Share

Part 2

PART 2

 

Setelah insiden pertengkaran itu, aku merasa tak enak hati. Mengapa baru sehari di sini, semua tampak kacau. Padahal, mereka terlihat mesra di hadapan orang tua di kampung. Jari tengah bagian kiriku terasa ngilu karena terkena serpihan kaca saat membersihkan pecahan gelas yang dibanting Kakak. 

 

Karena pusing, aku menonton televisi. Mbak Rena sudah berlari ke kamar dan menangis lagi. Aku tak hendak mengganggunya, biarlah ia menenangkan diri dulu. wanita berambut lurus itu cantik, tapi wajahnya selalu sembab karena sering menangis. Keluarga Mbak Rena jauh dari kota ini, ia wanita yang berasal dari luar pulau. Akan sulit baginya untuk pulang tanpa izin dari Kakak. 

 

“Jari kamu luka, ya? Ini kasih betadine,” kata Kak Heru yang tiba-tiba muncul dari belakang.

 

“Iya, luka sedikit kena kaca gelas.” Aku mengambil obat merah itu dari genggamannya.

 

“Kamu istirahatlah, sudah malam. Apa kamu gak takut nonton TV sendirian? Suasana habis kecelakaan gak enak.” 

 

“Gak takut, kok. Kan, kecelakaan itu kita gak tahu apa-apa. Mungkin sudah takdir korbannya, masa dia mau ganggu kita,” ucapku.

 

“Bisa saja jadi hantu penasaran dan menakuti semua orang. Soalnya sering, Siti. Sanalah kamu masuk kamar.”

 

Kak Heru menjitak pelan pucuk kepalaku, mungkin sedikit gemas. Apa yang kuungkapkan salah? Rasanya tidak. Kami di rumah ini pasti tak tahu akan ada kecelakaan di depan toko beras. Tikungannya memang tajam, pengendara harus konsentrasi agar tak salah jalan. Masalah arwah penasaran, entahlah. Itu urusan Allah, bukan hak manusia mendalami alam gaib. 

 

“Kak, di bagian rumah ini ada tiga kamar. Satu kamar kalian, satu kamar Siti, dan satu lagi kamar siapa?” tanyaku penasaran.

 

Memang ada kejanggalan terlihat di sini. di kamar Mbak Rena menangis kemarin, hanya ada terlihat barang-barang miliknya di dalam ruangan itu. Di kamar satu lagi ada lengkap barang-barang Kak Heru di sana. Apakah mereka pisah ranjang? Sejak kapan?

 

“Kita di rumah ini tidur sendiri-sendiri, Siti. Mbakmu suka menangis, jadi Kakak gak betah sekamar sama dia. Gak bisa tidur, berisik aja. Setiap hari Kakak harus bekerja di depan, malamnya gak bisa tidur. Jadi, jalan terbaik adalah Kakak dan Mbak Rena pisah kamar kalau dia sedang menangis saja.”

 

Aku membulatkan mata mendengarkan cerita dari satu-satunya kakakku di dunia ini. Ya, kami hanya terlahir berdua saudara. Jarak kami cukup jauh, yaitu sepuluh tahun. Aku bingung, harus pada siapa percaya padaa penghuni rumah ini. Mbak Rena tidak mungkin menangis tanpa sebab dan Kakak juga mengambil keputusan yang benar untuk pisah kamar. Siapa yang salah dan siapa yang benar?

 

“Oh, gitu. Siti cuma kasihan aja lihat Mbak Rena keseringan menangis. Seperti tak bahagia.” 

 

“Udahlah, kamu jangan terlalu ambil hati. Kakak kandungmu adalah Kakak, seharusnya kamu lebih percaya saudara kandung. Wanita memang sulit dipahami, intinya kamu jangan terlalu kasihan padanya.” Kak Heru berkata serius. 

 

Aku tak menjawab apa pun. Hening. 

 

“Kamu tidur, ya? Kakak mau cek gudang beras sebentar,” katanya sambil berdiri dari sofa.

 

“Siti boleh ikut?” 

 

“Enggak, kamu istirahat aja.”

 

Aku hanya bisa menatap punggung Kak Heru yang perlahan hilang. Ia menuju gudang beras yang berjarak tiga meter dari pintu belakang dapur. gudang beras itu memang terpisah dari rumah, tapi jaraknya sangat dekat. 

 

Aku melanjutkan menonton drama di televisi walaupun jalan ceritanya membosankan, aku tetap melihatnya agar hati terhibur. Telapak tanganku refleks mengibas-ngibas di depan wajah karena tiba-tiba tercium bau amis darah persis kejadian kecelakaan tadi sore. Bayangan mengerikan kondisi korban pun terputar kembali, membuat suasana takut. Bulu sekitar tengkuk pun meremang. 

 

“Hii, takut. Bau apaan amis gini? Bau darah segar,” gumamku seorang diri sembari mencabut kabel televisi. 

 

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengetuk kamar Mbak Rena. Rencananya aku akan tidur di sana malam ini, sungguh rasa takut sudah menjalar ke seluruh tubuh. Mana Kak Heru sudah cerita aneh-aneh lagi tadi, huh! Menyebalkan.

 

“Mbak, buka pintu.” Aku mengetuk daun pintunya.

 

“Iya, sebentar.”

 

Mbak Rena pun keluar, bagian kelopak matanya tampak basah. 

 

“Ada apa, Siti?” 

 

“Siti takut tidur sendiri malam ini, mau tidur di sini boleh?” Aku berkata penuh harap.

 

“Boleh, masuklah. Kakakmu sudah ke gudang beras?” 

 

“Sudah barusan.” 

 

Muncul pertanyaan mengapa Mbak Rena tahu kalau Kakak ke gudang beras? Apa mungkin karena sudah pekerjaannya, jadi aktivitas itu sudah jadi kebiasaan. Tapi, tunggu! Apa yang dilakukan Kakak malam-malam di gudang beras? Tadi sore, dia sudah memeriksanya. Ah, entahlah!

 

Aku langsung masuk kamar Mbak Rena dan merebahkan diri di ranjangnya yang besar. Wanita itu kembali melanjutkan aktivitasnya, yaitu menempelkan es batu di kelopak matanya. Oh, matanya basah karena es batu. Buat apa? Mata bengkaknya terlihat mulai membaik. 

 

“Itu buat apaan, Mbak?”

 

“Ini biar mata gak sembab lagi. Mbak juga selalu cuci muka dengan air es. Jadi, tak terlihat kalau sudah menangis. Di luar rumah harus tetap terlihat ceria.” 

 

Hatiku terenyuh. Dari sini sudah terlihat bahwa Mbak Rena tak mau terlihat terluka di depan orang lain. Ia istri yang baik, istri yang kuat. Pasti ada penyebab serius mengapa ia sering menangis. Kak Heru mungkin terlalu kasar padanya. Aku benci kala mengingat sikap Kakak pada istrinya ini.

 

“Besok kita ke pasar, ya. Kamu besok ikut belanja, sekalian lihat-lihat keadaan di sini.” 

 

“Wah, Siti mau. Beli apa kita, Mbak?” 

 

“Kebutuhan rumah dan kamu boleh minta apa saja besok.” Mbak Rena menyunggingkan senyuman padaku.

 

“Mbak, Siti sudah selesai halangan. Minjam mukena, dong. Besok mau mandi dan mau salat subuh,” ucapku.

 

Mbak Rena diam. Ia kembali merenung seolah aku tak ada di sampingnya. Apa aku ada salah ucap? Mbak Rena bangkit dan menutup jendela kamarnya yang belum ditutup. Angin malam terasa dingin tak lazim berembus dari luar. 

 

“Mukena Mbak sudah dibuang Kakakmu. Besok kita beli mukena dan sajadah baru buat kamu, ya.”

 

Hah? Mana mungkin Kak Heru membuang alat beribadah. Aku merasa tak percaya dengan ucapan Mbak Rena. Mana mungkin itu terjadi. Bohong, itu pasti bohong. 

 

“Al-qur’an ada, Mbak?” 

 

“Besok sekalian kita beli di pasar, tapi ingat kamu kalo mau beribadah kunci kamar kamu.”

 

“Kenapa, Mbak?”

 

“Hm, biar lebih khusyuk aja ibadahnya, Cantik.” 

 

 

“Jadi, Mbak sudah lama gak ibadah? Kalau Kakak?” 

 

“Sudah, kamu jangan terlalu banyak bertanya hal itu. Nanti Mbak bisa menangis lagi. Sana, tidurlah duluan.”

 

Aku segera memasang selimut ke tubuh dan menghadap ke samping bagian dinding. Diam-diam air mataku keluar. Pedih sekali hati ini rasanya kala mendengar ucapan Mbak Rena tadi. Apa iya Kak Heru membuang alat ibadah? Ya Allah, kalau itu benar, mengapa bisa terjadi? Apa mungkin wanita ini memang pembohong?

 

Sungguh, aku bingung siapa di antara mereka yang bersalah?  

 

Saat tanganku meremas sprei, ada suara kresek-kresek dari gesekan plastik. Benda apa yang ada di dalam sprei Mbak Rena? Penasaran ini tak dapat tersimpan lama. Jantungku berdegup kencang membayangkan segala kemungkinan yang nantinya jadi kenyataan. Sepertinya benda ini sengaja disembunyikan olehnya. Memangnya kenapa?

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status