.“Mas, kenapa lihat Saya begitu terus? Ada yang salah?” tanyanya pelan penuh canggung, tapi manis.Jagat tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya berdiri, melangkah pelan menghampiri Sukma, lalu berhenti tepat di belakang tubuh mungil istrinya itu. Dari pantulan cermin, Sukma bisa melihat sorot mata suaminya yang begitu teduh. Jemari Jagat terulur, menyingkirkan rambut yang menjuntai di bahu Sukma, lalu menyentuh lembut kulit lehernya.“Tidak ada yang salah,” bisiknya dekat telinga. “Aku hanya tidak percaya, bagaimana aku bisa beruntung memilikimu.”Sukma merona, pipinya bersemu merah. Hatinya berdebar hebat, tapi di saat yang sama ia mer
Jagat akan pergi ke kota, tapi sebelum itu dia akan mengantarkan Sukma terlebih dulu ke rumah orang tuanya. Sudah lama, Sukma tidak mengunjungi mereka dan hari ini adalah waktunya. Sebuah perasaan yang Sukma sendiri tidak bisa jelaskan saking senangnya. Bahkan ia tidak henti-hentinya menatap Jagat yang sedang menyetir dengan binar di matanya, sembari mengatakan terima kasih berulang kali. "Terima kasih, Mas ... terima kasih." Sukma menatap pria itu dengan senyuman manis yang menggemaskan. Pria itu melirik sekilas, melihat wajah Sukma yang berbinar seperti itu entah kenapa membuatnya gemas dan ingin mengurung istrinya itu saja. "Entah sudah yang keberapa kalinya, kamu mengatakan terima kasih, Sukma.""Karena Saya tidak tau lagi bagaimana harus membalas ini semua, Mas." Ya. Tepatnya setelah mereka menikah, ini yang kedua kalinya Sukma mengunjungi mereka. Padahal jarak rumah mereka cukup dekat. Tetapi, ketidakberdayaannya menjadi istri seorang Jagatnata Pramoda membuatnya tau diri untu
Di halaman belakang balai desa, para Ibu-ibu sibuk menyiapkan perlengkapan untuk acara kenduri sedekah bumi yang akan digelar malam nanti. Sukma duduk di antara barisan Ibu-ibu, tangannya cekatan memotong kacang panjang, sesekali menatap para Ibu-ibu yang sedang mengobrol. Rambutnya diikat sederhana, keringat kecil membasahi pelipisnya."Ayo, Mbak Sukma ... cepet motong sayurnya, nanti bisa kalah ini sama Bu Darmi," celetuk Bu Yati sambil terkekeh.Sukma tersenyum ramah. "Kalau kalah, nanti Saya traktir es dawet, Bu."Tawa kecil terdengar dari beberapa mulut. Obrolan pun mengalir ringan—tentang harga cabai, musim hujan yang tidak menentu, sampai anak-anak muda yang makin sulit diatur. Namun, seperti biasa, ada saja percakapan yang menyimpang arah."Eh, tapi ngomong-ngomong soal anak muda," ujar Bu Rini setengah berbisik, setengah menyindir halus. "Juragan Jagat sama Nak Sukma ini sudah berapa lama menikah? Kok sepertinya adem-adem saja, tidak ada kabar gembira.""Loh iya, Bu Rini. Say
Sukma sedang menyapu lantai halaman ketika langkah Jagat terdengar dari arah dapur. Ia menoleh—mata mereka bertemu sejenak. Ada sesuatu di dalam sorot itu. Bukan tekanan, juga bukan pula keterpaksaan."Sudah selesai?" tanya Jagat dengan suara pelan.Sukma mengangguk, lalu meletakkan sapunya di sudut dinding. Mereka masuk ke kamar tanpa banyak kata. Hawa malam yang begitu dingin, entah kenapa membawa ketenangan yang menenangkan. Jagat menyalakan lampu meja, cahayanya temaram, cukup untuk memperlihatkan wajah Sukma yang terlihat gugup dengan pipinya yang bersemu merah. Jagat duduk di tepi ranjang, menghela napas pelan. Sukma berdiri beberapa langkah darinya, meremas jemarinya sendiri. Ia tau, malam ini bukan sekadar pelampiasan hasrat, tetapi sebuah keputusan, usaha dan juga harapan. Meskipun ini juga bukan yang pertama kalinya mereka melakukan hubungan suami istri, tapi entah kenapa tetap saja membuat gugup."Nduk," ujar Jagat sembari menatap Sukma. "Kalau kamu belum siap, kita bisa me
Setelah sekian lama, hal yang sangat-sangat Jagat tidak sukai kembali terjadi. Makan malam bersama gundik ayahnya dan anaknya. Entah apa yang di pikiran Rakai, saat membuat acara makan malam bersama seperti ini. Jagat melirik ke arah Ibunya. Ambarwati atau yang biasanya dikenal Nyi Roro Pramoda, istri sah keluarga Pramoda itu terlihat tenang. Wajahnya terlihat datar, tanpa rasa keberatan sedikitpun. Meskipun Jagat tau, Ibunya itu sangat membenci hal ini. Lalu, tatapan Jagat beralih pada Rita dan Juan. Gundik dan juga anaknya yang datang memenuhi undangan makan malam dari kepala keluarga Pramoda. "Terima kasih, Mas. Undangan makan malamnya. Sudah lama, kita tidak makan malam bersama seperti ini." Rita, wanita berusia 48 tahun itu tersenyum. Ia menatap Rakai dengan hangat. Tidak ada raut bersalah ataupun malu."Tidak perlu berbasa-basi. Ada kepentingan apa Romo memanggil kami malam ini?" Dalam keheningan yang cukup lama, setelah Rita bersuara, Jagat memberanikan diri untuk ikut bersuar
Sukma baru saja menyelesaikan masakannya, ketika beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu. Saat ia hendak berjalan menuju depan, Jagat sudah terlebih dulu keluar dari kamar dan bergegas untuk membuka pintu. Wajahnya tetap datar, bahkan terlihat semakin tidak ramah karena seseorang telah mengetuk pintu pagi-pagi dan baginya, itu sangat mengganggu. Jagat semakin memperlihatkan ketidaksukaannya, saat pintu sepenuhnya terbuka dan memperlihatkan sosok yang sudah bertamu pagi-pagi. Juan Pramoda, adik tirinya sekaligus anak gundik yang sudah menghancurkan keluarga harmonisnya. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Jagat tanpa berbasa-basi. Usia laki-laki itu 9 tahun di bawah Jagat. Belum menikah dan hobi bersenang-senang. Terutama mempermainkan hati para wanita. Itulah sebab Jagat semakin membenci Juan dan Rita—Ibu laki-laki itu sekaligus gundik ayahnya. Mereka itu hama, begitu memuakkan. Tingkah onarnya, sering kali membuat malu keluarga. Entah jampi-jampi apa yang telah diberikan wa