PART 21
“Siti, kamu kembali,” kata Kakak seperti heran.
Berkali-kali ia mengucek mata. Terakhir, ia mencubit pipiku.
“Ini kamu, Siti?”
“Apaan, sih, cubit-cubit. Sakit, tau.”
Wajah Kakak sembab seperti baru habis menangis, dikantong bajunya ada HP yang masih menyala cahayanya.
“Kakak baru aja mau hubungin keluarga di desa,” ucapnya tiba-tiba.
Memang apa hubungannya kedatanganku dengan keluarga di desa? Mengapa pula Kakak menangis. Apa kecelakaan di tempat ini disebabkan oleh Kakak? Aku mulai curiga. Namun, aku masih belum bisa menjadikan ini sebagaii petunjuk. Belum ada bukti nyata.
Lagian masa iya Kakak tega menumbalkan aku yang adik kandungnya. Jangan-jangan ini gara-gara Mbak Rena?
“Siti, kamu kenapa luka-luka?&r
Hai, kita jumpa lagi. Happy reading yahh.PART 15“Siti, kamu udah sadar? Alhamdulillah,” kata Mbak Rena.Aku bingung saat menatap sekeliling. Ruangan putih, di mana ini? Lamunan ini terhenti kala merasa sekujur tubuh ngilu. Seperti habis dipukul kayu berat di bagian tengkuk dan punggung. Kepala juga terasa pusing tak karuan.“Kamu di rumah sakit. Tadi malam kamu pingsan di ladang tebu,” timpal Mbak Rena seolah paham kebingunganku.Aku menatapnya lekat. Beberapa saat kemudian, aku baru ingat kejadian tadi malam. Aku berusaha mencari keberadaan Mbak Rena dan kakak yang tiba-tiba menghilang. Menerobos hujan hanya mengkhawatirkan mereka.Namun, bukannya mereka yang kutemui. Malah menemukan keanehan yang baru. Masih jelas terbayang apa yang terjadi dalam gubuk itu. Siapa lelaki itu?“Kamu kena
Istri Kakakku Selalu MenangisSuara dentuman dari besi-besi jalanan memekakkan telinga secara mendadak. Hampir membuat jantung terlonjak keluar dari tempatnya. Semua orang kaget luar biasa.“Punguti usus dan organ tubuh lainnya! Cepat! Sebelum ada kendaraan yang menggilas,” ucap salah satu warga.“Ambil daun pisang atau kain bekas untuk menutupi tubuhnya!”“Sementara, hentikan dulu kendaraan yang hendak melintas!”Terjadi kecelakaan tepat di depan toko beras milik Kak Heru. Tempat ini berlokasi di tikungan layaknya huruf S, wajar saja sering terjadi kecelakaan. Lokasi yang tak pantas digunakan untuk membawa kendaraan ngebut. Aku bergidik ngeri.Kecelakaan tunggal itu telah membuat
PART 2Setelah insiden pertengkaran itu, aku merasa tak enak hati. Mengapa baru sehari di sini, semua tampak kacau. Padahal, mereka terlihat mesra di hadapan orang tua di kampung. Jari tengah bagian kiriku terasa ngilu karena terkena serpihan kaca saat membersihkan pecahan gelas yang dibanting Kakak.Karena pusing, aku menonton televisi. Mbak Rena sudah berlari ke kamar dan menangis lagi. Aku tak hendak mengganggunya, biarlah ia menenangkan diri dulu. wanita berambut lurus itu cantik, tapi wajahnya selalu sembab karena sering menangis. Keluarga Mbak Rena jauh dari kota ini, ia wanita yang berasal dari luar pulau. Akan sulit baginya untuk pulang tanpa izin dari Kakak.“Jari kamu luka, ya? Ini kasih betadine,” kata Kak Heru yang tiba-tiba muncul dari belakang.“Iya, luka sedikit kena kaca gelas.” Ak
PART 3Pagi-pagi, aku sudah bangun duluan. Mbak Rena masih tertidur di sampingku dengan wajah sendu. Kutatap wajah itu, mana mungkin ia wanita pembohong? Sepertinya tidak.Hatiku tak mampu menempatkannya sebagai pembohong. Tapi, bagaimana dengan ucapan Kakak? Katanya aku jangan terlalu peduli dengan istrinya. Maksudnya apa?Mumpung ia masih tidur, aku mengambil plastik di bawah sprei dan memasukkan ke dalam baju.“Maaf, Mbak. Siti pinjam dulu bungkusannya. Sungguh, Siti penasaran,” gumamku pelan. Berbicara dengan orang tidur tak apa, kan?Perlahan, aku keluar dari kamarnya dan berjalan menuju kamarku. Saat melewati kamar Kak heru, pintunya terbuka. Rupanya ia lupa menutup daun pintu tadi malam.Ka
PART 4“Ini kembaliannya, Bu,” ucapku ramah pada pembeli beras.“Makasih, Neng. Neng ini orang baru kerja di sini, ya?” tanyanya.“Saya bukan orang kerja, Bu. Saya adik dari Kak Heru.”“Oh, begitu.”Aku menyimpan uang di dalam laci, tampak Kak Heru juga sedang sibuk melayani pembeli beras. Di saat begini, Mbak Rena malah tidak keluar. Ia berdiam diri di dalam kamarnya.Apa salahnya membantu kami berdagang? Ah, sudahlah. Mungkin Mbak Rena lelah. Beberapa saat kemudian, toko sudah cukup sepi. Pelanggan sudah pulang membawa belanjaannya.“Hai, Heru! Lancar sekali penjualannya, ya?” sapa seorang lelaki berkumis tebal yang baru saja turun dari mobil pick up.Aku ngeri melihat posisi mobilnya yang menepi di pinggir jalan, takut terjadi kecelakaan. Aneh, udah
PART 5jam delapan malam HP-ku berdering. Ada panggilan dari Ayah. Segera kuangkat dengan perasaan senang.“Assalamualaikum, Nduk. Gimana kabar kamu?” tanya Ayah dari seberang sana.“Waalaikumsalam, Siti baik. Ibu mana?”“Syukurlah kalau begitu. Ibu ada di sebelah Ayah ini, katanya mau dengar suara kamu.”“Nduk, gimana keadaan di sana?” Kali ini Ibu yang berbicara.“Semuanya sehat, Buk. Kakak dan Mbak Rena sehat, penjualan beras juga lancar. Pelanggan mereka banyak, Siti sampai keringatan.”“Alhamdulillah kalau begitu. Baik-baik di sana, ya. Salam buat Kakak dan Mbak Rena. Ibu gak bisa telepon lama-lama, masih mengikat sayuran.&rdq
PART 6Sejak bangun, aku tak ada menyapa Kakak. Hati masih terasa sedih karena sikapnya tadi malam, beberapa kali membentakku. Biasanya ia tak pernah bersikap kasar, selalu baik walaupun otaknya sedang kacau. Seberat apa pun masalahnya, ia berusaha menahan emosi, tetapi tidak untuk tadi malam. Bukan seperti Kakak yang kukenal.Aku menjalani hari seperti biasanya, membereskan pekerjaan rumah sampai semuanya selesai. Kali ini rasanya lebih lelah karena tidak dibantu Mbak Rena sama sekali. Kalau berdua akan lebih cepat selesai, bukan? Lagian tumben jam segini istri Kakak belum bangun. Kasihan memang, ia tetap bangun subuh walaupun enggan menjalankan salat.Entahlah, kasihan dan sedih jadi satu. Baru tiga tahun usia pernikahan mereka, tetapi kenyataannya sekarang seperti tak saling cinta. Terlalu cuek dan tidak perduli.“Mbak, bangun. Siti udah selesai masak, kalau
PART 7“Apanya yang enggak? Saya tukang nguping juga, Neng. Saya hafal semua jurus nguping, hehehe. Ini esnya,” candanya sambil menyerahkan es.“Ini uangnya. Makasih, Bang.” Segera kuberi uang pas untuk membayar es.“Judes amat. Awas, nanti jatuh cinta sama saya.”Aku tak memperdulikan candaan dari abang penjual es itu. Memang manis, sih. Eh, aku mikir apaan?Segera kupercepat langkah kaki agar sampai toko. Kedai es ini tak jauh jaraknya, hanya dua puluh meter. Jalanan terasa gerah karena matahari bersinar menyengat kulit. Aku selalu berhati-hati saat menyeberang jalan sebab tikungan depan toko sangat mengerikan. Mengapa pula Kakak memilih tempat seperti ini. Mengerikan.Kuletakkan satu bungkus es di meja Kakak. Rupanya si Mas Parno kembali datang hari ini. Mau beli apa? Bukannya kemarin sudah beli beras banyak? Lelaki yang