Share

Part 5

PART 5

 

 

jam delapan malam HP-ku berdering. Ada panggilan dari Ayah. Segera kuangkat dengan perasaan senang.

 

“Assalamualaikum, Nduk. Gimana kabar kamu?” tanya Ayah dari seberang sana.

 

“Waalaikumsalam, Siti baik. Ibu mana?”

 

“Syukurlah kalau begitu. Ibu ada di sebelah Ayah ini, katanya mau dengar suara kamu.”

 

“Nduk, gimana keadaan di sana?” Kali ini Ibu yang berbicara.

 

“Semuanya sehat, Buk. Kakak dan Mbak Rena sehat, penjualan beras juga lancar. Pelanggan mereka banyak, Siti sampai keringatan.” 

 

“Alhamdulillah kalau begitu. Baik-baik di sana, ya. Salam buat Kakak dan Mbak Rena. Ibu gak bisa telepon lama-lama, masih mengikat sayuran.”

 

“Iya, Bu. Ga apa-apa. Besok-besok kita teleponan lagi.”

 

Aku kembali menonton televisi sendirian. Terkadang heran juga, rumah ini seperti sangat sepi. Kakak dan Mbak Rena seperti tak pernah menghabiskan waktu bersama. Kamar saja sudah berbeda. Mbak Rena lebih sering berdiam diri di kamar, entah apa yang ia lakukan di dalam sana. Tak bosankah ia? 

 

“Tidurlah, Siti.”

 

“Belum ngantuk, Siti bosan. Kakak, kok, Siti perhatikan gak ngerjain salat?” tanyaku serius. Seketika mataku menoleh ke wajahnya.

 

“Memangnya kalau salat harus laporan ke kamu? Kakak salatlah, masa enggak. Ada-ada aja kamu,” ketusnya.

 

“Tapi, Siti gak lihat.”

 

Kakak langsung membuang wajahnya ke arah lain. Tangannya merapikan guci-guci kecil dalam lemari. Sudah rapi pun, kenapa dipindahkan lagi dengan jarak tiga jari? Kurang kerjaan kali Kakak. Aku membuang napas kasar.

 

“Kamu ini udah kayak polisi aja banyak tanya. Nanti matiin TV kalau selesai nonton. Kakak mau ke gudang beras dulu.”

 

“Siti ikut, mau liat kalo malam di sana gimana.” Aku bangkit dari duduk dan bersiap untuk mematikan TV.

 

“Gak usah ikutlah, di sana seram kalau malam. Nanti kalau ada arwah korban kecelakaan ganggu kamu gimana, hayo?” godanya sambil menaikkan sebelah alis.

 

Aku tak tertawa karena merasa itu tidaklah lucu. Lagian cuma mau ikut ke gudang beras apa salahnya? Kakak jadi nyengir sendirian. Mengapa harus menakuti dengan korban kecelakaan itu? Aneh.

 

“Kakak mau usir tikus besar-besar di dalam sana. Kasih kapur ajaib, gitu doang kamu mau ikut?” 

 

Aku menggeleng malas, setelah mendengar kata tikus menjadikanku hilang selera untuk ikut ke sana. Geli membayangkan hewan itu berjalan, hiii. Kakak pun langsung pergi meninggalkanku. 

 

Aku keasikan nonton sampai lupa waktu. Ternyata sudah jam sepuluh malam. Belum ada tanda-tanda Kak Heru sudah kembali dari gudang beras. 

 

Ngapain Kakak di sana lama banget? Ketiduran apa bertapa? Aku celingukan mencari-cari kalau saja Kak Heru akan lewat sebentar lagi. 

 

Tok! Tok! Tok!

 

Terdengar suara pintu toko digedor orang. Suaranya keras sekali, memekakkan telinga. Apa cuma aku yang mendengarnya? Tak ada tanda-tanda Mbak Rena hendak keluar kamar. Kalau keluar, otomatis harus melewati ruang televisi dulu.

 

“Siapa yang datang? Malam-malam gini masih ada tamu,” gumamku.

 

Dengan langkah gontai aku pun berjalan menuju depan. Suara ketukan itu makin kencang seolah tak sabar, aku rasanya ingin marah lantaran kesal.

 

“Iya, sabar. Ini lagi jalan mau buka pintu,” ucapku sedikit berteriak dengan harapan agar orang di luar bisa mengerti.

 

Suara kunci pintu berderit saat kuputar. Saat hendak membuka pintu, aku dikejutkan oleh suara erangan seperti sedang menahan sakit. Siapa yang kesakitan? 

 

“Carikan kulit!” Terdengar suara bernada marah tepat di depan pintu. 

 

Kulit? Orang mau beli kulit sapi? Mana ada, kami tak jual kulit-kulitan di sini. Kakak hanya menjual beras, jagung, dan kacang-kacangan. 

 

“Maaf, Mbak. kami tak jualan kulit,” jawabku.

 

Ketika pintu terbuka, angin dingin menyeruak masuk menabrak tubuhku. Layaknya sedang berada di antara beberapa balok es batu. Rambut tanganku pun ikut berdiri saking dinginnya. Rupanya yang bertamu adalah seorang wanita. 

 

“Mana kulitnya?” 

 

“Kulit apa, Mbak? Apa cari kulit padi? Kami tak menjual itu.”

 

“Carikan kulit perut saya. Terlempar ke bawah got.” 

 

Hah? Kulit perut. Aku menatap aneh wanita yang separuh wajahnya tertutup rambut panjang. Ia terlihat sehat. Mengapa menanyakan kulit perutnya. Ya ada dibalik bajunya, memang di mana lagi? Sepertinya ini orang gila. 

 

“Saya wanita yang kecelakaan kemarin,” jelasnya dengan suara sengau.

 

Aku tertegun dan baru menyadari sesuatu.

 

“Aaaaaaaaaaaaaaaaa!” 

 

Aku berteriak kencang sambil memejamkan mata. Baru sadar kalau itu bukan manusia. 

 

“Siti! Kamu kenapa buka pintu. Lain kali jangan dibuka,” tegur Mbak Rena. 

 

Perlahan kubuka mata, pintu sudah dikunci lagi oleh Mbak Rena. oh, syukurlah sosok itu sudah tak terlihat. Kubuang napas panjang sambil berusaha menenangkan diri. Ingat! Derajat manusia lebih tinggi dari mereka. Segera kuucap istighfar berkali-kali. 

 

“Itu tadi katanya cari kulit perutnya di bawah got.”

 

“Husst! Jangan bahas lagi. Itu bukan arwah, tapi jin qorin yang sengaja ingin memfitnah mayat. Kalau arwah sekarang sedang mempertanggungjawabkan perbuatan selama di dunia. Sudah, jangan takut lagi.” 

 

“I—iya, Mbak. Siti kaget banget tadi dia datang. Siti memang belum salat isya, sih.” 

 

“Itulah saat manusia lalai, akan diganggu. Sana kamu salat dulu, nanti langsung tidur,” pinta Mbak Rena.

 

Aku terdiam. Dari ucapannya, Mbak Rena sangat paham sekali tentang agama. Akan tetapi, mengapa ia enggan mengerjakan salat? Amalan pertama yang dihisab di alam kubur adalah salat. Amalan lain akan mengikuti. Bukankah begitu?

 

“Siti kira itu tamu.”

 

“Sudahlah, lupakan saja. Mbak sebenarnya kasihan sama kamu. Rahasiakan dari kakakmu tentang kejadian tadi.”

 

Aku mendongakkan kepala. Mengapa harus dirahasiakan? Mbak Rena bilang kasihan padaku, padahal tak ada hal buruk terjadi. Seharusnya, aku yang kasihan padanya yang setiap hari selalu menangis. Sedunia ini apakah ada wanita yang selalu menangis?

 

“Ketukan pintu sering terdengar, tapi gak usah dibukain. Cuek aja,” sambungnya sambil mengusap bagian matanya.

 

Mbak Rena langsung kembali masuk kamar dan seperti biasa, mengurung diri. Aku berniat ke kamar mandi untuk ambil wudu, ngeri sebenarnya. 

 

Ya, sudahlah tak apa. Buat apa takut terus. Mbak Rena gak peka! Gak ada niatan nemenin aku apa. Malah langsung mengunci pintu kamarnya. Mana test pack belum dikembalikan, pusing.

 

Seusai berwudu, tepat saat keluar kamar mandi sudah ada Kakak duduk di kursi. Ia minum dua gelas air putih, seperti kelelahan. Ia tak mengenakan baju, hanya celana saja. Memangnya kalau ngusir tikus sampai buka-buka baju?

 

“Kamu ngapain, kok, belum tidur?” 

 

“Lah, Kakak ngapain keringatan gitu?” Aku malah balik bertanya karena heran.

 

Kak Heru menatapku nanar, ia sepertinya hendak marah. Kalau sudah begitu, aku paham kalau ia enggan menjawab.

 

“Siti abis wudu, mau salat isya.”

 

“Iya, sana di kamar. Nanti cepat tidur!” 

 

“Kak, Siti salat depan televisi boleh?” 

 

“Aduh, jangan banyak maunya! Di kamar aja kalau mau salat, gak usah pindah-pindah. Nanti gerah!” bentaknya.

 

Gerah? Siapa yang gerah? Mengapa Kakak dari tadi seperti orang menahan marah. Ia mengepalkan tangan pertanda emosi. Apakah ada masalah di gudang beras?

 

“Sebelum salat, antar minuman ini dulu sama mbakmu. Pastikan ia meminumnya.” 

 

“Kamu dengar!” tegasnya lagi. Matanya merah.

 

“Siti dengar. Gak perlu bentak-bentak,” sahutku sedih.

 

Kak Heru mengeluarkan daun kering dari kantong celananya dan menyeduh dengan air panas. Tak lupa ditambahkannya gula agar terasa manis. Aku hanya menatap dengan heran.

 

 Minuman apa itu? Daun kering layaknya sengaja dijemur. Daunnya tipis, panjang. Aku tak mampu menebaknya. Fungsi minuman itu apa? Setelah selesai, warna airnya persis seperti teh hijau. 

 

“Itu minuman apa, Kak?”

 

“Gak usah banyak tanyalah, jangan buat orang marah. Sana cepat antar!” 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status