Jalanan basah karena embun dan semalam hujan. Di halaman belakang, suara air dari genteng menetes pelan. Di dalam rumah Pramoda yang megah, dua sosok berdiri dalam diam—seperti patung yang terlalu lama saling menghindar. Wanita muda berkulit seputih susu itu mengenakan blouse lusuh berwarna biru muda dengan rok hitam mengembang selutut. Rambut hitam legamnya dikuncir rendah. Di tangannya ada tas belanja anyaman yang sudah usang, kontras dengan lantai marmer yang dipijaknya. Jagat muncul dari ruang dalam, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung setengah. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin, tapi sorot matanya masih dingin seperti biasanya. Dia melirik jam tangan lalu menatap perempuan itu tanpa senyum.
"Kita berangkat sekarang. Jangan lama." Sukma mengangguk cepat. Suaranya nyaris tidak terdengar saat berkata. "Iya. Saya sudah siap dari tadi, Mas." Tidak ada balasan. Mereka berjalan menuju mobil. Sopir sudah menunggu. Di sepanjang perjalanan, hanya suara deru mesin dan radio tua yang mengisi udara. Sesekali, mata Sukma melirik ke arah pria di sampingnya—diam, menatap keluar jendela, seakan dirinya tidak ada. Setelah kemarin Sukma berani membuka percakapan terlebih dulu, kali ini ia kembali memulainya. Sebenarnya, Sukma juga tidak tahan dengan kesunyian dan kecanggungan yang terjadi di antara mereka. Hingga akhirnya, ia bersuara pelan. "Mas, kalau tembakau itu disimpan di lumbung, apa tidak jadi lembap?" tanyanya polos. Jagat menoleh, satu alisnya terangkat. "Tergantung jenisnya. Ada yang butuh udara, ada yang perlu ruang tertutup. Kenapa tanya begitu?" jawabnya menanggapi. Ia juga tidak berniat untuk terlalu mengabaikan Sukma. "Kemarin Saya lihat ada yang dijemur di belakang pasar. Baunya kuat sekali. Sampai sekarang masih kebayang." Pria itu hanya mendengus kecil. "Itu kelas bawah. Tembakau untuk pasar rakyat." "Oh." Perempuan berwajah teduh itu menggenggam tas anyamannya erat. Seolah sedang menggenggam harga diri yang tersisa. "Tapi baunya enak, Mas. Kayak campuran hujan sama tanah." Jagat melirik sekilas, tidak berniat menjawab lagi. Lagi-lagi sunyi. Mobil mereka berhenti di pasar kota. Ramai dan semrawut. Para penjual berteriak, anak-anak kecil berlarian. Udara penuh bau rempah, ikan asin dan tembakau lembab yang dijemur di pelataran. Sukma turun lebih dulu. Jagat tidak menawarkan tangan. Di saat yang sama, seorang pria tua bersorban lewat membawa gerobak berisi pisang dan daun-daunan. Gadis itu tersenyum padanya dan memberi jalan. Jagat hanya berjalan terus, tanpa menoleh. "Mas, tunggu. Saya belum tukar uang kecil." "Cepatlah. Jangan membuatku terlambat." Sukma tertinggal beberapa langkah. Di tengah riuh pasar, perempuan muda itu tampak seperti titik kecil yang mencoba bertahan di tengah arus besar. Dan meskipun pria di depannya adalah suaminya sendiri, langkah mereka tidak pernah sejajar. Pasar kota makin ramai. Suara tawar-menawar bersahutan seperti orkestra tanpa konduktor. Sukma menggenggam kantong belanjaan sambil mengikuti langkah Jagat yang beberapa langkah ada di depannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya terpaku pada satu gerobak kecil di sudut pasar, diapit pedagang pecel dan tukang tambal panci. Di sana, gulali warna merah jambu melilit lidi, ditata seperti bunga kapas. Aroma manis menyeruak, membuat Sukma diam-diam menelan ludah. Bibirnya mengulas senyum kecil—pertama kalinya sejak pagi. "Mas," panggilnya pelan, sedikit ragu. Jagat menoleh, masih dengan raut bosan. "Kenapa lagi?" "Itu gulali, Saya sering membelinya sejak kecil," ujarnya sambil menunjuk. Suaranya seperti anak kecil yang menemukan benda ajaib. "Lalu?" "Boleh beli satu?" Jagat menatapnya sejenak. "Mau beli mainan sekarang?" tanyanya menyindir. Sukma menunduk. Senyumnya yang tadi merekah pelan-pelan menguncup. "Maaf. Tidak jadi, Mas." Sukma melangkah pelan, melewati gerobak itu, mencoba tidak menoleh lagi. Tetapi matanya masih mencuri pandang pada gulali yang mengembang seperti bunga kapas kenangan. Namun, saat mereka sudah hampir sampai ke ujung pasar, langkah Jagat tiba-tiba berhenti. Ia memutar balik, berjalan cepat ke arah gerobak tadi. Sukma mendongak, terkejut. Ia mengikuti dengan langkah ragu. Tanpa banyak bicara, pria itu mengeluarkan selembar uang dari dompet, lalu menunjuk ke salah satu gulali. "Yang itu." Penjual menyerahkan gulali ke Jagat. Pria itu berbalik, lalu menyorongkan gulali itu ke Sukma dengan wajah datar. "Makan dan segera habiskan." Sukma tertegun. Tangannya gemetar saat menerima gulali itu. "Terima kasih, Mas," ujarnya sembari tersenyum tulus menatap Jagat. "Itu bukan hadiah. Jadi, jangan salah paham," ujar Jagat cepat, lalu kembali berjalan. Namun, Sukma tetap diam di tempatnya. Wanita muda itu menatap gulali di tangannya, lalu tersenyum tipis. Kali ini bukan karena kenangan—tapi karena rasa manis yang begitu asing dan menyakitkan. Di kejauhan, langkah Jagat menjauh. Untuk pertama kalinya, Sukma tidak merasa sendiri di tengah keramaian. Mungkin sedikit saja, ia masih perempuan biasa yang ingin merasa hidup. Tidak mudah bagi Sukma untuk mengejar langkah Jagat yang begitu lebar dan cepat dengan beberapa kantong belanjaan di tangan. Sebenarnya, Jagat sudah menyuruh Sukma memanggil tukang panggul untuk membawa barang belanjaan, tapi ia menolak karena masih merasa mampu membawanya. Hingga tidak sadar, langkah kecilnya yang tidak hati-hati membuat Sukma terjatuh. Belanjaannya berserakan, Sukma tersungkur di atas aspal. Beberapa orang yang berada di sekelilingnya datang membantu, sedangkan Jagat sudah jauh dan tidak terlihat batang hidungnya. "Matur nuwun, Bu." Sukma berkata sopan karena telah dibantu. Setelah sudah berdiri, Sukma kembali jalan dengan tertatih. Sebelumnya, para Ibu-ibu sudah menawarkan untuk mengobati lukanya, tapi Sukma menolak karena takut Jagat marah. Lututnya terluka, ada sobekan yang cukup besar karena ia terjatuh cukup kencang dan terkena batu. Bahkan darah masih mengalir, tapi Sukma mengabaikannya. Lalu beberapa luka di siku dan tangannya. Sukma sudah berkeliling, mencari kedai kopi—tempat di mana Jagat akan bertemu dengan rekannya. Tetapi, ia tidak kunjung menemukannya. Rasanya sudah lama sekali ia mencari, sampai-sampai kakinya sudah terasa kebas. Apalagi lututnya yang terluka. "Nduk Sukma." Panggilan itu membuat Sukma berhenti, ia mencari-cari sosok yang memanggilnya. Tidak jauh dari tempatnya, wanita paruh baya yang ternyata adalah tetangganya itu menghampiri. "Eh, Bu Nanik." "Nduk Sukma sendiri aja, Juragan Jagat di mana?" tanya Nanik lalu tidak sengaja menatap dengkul Sukma yang berdarah. "Loh, itu lututnya kenapa?" "Mboten nopo-nopo, Bu. Ini Sukma mau nyusul Mas Jagat, lagi ada di warung kopi Budiman," ujar Sukma menjelaskan sembari memperlihatkan tersenyum hangat. "Daritadi Sukma udah nyari warung kopinya, tapi mboten ketemu-temu." Setelah wanita paruh baya itu menjelaskan, Sukma langsung pergi menuju jalan yang sudah diberitahukan sebelumnya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Sukma akhirnya sampai. Hanya saja kali ini, sepertinya Jagat sudah selesai dengan pertemuannya. Pria itu berdiri di depan warung kopi, pandangan mata menatap lurus ke arah Sukma dengan tajam. "Jika saja aku tega, aku sudah meninggalkanmu pulang ke rumah dan membiarkanmu pulang sendiri." Setelah mengatakan itu, Jagat berlalu begitu saja dan tidak membiarkan Sukma mengatur napasnya dengan sempurna.Di kamar utama, sinar matahari menembus sela-sela tirai tipis, menciptakan pola cahaya yang menyentuh ujung ranjang. Di bawahnya, Jagat duduk di tepi tempat tidur, membelakangi Sukma yang masih tertidur. Pria itu mengenakan kain sarung dan kaos putih. Ia duduk diam, tangannya terlipat di atas lutut, wajahnya menatap lantai. Ekspresinya seperti biasa, datar. Tetapi napasnya lebih pelan, tidak seganjal biasanya. Di balik punggungnya, gadis itu masih terlelap. Rambut panjangnya terurai di bantal. Pipi halusnya terlihat lebih damai dari malam-malam sebelumnya. Gadis itu tidak menggeliat, tapi tubuhnya seolah tau, bahwa kehangatan yang semalam terasa, kini tidak ada lagi. Perlahan, Sukma membuka mata. Cahaya pagi menyilaukan, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Ranjang itu masih hangat, tapi kosong di sisinya. Matanya bergerak ke arah pria yang duduk membelakanginya. Tidak ada sapaan. Hanya punggung kokoh yang terlihat tenang, seakan malam tadi hanyalah mimpi
Jagat duduk di sisi ranjang, mengenakan kaus putih tipis dan celana panjang longgar. Bahunya tegap, tubuhnya bersandar pada tiang kayu ranjang, namun pikirannya jauh. Matanya kosong menatap ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Terdengar gemericik air menetes. Lalu sunyi lagi. Lalu suara engsel kayu yang berderit pelan. Pintu kamar mandi terbuka. Gadis muda itu muncul dalam balutan kain jarik yang melilit tubuh rampingnya. Rambut panjangnya basah, sebagian menempel di bahu putihnya, sebagian lagi dibiarkan tergerai ke punggung. Wajahnya tanpa bedak, tapi kulitnya yang bening dan lembap seolah memantulkan cahaya lampu di langit-langit. Sukma tidak langsung menyadari bahwa pria itu sedang menatapnya. Ia berjalan perlahan, menunduk, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Jagat masih diam, tapi matanya tidak berkedip. Tatapannya mengikuti gerakan halus jemari Sukma, turun ke tengkuknya yang basah, lalu ke pundaknya ya
Aroma daun tembakau yang baru dipetik menguar di udara, bercampur aroma tanah basah dan embun yang belum sepenuhnya menguap. Di kejauhan, para pekerja berjalan hilir mudik dengan bakul anyaman di punggung, menyapa dengan anggukan hormat. Jagat melangkah di depan, tubuhnya tegap, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia sesekali mengangguk pada pekerja, memberi arahan singkat dengan suara berat. Di belakangnya, langkah Sukma menyusul. Tidak secepat suaminya, tapi cukup kuat untuk seorang perempuan yang lututnya masih diperban tipis. Suara sandal Sukma menyentuh tanah basah membuat Jagat menoleh sesaat. "Kalau sakit, kamu bisa tunggu di warung kecil di ujung ladang," ujarnya datar, tapi tidak segalak biasanya. Gadis berambut panjang itu tersenyum sambil menggeleng pelan. "Saya baik-baik saja, Mas." Jagat tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan, tapi tidak secepat tadi. Langkahnya secara tidak sadar melambat. Agar tidak terlalu jauh. Di su
Di kamar belakang, ruang kecil yang biasa digunakan Sukma untuk menyetrika dan menyimpan peralatan rumah tangga-lampu minyak menyala redup, memantulkan bayangan samar di dinding. Gadis berkulit seputih susu itu duduk di lantai beralaskan tikar pandan. Rambut panjangnya ia jepit asal dengan tusuk konde kayu. Di hadapannya, baskom kecil berisi air hangat, selembar kain bersih dan sebotol minyak gosok dari warung. Tangannya gemetar saat menarik ujung rok yang menutupi lututnya. Luka goresan masih memerah. Sudutnya mulai membiru. Siang tadi, saat ia membawa kantong belanjaan dan berusaha mengejar langkah panjang suaminya, kakinya tersandung batu dan ia terjatuh. Ia menahan rasa perih saat kain menyentuh luka. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah. Entah kenapa, luka di lututnya terasa begitu nyeri. Rasanya, sakit sekali. Desis kecil keluar tanpa sadar, tapi dengan cepat ia tutup mulutnya sendiri. Rumah ini terlalu senyap dan ia tau, suaranya tidak diinginkan di tengah m
Jalanan basah karena embun dan semalam hujan. Di halaman belakang, suara air dari genteng menetes pelan. Di dalam rumah Pramoda yang megah, dua sosok berdiri dalam diam—seperti patung yang terlalu lama saling menghindar. Wanita muda berkulit seputih susu itu mengenakan blouse lusuh berwarna biru muda dengan rok hitam mengembang selutut. Rambut hitam legamnya dikuncir rendah. Di tangannya ada tas belanja anyaman yang sudah usang, kontras dengan lantai marmer yang dipijaknya. Jagat muncul dari ruang dalam, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung setengah. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin, tapi sorot matanya masih dingin seperti biasanya. Dia melirik jam tangan lalu menatap perempuan itu tanpa senyum. "Kita berangkat sekarang. Jangan lama." Sukma mengangguk cepat. Suaranya nyaris tidak terdengar saat berkata. "Iya. Saya sudah siap dari tadi, Mas." Tidak ada balasan. Mereka berjalan menuju mobil. Sopir sudah menunggu. Di sepanjang
Langit malam menggantung muram di balik kisi jendela kamar mereka. Lampu gantung tua yang menggantung di tengah langit-langit hanya menyala setengah redup, menyorot warna kelabu pada seprai dan dinding kayu kamar. Jagat duduk di tepi ranjang. Tubuhnya condong ke depan, tangan menopang dahi. Sukma masuk dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Suasana canggung langsung menyelimuti ruangan seperti kabut. Biasanya, mereka hanya berbicara jika Jagat memulai dan itupun seperlunya.Sukma menatap punggung Jagat. Nafas pria itu terdengar berat dan pendek. Cahaya lampu memantulkan pucat wajahnya. Leher kemejanya basah oleh keringat, meskipun angin malam cukup dingin."Mas ....." Suara Sukma pelan, nyaris seperti bisikan. Untuk pertama kalinya setelah mereka bersama, Sukma mengawali percakapan. Jagat tidak menjawab. Hanya gerakan kecil di bahunya yang menandakan ia mendengar."Mas kelihatan pucat."Lama tidak ada sahutan. Lalu terdengar suara dingin. "Bukan urusanmu," balas Jagat singkat."Tap