Share

Part 3

PART 3

 

 

Pagi-pagi, aku sudah bangun duluan. Mbak Rena masih tertidur di sampingku dengan wajah sendu. Kutatap wajah itu, mana mungkin ia wanita pembohong? Sepertinya tidak. 

 

Hatiku tak mampu menempatkannya sebagai pembohong. Tapi, bagaimana dengan ucapan Kakak? Katanya aku jangan terlalu peduli dengan istrinya.  Maksudnya apa? 

 

Mumpung ia masih tidur, aku mengambil plastik di bawah sprei dan memasukkan ke dalam baju. 

 

“Maaf, Mbak. Siti pinjam dulu bungkusannya. Sungguh, Siti penasaran,” gumamku pelan. Berbicara dengan orang tidur tak apa, kan?

 

Perlahan, aku keluar dari kamarnya dan berjalan menuju kamarku. Saat melewati kamar Kak heru, pintunya terbuka. Rupanya ia lupa menutup daun pintu tadi malam.

 

 Kakak terlihat pulas karena kelelahan. Ia hanya tidur memakai baju dalam saja dan celana pendek. Padahal semalaman hujan, apakah tak dingin? Mana tak pakai selimut lagi. Aku menggeleng.

 

Sesampainya di kamar, aku segera membuka bungkusan itu. Sebelumnya, tak lupa kukunci pintu agar tak ada yang masuk dan melihat. Bisa gawat kalau ketahuan! 

 

“Apaan isinya, sih?” 

 

Tanganku cekatan membuka ikatan demi ikatan plastik hitam tersebut. Saat terbuka … rupanya itu berisi test pack yang jumlahnya banyak. Tanganku gemetar menyentuh benda itu. 

 

Ingatan kembali memutar memori, memang Kak Heru dan Mbak Rena sudah menikah hampir tiga tahun lamanya. Namun, belum punya anak. Rupanya Mbak Rena mengalami luka batin cukup dalam di sini.

 

Setelah kuperhatikan, beberapa test pack memang negatif. Akan tetapi, aku menemukan beberapa yang bergaris dua. Bukannya kalau garis dua itu artinya hamil? Seperti yang sering terlihat di film-film? Berarti Mbak Rena sempat hamil dua kali.

 

 Lalu, apakah keguguran? Tak pernah keluarga di kampung mendapat kabar berita baik kalau Mbak Rena hamil.

 

Saat ditanya Ayah dan Ibu pun mereka hanya tersenyum sambil menjelaskan kalau memang belum dikasih amanah oleh Allah. Padahal, pertanyaan itu kembali dilontarkan saat mereka menjemputku kemarin. 

 

Kebohongan apalagi ini? Mengapa pernikahan Kakak terasa penuh misteri. Terlalu banyak hal yang disembunyikan. 

 

Aku menyandarkan punggung ke dinding, menghela napas panjang. Walau bagaimanapun, aku juga sudah dewasa. Sudah cukup paham soal ini. 

 

Cepat-cepat test pack itu kusimpan lagi dalam plastik. Nanti, akan dipikirkan bagaimana cara untuk mengembalikan benda ini ke kamar Mbak Rena.

 

Terdengar suara pintu diketuk. Siapa? Plastik itu kumasukkan dalam lemari dengan tergesa-gesa.

 

“Cepat mandi, Siti. Kita harus ke pasar pagi-pagi biar dapat sayuran segar.”

 

“Iya, Mbak. siti mandi sekarang.”

 

“Mbak tunggu di depan, ya.” 

 

Setelah selesai bersiap-siap, aku mengikuti Mbak Rena ke pasar. Kami naik motor karena jaraknya pun dekat. Berjalan kaki saja sebenarnya hanya beberapa menit. Tapi nanti kalau bawa motor, kami bisa belanja banyak nantinya. 

 

Sesampainya di pasar, aku menemani Mbak Rena belanja kebutuhan rumah untuk isi kulkas. Setelah selesai, Mbak Rena membawaku ke kedai sayur-sayuran. Wanita sudah cukup tua yang memilikinya. Wanita itu sedang menata sayurannya agar lebih rapi. Rambutnya sudah separuh memutih. 

 

“Kita sudah beli sayur di sana tadi. Kenapa ke sini, Mbak?” tanyaku.

 

“Ada beberapa yang belum kita beli.” 

 

Aku hanya diam mengekori Mbak Rena. 

 

“Eh, Rena. Sama siapa itu?” kata wanita pemilik kedai. Ia menyambut dengan senyuman ramah.

 

“Oh, ini namanya Siti. Adik ipar saya, Bude.”

 

“Cantik sekali gadis ini.”

 

Aku menyalami wanita yang dipanggil Bude oleh Mbak Rena. Mereka tampaknya sangat akrab sekali, sering berinteraksi. Akan tetapi, satu hal kuingat adalah Mbak Rena di sini sebatang kara. Ia sama sekali tak punya saudara dan hanya semata-mata mengikuti Kak Heru. Lalu, siapa Bude ini?

 

“Siti, ini uangnya untuk beli mukena dan sajadah.” Mbak Rena memberiku tiga lembar uang seratus ribuan.

 

“Siti beli al-qur’an sekalian, ya?” pintaku.

 

“Iya, apa aja yang mau kamu beli silakan. Habisin aja uangnya. Mbak tunggu di kedai Bude Ratmi. Kamu belilah di toko sana,” tunjuk Mbak Rena mengarah ke deretan toko pakaian.

 

“Iya, Mbak. makasih, Siti belanja dulu.”

 

Aku senang sekali dan langsung meninggalkan kedai itu. Berjalan menuju toko untuk membeli alat ibadah. Tak butuh waktu lama, aku sudah selesai berbelanja.

 

 Sambil menenteng plastik belanjaan, terlihat dari sini kalau Mbak Rena duduk berhadapan dengan Bude Ratmi. Mereka hanyut dalam obrolan serius di samping kedai. Ada anak perempuan seusiaku yang melayani pelanggan yang belanja di kedainya.

 

Sesekali, Mbak Rena tampak mengusap bagian mata. Apakah ia menangis lagi? Sepertinya, ia sedang curhat pada Bude Ratmi.

 

 Aku menebak, selama tinggal di sini, Mbak Rena selalu bercerita pada wanita itu tentang keresahan hatinya. Bukanlah perkara mudah jauh dari keluarga dan hanya ikut suami di luar pulau. Satu hal yang kusadari, kalau Mbak Rena butuh teman.

 

“Sudahlah, kamu sabar aja. Semoga nanti suamimu bisa berubah,” kata Bude Ratmi sembari mengelus pundak Mbak Rena.

 

“Enggak mungkin, Bude. Enggak mungkin itu terjadi,” sahut Mbak Rena sedih.

 

Nah, pasti ada rahasia dalam pernikahan mereka yang sengaja disembunyikan dari keluarga. Namun, aku tak mungkin bisa langsung menodong dengan pertanyaan-pertanyaan yang bukan ranahku. Walau bagaimanapun mereka tetap punya privasi. 

 

“Sudah belanjanya?”

 

“Sudah, Mbak. Sudah lengkap semua.”

 

“Yuk, kita pulang. Apakah gak mau belanja lagi?” Mbak Rena bangkit dari duduknya. Wajahnya tampak mengembangkan senyum terpaksa.

 

“Ini saja cukup, Mbak.”

 

“Kami permisi pulang dulu, Bude. Yani, Mbak pulang,” pamit Mbak Rena.

 

“Iya, hati-hati.”

 

Oh, rupanya gadis yang melayani pembeli di kedai tadi bernama Yani. Mungkin itu anak bungsunya Bude Ratmi, aku mencoba menerka.

 

Sepanjang jalan, kami hanya diam. Tak ada obrolan apa-apa, aku hanyut dalam pikiran sendiri. Bude Ratmi adalah orang yang tahu tentang apa saja kisah rumah tangga Kak Heru dan Mbak Rena. 

 

Logika saja, kalau tak ada masalah mana mungkin kita ingin bercerita dan meminta pendapat orang lain. Dengan bercerita, kita akan merasa nyaman dan lega. Itulah yang dilakukan Mbak Rena. 

 

“Bude Ratmi itu temannya, Mbak?” tanyaku saat kami telah sampai rumah.

 

“Iya, Siti. Beliau orang baik walaupun bukan saudara.”

 

Aku mengangguk paham dan langsung masuk ke dalam rumah membawa belanjaan. Ada Kak Heru sedang melayani para pelanggan. 

 

Pagi-pagi saja sudah ada beberapa yang antre buat beli beras. Lokasi tikungan pun tak jadi halangan kalau sudah rezekinya. 

 

“Siti,” panggil Mbak Rena. 

 

Aku yang sedang menyimpan belanjaan di dapur pun segera menoleh. Ia tersenyum dingin. Matanya membulat seolah hendak menegaskan sesuatu.

 

“Ingat, ya! Kalau salat pintu kamar dikunci. Kalau ngaji jangan bersuara. Habis ibadah langsung simpan semuanya dalam lemari dan kunci.”

 

Aku memutar bola mata karena bingung. Banyak sekali pertanyaan yang hendak kulontarkan, tetapi tertahan di tenggorokan. Mengapa ibadah harus seperti sembunyi-sembunyi? Persis zaman PKI. Haruskah begitu?

 

“Satu lagi, di rumah ini dilarang makan kepiting,” sambung Mbak Rena. 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status