PART 6Sejak bangun, aku tak ada menyapa Kakak. Hati masih terasa sedih karena sikapnya tadi malam, beberapa kali membentakku. Biasanya ia tak pernah bersikap kasar, selalu baik walaupun otaknya sedang kacau. Seberat apa pun masalahnya, ia berusaha menahan emosi, tetapi tidak untuk tadi malam. Bukan seperti Kakak yang kukenal.Aku menjalani hari seperti biasanya, membereskan pekerjaan rumah sampai semuanya selesai. Kali ini rasanya lebih lelah karena tidak dibantu Mbak Rena sama sekali. Kalau berdua akan lebih cepat selesai, bukan? Lagian tumben jam segini istri Kakak belum bangun. Kasihan memang, ia tetap bangun subuh walaupun enggan menjalankan salat.Entahlah, kasihan dan sedih jadi satu. Baru tiga tahun usia pernikahan mereka, tetapi kenyataannya sekarang seperti tak saling cinta. Terlalu cuek dan tidak perduli.“Mbak, bangun. Siti udah selesai masak, kalau
PART 7“Apanya yang enggak? Saya tukang nguping juga, Neng. Saya hafal semua jurus nguping, hehehe. Ini esnya,” candanya sambil menyerahkan es.“Ini uangnya. Makasih, Bang.” Segera kuberi uang pas untuk membayar es.“Judes amat. Awas, nanti jatuh cinta sama saya.”Aku tak memperdulikan candaan dari abang penjual es itu. Memang manis, sih. Eh, aku mikir apaan?Segera kupercepat langkah kaki agar sampai toko. Kedai es ini tak jauh jaraknya, hanya dua puluh meter. Jalanan terasa gerah karena matahari bersinar menyengat kulit. Aku selalu berhati-hati saat menyeberang jalan sebab tikungan depan toko sangat mengerikan. Mengapa pula Kakak memilih tempat seperti ini. Mengerikan.Kuletakkan satu bungkus es di meja Kakak. Rupanya si Mas Parno kembali datang hari ini. Mau beli apa? Bukannya kemarin sudah beli beras banyak? Lelaki yang
Tak berselang lama, pintu kamar pun dibuka. Kakak berhasil masuk dari jendela dan membuka pintu. Setelah masuk, tampaklah Mbak Rena masih tiduran dengan mata basah. Bantalnya pun basah karena air mata. Kusentuh keningnya, tak ada gejala demam. Biasa saja. Apa ia tak punya tenaga untuk menyahut panggilanku tadi? Sampai cemas dibuatnya.“Mbak? Mbak kenapa? Jangan nangis.”“Mbak pusing, mual.” Suara Mbak Rena terdengar sengau, kasihan.“Jangan khawatir, Siti. Mbak kamu itu lagi hamil, setiap kali hamil memang begitu dia. Nangisnya makin jadi.”Aku menatap Kak Heru heran. Dari mana ia tahu kalau Mbak Rena sekarang sedang hamil? Kami baru masuk kamar ini dan Mbak Rena tak bilang apa-apa tentang itu. Kakak sok tahu banget! Masa ada orang hamil yang gejalanya suka nangis-nangis kejer kayak orang sawan.&
PART 9“Permisi … permisi ….” Terdengar suara seseorang dari luar.Siapa lagi yang datang sudah mau magrib begini. Ada-ada saja, untungnya masih sore. Kalau malam hari mungkin aku akan merasakan takut. Dengan malas, kulangkahkan kaki menuju depan.“Mas Heru ada, Neng?” ucap lelaki bertopi merah itu.“Oh, ada. Tapi, masih di belakang. Memangnya ada perlu apa, Om?”“Ini, saya datang nganterin sepasang angsa pesanannya.”Benar, dia membawa sepasang angsa putih yang ditali. Buat apa Kakak beli sepasang angsa? Lama kupandang. Menarik.“Sudah dibayar belum?”“Sudah, Neng. Saya tinggal nganterin aja, nih. Biasanya disuruh ikat di situ,” tunjuknya mengarah ke cantelan besi.“Oh, langsung ikatin
“Aduh, gawat!” gumam Kakak terlihat bingung.Gawat! Kakak bilang gawat, apa artinya ada pencuri yang datang hendak mengambil beras?“Kak, maling. Kayaknya ada maling di gudang beras,” ucapku cemas.“Hahaha, kamu lucu kalau panik. Matanya bulat sempurna! Jangan takut, Siti. Itu bukan suara maling, itu hanya suara karung beras jatuh. Sudah terbiasa, kok. Dah magrib, kamu salatlah di kamar. Kakak mau ke gudang.”“Siti ikut,” pintaku.Kakak hanya menjawab dengan gelengan kepala, isyarat jangan mengikutinya. Oh, baiklah. Aku hanya menatapnya membawa angsa itu ikut bersamanya ke
PART 11Tak terasa sudah satu bulan aku tinggal di tempat ini. Sudah mulai terbiasa dengan rumah tangga aneh Kak Heru dan Mbak Rena. Aku pun makin hafal jalan daerah sini, sudah sering bepergian sendiri naik motor. Kadang diminta mengantar beras barang sekarung dua karung. Aku selalu tersenyum kala melewati universitas kota ini. Tahun depan aku akan kuliah di sana.Sekarang sedang menikmati waktu kebebasan tanpa harus belajar dan bikin tugas yang bikin pusing. Tahun depan, aku sudah benar-benar siap memeras otak untuk belajar lagi. Bayangan wajah Ayah dan Ibu makin membuat semangat.“Neng, beras satu karung.”Aku terkejut melihat wanita paruh baya yang ingin membeli beras satu karung. Heran bukan sembarang heran, tapi karena baru beberapa hari yang lalu ia ke sini dan membeli sekarung beras. Tak mungkin secepat itu habisnya. Apa mungkin di rumahnya banyak orang? Entahlah. 
Baru beberapa langkah kakiku berjalan, keributan itu kembali berlanjut. Suaminya marah dan si ibu tak mau kalah. Berbagai alasan selalu dilontarkan, bakal perang dunia ini kayaknya. Aku menggaruk pucuk kepala. Tapi, kalau dipikir benar juga. Beras sudah sebanyak itu malah beli terus. Apa ibu itu punya sakit pelupa akut?“Kalau bukan kamu yang salah, terus siapa? Apa si penjual beras sudah pakai penglaris? Tuyul? Pocong?” Suara lelaki itu meninggi.“Mana mungkin! Ibu lihat dia sering sedekah ke pengemis jalanan.”Aku masih mendengar perdebatan mereka dari depan. Sejenak, aku terdiam. Mengapa lelaki itu sampai melontarkan tuduhan yang tidak-tidak? Mana mungkin Kakak memakai hal begituan. Waktu mengobrol dengan Mas Parno saja ia menolak keras tentang jimat penglaris usaha. Tid
PART 13“Siti, Kakak mau antar beras dulu. Kamu jaga toko. Kalau Mas Parno datang, gak usah kamu ladenin. Dia agak sakit jiwa dengan semua jimat-jimatnya itu,” kata Kakak sebelum ia pergi mengantarkan beras.“Iya, Kak. Lagian aneh, zaman sekarang masih main begituan. Kakak juga ngapain akrab sama dia, enggak guna,” umpatku kesal.“Husst! Gak boleh gitu. Dia pelanggan kita walaupun ses4t juga.”Aku hanya duduk sambil menatap mobil pick up Kakak pergi ke arah selatan. Mobil itu penuh dengan karung beras. Entah ke mana saja rute yang akan ditempuhnya.Benar saja, tak berselang lama Mas Parno datang. Kali ini ia hanya membawa motor, mungkin memang tak mau belanja. Cuma mau menemui Kakak untuk mengobrol biasa.“Mana Kakak kamu?” tanyanya sesaat turun dari motor.&ldquo